Radar Banyumas, Minggu Pahing, 17 September 2006, halaman 12 |
|
Alun-Alun Jadi Tempat Mangkal |
|
Ada yang tersembunyi di balik gemerlap Alun-alun Kota Purwokerto. Di malam hari, sekelompok laki-laki berkumpul di pojok timur. Mereka kaum gay yang menyadari perbedaan dalam orientasi seksual. Mungkin tak banyak yang tahu keberadaan kelompok gay di kota keripik ini. Kaum yang menyukai sesama jenis ini memang cenderung tertutup. Selain karena konstruksi nilai di masyarakat yang belum seluruhnya menerima keberadaan mereka, kaum gay juga masih dipandang sebagai kaum yang "abnormal". Pandangan dan stigma negatif boleh saja dilontarkan, toh faktanya mereka tetap ada di tengah keberagaman masyarakat. Meski pertentangan tetap muncul, sudah bertahun-tahun kaum gay Purwokerto eksis. Sebagian masih ada yang menutup diri, sebagian lagi mulai terbuka dan membangun sebuah komunitas. Mereka yang mau terang-terangan menunjukkan identitasnya kemudian mulai berkumpul di depan biokop Rajawali tepatnya di Jalan S. Parman, Purwokerto. Para gay yang ada jumlahnya juga masih relatif kecil dan hanya beberapa orang saja. Komunitas yang masih kecil ini rupanya merasa tidak nyaman dengan banyaknya acaman yang muncul. Ancarnan kekerasan dan kearnanan termasuk razia petugas kerap menghantui keberadaan kaum gay tersebut. Merasa tidak nyaman, mereka pun mencari tempat baru meski hanya sebagai ajang kongkow-kongkow bersama. Alun-alun Kota Purwokerto nampaknya menjadi tempat yang sesuai, di tengah ramainya kerumunan orang yang berdatangan. Mereka hadir nyaris tidak ada perbedaan dengan orang di sekitarnya. Seiring waktu, jumlah mereka pun kian mebanjir. Kebiasaan untuk berkumpul rupanya menjadi semacam kebutuhan dan dorongan yang kuat bagi para gay. Selain merasa penat dengan situasi rumah, mereka juga berharap untuk dapat kecengan baru saat kumpul bersama. Lokasi tepatnya di pojok timur selatan, para gay itu nongkrong. |
|
Meski bukan agenda resmi, namun mereka rutin datang pada malam Minggu. Jika pada hari-hari biasa alun-alun pojok timur selatan juga selalu disambangi meski hanya beberapa saat. Untuk menciptakan kesenangan mereka biasanya pergi ke kafe atau diskotik yang ada di Purwokerto minimal satu kali dalam setiap minggunya. | ![]() |
Komunitas gay yang dianggap masyarakat "the other" di Purwokerto berasal dari segala kalangan. Mulai dari yang berstatus pengangguran, kuli, pelajar, mahasiswa, bahkan pejabat. Menurut Anton (29) seorang karyawan swasta mengaku, di antara komunitasnya banyak juga yang berasal dari kalangan PNS. "Hampir di setiap instansi pemerintah ada, dan ada juga beberapa orang dosen di Universitas penting di Purwokerto" ujarnya. Menurutnya kaum gay di Purwokerto cukup banyak, hanya saja mereka cenderung tertutup. Ada juga yang memilih menikah hanya untuk sebuah formalitas di tengah masyarakat. Bagi Anton dan rekan-rekannya saat berkumpul bersama di alun-alun menjadi kepuasan tersendiri. Mulai dari saling curhat, ngobrol-ngobrol ringan hingga saling mencari kenalan baru sesama gay. "Kalau malam Minggu yang berkumpul jumlahnya bisa sampai 30 orang," imbuhnya. Anton mengaku munculnya perasaan mencintai sesama jenis memang sudah sejak ia menginjak bangku sekolah SD. "Bagi saya semua orang itu sama saja, yang membedakan kami hanya orientasi seksual saja," ungkap Anton sembari berkisah sejak SMP ia mulai berani menunjukkan identitasnya dan mulai mengincar pasangan sesama jenisnya. Beberapa gay yang mempunyai kebiasaan berkumpul di Alun-alun, juga terbangun dari komunikasi di dunia maya. Gay yang akrab dipanggil Io (21) salah seorang mahasiswa di perguruan tinggi terkemuka di Purwokerto. mengaku, awalnya ia mengenal ABC - lelaki yang kini menjadi pasangannya -, bermula dari chatting. Dari kenalan di dunia maya itu, ABC kemudian mengajak Io untuk berkumpul dengan sesama gay di Alun-alun. Io menuturkan chatroom khusus gay banyak tersedia; dari sana para gay memanfaatkan fasilitas tersebut untuk mendapat kenalan-kenalan baru. Komunitas yang terbangun di antara sesama gay juga berasal dari kenalan satu dengan lainnya. Ungkapan yang sama juga dituturkan Io, pria yang berasal dari Jakarta ini mengaku hatinya berdetak kencang tak karuan jika melihat lelaki tampan dan bertubuh kekar atlelis. Said (25) gay yang bekerja di salah satu salon di kota Purwokerto mengaku lebih suka tinggal di Purwokerto. Bagi pria asal Jakarta ini, meski Purwokerto hanya kota kecil namun memberikan suasana yang nyaman. Menanggapi pertentangan yang muncul dari masyarakat tidak perlu terlalu dirisaukan. "Setiap orang boleh memilih jalurnya masing-masing, yang berbeda pendapat juga boleh saja, tapi asal jangan merugikan dan menggangu orang lain," jelasnya Meski sesama gay, namun mereka berasal dari situasi keluarga yang berbeda. Jika Anton lebih tertutup karena berasal dari keluarga yang tertutup. Anton mengaku jika keluarganya menyuruh untuk menikah, ia akan berusaha menolak dengan alasan belum siap baik secara mental maupun materi. Tidak demikian dengan Said, gay yang kini mempunyai bisnis salon kecantikan ini memang berasal dari keluarga yang cukup demokratis. Keluarganya juga sudah mengetahui jika ia emang cenderung lebih menyukai sesama jenis. Satu hal yang saat ini masih menjadi mimpi bagai para gay, melalui komunitas yang ter¬bangun mereka berharap dapat diakui ditengah-tengah masyarakat. Sama juga dengan kaum biseksual, lesbian dan transeksual. Dari situlah muncul ide untuk membentuk wadah organisasi yang bisa menampung aspirasi dan memperjuangkan hak-hak mereka. (sofyan/sakur) |
|