Jawa Pos, Minggu, 29 Oktober 2006 

Saat Homoseksualitas Semakin Terbuka di Surabaya 

Sudah Buka Rahasia

SURABAYA - Dua dekade lalu, boleh dibilang kaum homoseksual masih takut, ragu, atau mungkin malu menunjukkan identitas seksual mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, kelompok itu pun semakin "terbuka", membentuk komunitas baru dan berkumpul dengan sesama mereka yang "normal". Di Surabaya pun, mereka mulai terlihat semakin nyaman dengan situasi dan kondisi. Coba saja nonton bioskop di mal saat malam Minggu, jangan kaget saat bertemu sekelompok pria yang asyik nonton bareng, lalu ada yang bergandengan tangan mesra.

Bukan hanya itu, di sebuah gedung bulu tangkis, ada sekelompok gay yang memiliki klub rutin melakukan olahraga bersama. Oleh warga sekitar pun, mereka diterima dengan hangat. "Buat apa rahasia-rahasiaan. Sudah bukan zamannya. Lagi pula, semua orang pasti akan tahu juga," ujar Paulo, seorang gay yang sering menghabiskan waktu dengan nongkrong bersama teman-teman di Riverside, kawasan sebelah Bioskop Mitra. "Dulu, kami sering sembunyi-sembunyi terus di kamar kos-kosan," katanya lantas nyengir.

Dari kaum lesbian, Sabrina mengaku merasakan adanya kelonggaran. "Dulu, susahnya minta ampun mencari teman senasib. Sekarang, dengan dibukanya komunitas, jadi terlihat siapa saja yang menyukai sesama perempuan. Ternyata banyak Iho" ungkap perempuan yang bekerja sebagai sekretaris di salah satu perusahaan swasta tersebut. Bahkan, dia bersama teman satu geng mulai berani nongkrong bareng di salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya. Kebetulan, teman satu geng Sabrina memang masih berkuliah di sana. "Ada juga yang mencurigai kebersamaan kami. Tapi, cuek aja gitu Iho. Itu kan hak kami," tegasnya.

Semakin terbukanya homoseksualitas tersebut diakui Dede Oetomo, 53, salah seorang pionir gay yang berani mendeklarasikan identitas seksualnya secara publik pada awal-1980. Menurut salah seorang pendiri GAYa Nusantara (GN, sebuah komunitas gay) tersebut, keterbukaan itu sebenarnya dimulai sejak 1990-an. Namun, bukan berarti keterbukaan itu terjadi begitu saja. Proses yang dijalani begitu panjang dan berliku, masyarakat menerimanya secara perlahan.

Pentingnya Tempat Untuk Berbagi

Berapa jumlah kaum homoseksual di Surabaya? Bisa 10 persen di antara total penduduk, kalau mengikuti hasil penelitian Alfred Kinsey dari Amerika Serikat. Bisa juga 1 persen, kalau mengikuti data Badan Pusat Statistik (BPS). Tapi, sumber yang paling bisa dipercaya di sini adalah GAYa Nusantara (GN), organisasi kaum gay yang didirikan sejak 1987. Organisasi itu juga menunjukkan pentingnya sebuah komunitas khusus, di mana orang bisa "melarikan diri" dan berbagi. Budijanto, ketua GN, memperkirakan, jumlah kaum homoseksual di Surabaya sekitar 100 ribu orang. "Itu yang pernah terjaring oleh GN. Bisa jadi jumlahnya lebih dari itu. Mereka yang tertutup lebih banyak daripada yang terbuka," jelasnya.

Penolakan itu juga menjadi salah satu alasan lahirnya komunitas-komunitas gay maupun lesbian. GAYa Nusantara didirikan pada 1987 di Pasuruan. Dede Oetomo adalah salah seorang pionirnya. Seiring dengan perkembangan organisasi, beberapa tahun kemudian, GN berpindah ke Surabaya. Sebab, waktu itu, antusiasme gay di Surabaya perlahan mulai banyak dan lebih terbuka.

