Mitra Bangsa, Edisi 20 Thn 1, 21 Sep – 06 Okt 2006

Legalitas Eksistensi Homoseksual
di Jakarta Terus Dipertanyakan?

Jakarta, MB - Perkataan homosexual diterjemah secara harafiah adalah "sama gender" yang merupakan gabungan prefix Yunani homo - berarti "sama" dan asas Latin sex - berarti "seks." Istilah homosexual pertama kali diterbitkan secara bercetak dalam pamflet Jerman yang diterbitkan pada 1869 secara tanpa nama yang ditulis oleh novelis Karl-Maria Kertbeny, kelahiran Austria. Sedangkan dalam budaya adat negara kita terdapat legalitas eksistensi dari kaum homoseksual ini yaitu dalam kelompok Bissu di Sulawesi Selatan, kesenian gemblak di Jawa dan kesenian gandrung di Bali.

Pada tanggal 5 September 2006 di Scoop Cafe, Jl Barito diadakan forum diskusi publik dengan tema "Homoseksual Dalam Kebijakan Negara". Kegiatan ini merupakan bagian dari acara Q Festival International Gay pride. Forum diskusi ini diselenggarakan oleh panitia Q Festival, Arus Pelangi dan YAPPIKA dengan dihadiri oleh kelompok waria, gay dan lesbian di Jakarta. Narasumber dalam forum ini adalah Sukmadewi Djakse, SH (anggota komisi VI DPR RI dari fraksi PDI-P dan ketua umum Srikandi Demokrasi Indonesia), Johnson Panjaitan (ketua PBHI), Rido Triawan (ketua LSM Arus Pelangi) dan Irma Hutabarat sebagai moderator.

Dalam makalahnya, Rido menyampaikan bahwa demokrasi Indonesia masih berbentuk democracy of uniformity, dimana pemenuhan dan perlindungan HAM dilakukan berdasarkan kepentingan kelompok mayoritas saja, sedangkan hak-hak kelompok minoritas tetap termarjinalisasikan. Seharusnya pemerintah lebih memprioritaskan pemenuhan dan perlindungan HAM bagi kaum minoritas. Hal tersebut harus dijalankan pemerintah karena "perlindungan lebih" merupakan hak dasar kaum minoritas sebagaimana dijelaskan di dalam pasal 5 ayat (3) UU no 39 tahun 1999 tentang HAM. Kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseks, Transgender/Transsexual/ waria) adalah kelompok minoritas yang masih tertindas hak-hak dasarnya sebagai manusia dan warga negara. Pandangan-pandangan negatif muncul dalam masyarakat normal kepada kelompok "sakit" ini. LGBT acap kali dianggap sebagai sampah masyarakat, penyakit menular atau penyandang cacat mental.

Menurut pria berjenggot ini data yang telah didapat oleh Arus Pelangi bahwa di tahun 2006 sudah tercatat jumlah waria DKI Jakarta sebesar +/- 4000 jiwa, 80% dari jumlah tersebut bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial) dan 25 % dari jumlah tersebut terjangkit HIV/AIDS. Banyak waria terjebak kehidupannya sebagai PSK karena eksitensi mereka dalam masyarakat tidak diterima sehingga mereka tidak dapat menikmati bangku pendidikan atau ketrampilan khusus untuk dapat bekerja sebagai kaum profesional.

Apabila kita bercermin kedalam dunia internasional maka eksistensi LGBT ini dapat diterima bahkan dilindungi dengan UU negara tersebut. Belanda sebagai negara pertama yang mengeluarkan peraturan pemerintah untuk pernikahan sesama jenis (tahun 2001), lalu diikuti oleh Belgia (tahun 2003), Massachusetts/USA (tahun 2004), Spanyol dan Canada (tahun 2005). Saat ini Aruba, Australia, Cina, Estonia dan Afrika Selatan sedang memperdebatkan untuk mengadopsi peraturan pernikahan sesama jenis agar dapat diterima di negaranya. Tujuan akhir dari forum diskusi ini supaya pemerintah mulai serius untuk memperhatikan dan mencari solusi kepada penerimaan eksistensi LGBT dalam market place / masyarakat dan juga dapat mengeluarkan peraturan yang dapat mensahkan pernikahan sesama jenis.

Menurut Sukmadewi, kaum homoseksual adalah bagian dari lingkungan sosial masyarakat negara kita yang tidak bisa dipungkiri eksistensinya. Mereka juga termasuk bagian penentu dalam sosial politik masyarakat kita. Kelompok LGBT memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam melaksanakan pemilu. Mereka juga memilih wakil rakyat yang mereka percaya dapat membela hak-hak dasar mereka namun pada akhirnya hak-hak mereka tetap ditindas dan tidak mendapat pembelaan. Ibu penuh senyum ini tidak menentang eksistensi LGBT namun untuk mensahkan eksistensi kelompok ini dalam UU, Sukmadewi memilih abstain. Menurutnya, berbicara mengenai homoseksual adalah berbicara mengenai rasa-cinta seorang manusia oleh karena itu homoseksual tidak harus disahkan eksistensinya dalam UU.

Berbeda dengan pendapat dari Johnson Panjaitan. Menurut bapak dari tanah Batak ini bahwa untuk mensukseskan gerakan legalitas homoseksual di Indonesia maka kelompok LGBT harus berani untuk tampil didepan publik dengan cara membuat organisasi LGBT yang mewakili wilayah lokal, nasional bahkan berjejaring dengan organisasi homoseksual Internasional.

Ada satu pemikiran yang menarik yang disampaikan oleh Irma Hutabarat Pandangan wanita ini sangat liberal dan moderat. Ia menyampaikan bahwa tidak seharusnya pandangan agama bercampur dengan dunia politik atau dunia profesional. Agama atau kepercayaan yang dianut seseorang sama sekali tidak ada hubungan dengan kinerjanya untuk dapat berfungsi dengan baik dalam suatu lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Demikian juga mengenai kehidupan orientasi seksual seseorang tidak ada hubungannya dengan kinerjanya untuk dapat berfungsi dengan baik dalam lingkungan dunia kerja.

Dalam diskusi tanya jawab ada suatu yang menarik yang disampaikan dari beberapa pria tampan di satu meja. Mereka berkata dengan lantang, "we are proud to be gay!"
Bagaimana pendapat anda??

ZIPORA SHIRLEY

back