Radar Banyumas, Minggu Pahing, 17 September 2006 

Menggagas arus Perubahan
dari arus Pelangi  

Namanya pelangi, jadi wajar saja jika berwarna-warni. Ungkapan itu pula yang berlaku bagi kaum non-heterosexual yang mulai memperjuangkan eksistensinya.

SABTU (16/9) Bumi Perkemahan Kendalisada Kaliori, Banyumas, berbeda dari biasanya. Jika bumi perkemahan kerap digunakan untuk perkemahan anak-anak sekolah, namun pagi itu bukan anak sekolah yang melakukan persami melainkan puluhan kaum lesbian, gay, bisexual, dan transexual.

Selama dua hari mereka melakukan kemah dan berbagai kegiatan lainnya untuk membangun organisasi Arus Pelangi ditingkat lokal. Sambutan ramah segera menyambut ketika Radarmas mengunjungi. Acara khusus yang digelar bagi lesbian, gay, dan transexual nampaknya lebih didominasi oleh kaum gay.

Bukan pesta sex yang digelar, kesibukan selama acara berlangsung juga layaknya perkemahan anak-anak sekolah. Mulai mendirikan tenda, memasak bersama serta mengisi waktu luang dengan berdiskusi dan sebagian ada yang bermain kartu. Selama dua hari itu, mereka mendapatkan pengetahuan dan wawasan tentang Kesehatan, Hukum dan HAM.

Puncak dari acara tersebut mereka akan membentuk komunitas yang tergabung dalam Arus Pelangi. Beberapa kegiatan lain diantaranya, pemutaran film tentang HIV/AIDs dan narkoba yang dilanjutkan dengan penyuluhan dari Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK). Tak hanya itu mereka juga akan mendapat penyuluhan Hukum dan HAM dari Arus Pelangi Jakarta.

Dari catatan Arus Pelangi, di Banyumas sendiri terdapat kurang lebih 500 orang LGBT. Namun yang datang di acara tersebut hanya puluhan orang. Even yang digelar itu memberi harapan tersendiri bagi peserta yang hadir. Oni (38) salah seorang waria mengaku cukup senang dengan acara tersebut. Selain itu ia juga mengaku sudah menunggu-nunggu terbentuknya organisasi yang mewadahi hak-hak waria. "Hak-hak kami jangan dilecehkan, kami punya hak seperti manusia pada umumnya" ungkap Oni.

Oni sendiri tiap malam mangkal di depan Rajawali, kepada Radamas ia mengaku sejak tahun 1980-an sudah menjelajah berbagai kota di Indonesia, mulai Jakarta, Bandung, Batam, Lampung dan Medan.

Sementara itu Maya (23) asal Bumiayu yang telah bersuami warga kampung Sri Rahayu, mengatakan jika ia memiliki harapan yang besar terhadap pengakuan masyarakat atas keberadaan kaumnya. Melalui organisasi ini ia juga berharap mendapat wawasan yang lebih.

Selama di Kampung Rahayu, Oni mengaku warga di kampung tersebut bisa menerima, mengingat keberadaan warga disana juga cukup heterogen "Adanya pengakuan yang setara oleh masarakat merupakan impian bagi kaum saya, pengakuan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan semestinya memberikan ruang bagi kami. Saya juga berharap diskriminasi dan stigma negatif hilang," ujar waria yang masih menutup diri di hadapan orang tuanya. (sakur/sofyan)  

back