Menurut dia, pemilihan nama GAYa Nusantaia dengan tulisan GAY menggunakan huruf kapital menunjukkan bahwa kelompok tersebut ingin menunjukkan identitasnya. Dia menyatakan, GN adalah organisasi yang terbuka bagi siapa saja. "Tidak hanya untuk kaum gay, tapi juga lesbian. Namun, implementasinya, yang banyak bergabung memang gay," ujar Budijanto yang bergabung dalam GN sejak 1990 tersebut. 

HOMOSEKSUAL
DARI DEKADE KE DEKADE

1960-an
Media cetak mulai mengangkat fenomena waria dan organisasi waria kali pertama di Indonesia.
1970-an
Isu merambah ke fenomena homoseksual. Era kali pertama media mulai mengangkat pemberataan gay dan lesbian, meski masih bersifat sensasional.
1980-an
Wacana homoseksual bergeser menjadi perbincangan yang lebih serius dan ilmiah. Untuk kali pertama, kalangan homoseksual – salah satunya Dede Oetomo – menyuarakan identitasnya ke ruang publik melalui surat pembaca.
1990-an
- Gerakan homoseksual terbantu dengan program pemberantasan HIV/AIDS oleh pemerintah masuk dalam gerakan pro-demokrasl.
- wacana homoseksual mulai diterima di dunia pendidikan, dengan diselenggarakannya diskusi di sejumlah kampus.
2000-an
Gerakan homoseksual masuk dalam tiga Isu sentral sosial. Yakni, tataran pengetahuan, kesehatan, dan hak asasi manusia.
- Menjadi agenda perjuangan Komnas HAM.
- Homoseksual semakin terbuka di tempat-tempat publik.
Sumber: GAYa Nusantara  

Organisasi itu sebenarnya juga tidak menghimpun anggota, melainkan lebih berfungsi menyediakan berbagai layanan. Tujuannya, mengajak gay di Nusantara supaya bangga terhadap orientasi seksual yang dipilihnya. Saat ini, GN juga bertindak sebagai Badan Koordinasi Nasional Jaringan Gay Indonesia, yang terdiri atas organisasi serta aktivis individu gay di berbagai penjuru nusantara.

Budi menyebutkan, kegiatan utama GN sekarang adalah menerbitkan buku seri GAYa Nusantara terbitan dari, oleh, dan untuk kaum gay Indonesia. "GN berusaha menyediakan apa yang tidak ada di koran dan majalah biasa,'"jelasnya bangga. Selain menerbitkan buku, GN memiliki berbagai aktivitas positif. Misalnya, aktif membangun dan mengoordinasi jaringan organisasi di seluruh Indonesia serta menyediakan informasi dan konseling untuk gay, baik lewat telepon, surat, maupun tatap muka langsung. Organisasi tersebut bahkan membuka hotline gay nasional untuk informasi dan curhat setiap hari kerja 09.00-21.00 WIB.

Bukan hanya itu. GN sering mengadakan dan memfasilitasi pendidikan serta penelitian mengenai segi kehidupan gay. "Kami mempelajari terus studi tentang gay. Jadi, tidak benar bila stereotipe gay selalu identik dengan persoalan seksual terus," tegas pria 41 tahun tersebut. Kegiatan positif lain yang dijalani GN dalam sepuluh tahun terakhir adalah kampanye pencegahan HIV/AIDS dan PMS (penyakit menular seks), juga pendampingan terhadap penderita HIV/AIDS.

Di kancah internasional, GN juga mampu "berbicara". Sejak pertama didirikan, GN menjadi anggota International Lesbian & Gay Association (ILGA). Beberapa aktivis GN juga duduk di International Advisory Board dari International Gay & Lesbian Human Rights Commission (IGLHRC). "Kami juga menjalin hubungan dengan banyak pihak di mana-mana. Termasuk, tukar-menukar dengan sekitar sepuluh penerbitan luar negeri. Di antaranya dari Amerika, Inggris, dan Australia," kata alumnus Fakultas Hukum Universitas Brawjaya Malang tersebut.

