Riau Pos, Kamis 12 Oktober 2006 |
Minoritas Minta 41 Perda Dicabut |
Waria, Gay dan Lesbi Datangi |
Jakarta — Belasan anggota kelompok minoritas mendatangi gedung Dephuk HAM, kemarin. Sedianya para waria, gay, lesbian, penyandang cacat, hingga penganut aliran Ahmadiyah, bermaksud menemui Menkum dan HAM Hamid Awaluddin untuk mengadukan 41 perda yang dinilai diskriminatif terhadap kelompoknya. Ke-41 perda tersebut diberlakukan di sejumlah kabupetan dan provinsi. Perlakuan diskriminasi mulai berbentuk larangan berekspresi, beraktivitas, hingga mempertahankan hak hidupnya sebagai warga negara Indonesia (WNI). Perda diskriminatif tersebut, di antaranya, Perda Pemko Palembang Nomor 2/2004 tentang Pemberantasan Pelacuran, Perda Pemkab Tangerang Nomor 8/2005 tentang Pemberantasan Pelacuran atau Maksiat, dan Perda Pemkab Tasikmalaya Nomor 3/2001 yang mengatur keamanan dan ketertiban didasarkan aspek moral, etika, dan nilai budaya. Nancy Iskandar, Ketua Paguyuban Waria di Jakarta, mengatakan, kedatangannya adalah minta perhatian agar jajaran Ditjen Perlindungan HAM turun tangan menengahi pemda yang bersikeras memberlakukan perundang-undangan daerah tersebut. "Teman-teman kami di Palembang sekarang resah. Kami, para waria ini, selalu diidentikkan dengan PSK (pekerja seks komersil). Padahal, tudingan itu tidak benar, kami bekerja baik-baik," ujar Ketua Waria DKI Jakarta Nancy Iskandar di sela-sela dialog dengan pejabat Depkum dan HAM, kemarin. Nancy bersama rombongannya gagal diterima Hamid. Sebagai gantinya, mereka diterima dua pejabat dari Ditjen Perlindungan HAM, yakni Bambang Sudibyo (direktur Pemantauan HAM) dan Baldwin Simatupang (direktur Pemenuhan HAM). Para waria, gay, maupun lesbian yang datang tidak mengenakan "seragam dinas"-nya. Tak ada bagian tubuh yang ditonjolkan. Mereka umumnya berpakaian rapi. Ada yang mengenakan kemeja, blazer, bahkan berkerudung. Pendek kata, mereka tak ubahnya seperti orang biasa. Nancy Cs curhat habis-habisan di depan pejabat Depkum dan HAM. Mereka merasa khawatir, jika sejumlah daerah menjiplak produk perundang-undangan tersebut, nantinya kreativitas kelompok minoritas menjadi terberangus. "Kami tak mau menjadi korban salah tangkap. Sudah banyak teman-teman kami yang merasakannya. Kami juga tidak mau dianggap sampah masyarakat," tegas Nancy yang berkerudung. Menurut dia, kelompok waria dan gay, sadar fisik bahwa penampilannya dapat mengecoh masyarakat. Akan tetapi, dengan segala keterbatasan, mereka terpaksa berekspresi seperti yang dipraktikkan selama ini, bahkan penampilannya selama ini dirasanya nyaman. Rido Triawan, aktivis Arus Pelangi, juga mengemukakan pendapat senada. Dia mengatakan, beberapa perda menyuburkan praktik diskriminasi terhadap kelompok minoritas, mulai kaum waria, gay, hingga lesbian. "Kami bisa saja setiap saat ditangkap atas tuduhan perzinahan," jelas Rido. Nah, dalam kungkungan perda tersebut, kelompoknya mulai dirasuki rasa was-was setiap bepergian ke luar rumah. Renata Ariningtyas, aktivis penyandang cacat, juga mengeluhkan beberapa perda yang tidak mengakomodasi kepentingan kelompoknya. Seperti, tidak adanya sanksi tegas terhadap pengelola sarana umum, yang tidak menyediakan fasilitas bagi penyandang cacat. Bagaimana tanggapan pemerintah? Bambang mengatakan, departemennya sedang menginventarisir perda-perda yang terindikasi diskriminatif dan melanggar HAM. "Tugas kami adalah mengharmonisasi perundang-undangan, termasuk perda, yang bertentangan dengan HAM. Kami punya konsentrasi terhadap aspirasi kelompok minoritas tersebut," jelas Bambang. Harmonisasi dilakukan dengan menyamakan visi perda diskriminatif, dengan perundang-undangan yang mengikat secara nasional.(agm/fas) |