Aktivitas GN terus berkembang. Mulai 2002, GN bekerja sama dengan Program Aksi Stop AIDS yang diselenggarakan Family Health International (USAID) dan Departemen Kesehatan." Tujuannya, menangani kesejahteraan, kesehatan laki-laki," ujarnya. Pada 2003, GN menjalin kerja sama dengan Humanistisch Instituut voor Ontwikkelings-samenwerking (Hivos) asal Belanda, menangani advokasi gay.

 

SS Vakum, US Tampil

Bila kaum gay memiliki organisasi yang sudah konsisten berdiri puluhan tahun, tidak demikian dengan kelompok lesbian di Surabaya. Komunitas itu sebenarnya memiliki Swara Srikandi (SS) yang didirikan pada 2000. Organisasi tersebut merupakan bagian dari Swara Srikandi Pusat yang didirikan lebih dulu.

Sayangnya, organisasi itu tidak bertahan lama. Pada 2006 ini, SS vakum kegiatan. Padahal, SS sempat berhasil mengoordinasi kaum lesbian yang dikenal sangat tertutup. "Kami menjaring teman-teman lesbian via internet, terutama melalui chatting. Dari perkenalan dunia maya itu, akhirnya kami jumpa darat," ungkap Puji, koordinator SS di Surabaya. Beragam aktivitas positif pernah dilakukan SS. Misalnya, program konseling terhadap kaum lesbian yang mengalami persoalan dengan identitas seksualnya. "Ceritanya beragam. Mulai yang dikucilkan keluarga, dipaksa kawin, sampai diusir dari rumah. Yang banyak ‘curhat’ adalah mereka yang ingin identitasnya tidak sampai diketahui orang," jelasnya.

Agar beban kaum lesbian berkurang, SS juga pernah menggelar gathering lesbian. tujuannya, saling berbagi cerita. Melalui forum tersebut, kaum lesbian mendapatkan berbagai pandangan dan pengetahuan tentang hal yang mereka alami. Dalam perjalanannya, SS juga sering melaksanakan berbagai kegiatan sosial. Mengapa tahun ini vakum? Penyebabnya beragam. Seiring berjalannya waktu, satu per satu anggota SS disibukkan oleh berbagai pekerjaan masing-masing. Kegiatan bersama pun terus berkurang dan akhirnya benar-benar vakum.

Namun, tak semua anggota SS pergi begitu saja. Sebagian masih merasa sangat membutuhkan adanya komunitas, tempat mereka berlari serta berbagi. Akhirnya, mereka yang tersisa plus gabungan kaum gay dan biseksual pun membentuk komunitas baru dengan nama US (Us, berarti "kami" dalam bahasa Inggris).

Komunitas tersebut resmi didirikan pada 5 Mei 2006. "Tapi, anggotanya bukan hanya lesbian. Ada pula gay dan biseksual, "kata Kiki, mahasiswa Unair yang menjadi anggota US. Sejak didirikan, US mengadopsi berbagai kegiatan yang pernah dilakukan SS. Hanya, US ingin lebih berkonsentrasi pada persoalan human rights (hak asasi manusia). Karena itu, US siap melindungi kaum yang tersandung persoalan hukum, berkaitan dengan identitas seksual mereka. "Sebenarnya, kasus diskriminasi terhadap mereka sering terjadi. Hanya, mereka memilih diam daripada identitas seksualnya terbongkar," tegasnya.

Ke depan, US berencana menggelar Festival Gay dan Lesbian. Yakni, pemutaran film yang bercerita tentang homoseksual. "Kami ingin memutar film-film homoseksual secara terbuka dan mendiskusikannya di ruang publik," katanya. Lima bulan berjalan, US sudah memiliki 50 anggota dengan mayoritas kaum lesbian. Kiki berharap, kaum homoseksual bisa dipersatukan lewat komunitas tersebut. "Di sini, kami bisa saling berbagi pengalaman dan pengetahuan. Tanpa sembunyi-sembunyi lagi di kamar kos, berpura-pura di depan umum seperti kafe, atau bertemu di tempat-tempat tertutup yang lain," ungkapnya. (kit)

back