Koran rakyat, Jumat Legi, 10 November 2006 |
Arus Pelangi dan Penghargaan Perbedaan |
ADA yang terkejut, ada yang mencibir sinis atau ada pula yang bersikap biasa saja. Namun, Arus Pelangi yang resmi hadir di Purwokerto per 5 November kemarin, mau tidak mau kemudian memang menggelitik hasrat untuk memperbincangkannya. Dari sebuah pertanyaan yang paling sederhana. tentang keberanian mereka untuk unjuk gigi, sampai pada apa saja program organisasinya para kaum lesbian, gay. biseksual. transgender/ transeksual (LGBT) itu. Rido Triawan, direktur Arus Pelangi dari Jakarta, secara terbuka menyatakan, organisasi serupa diharap segera bermunculan di daerah-daerah lain. Purwokerto, kemudian secara implisit dinyatakan sebagai barometer eksistensi kaum minoritas; setidaknya begitulah pengakuan Rido tersebut. Dia pun menyerukan, agar kaum LGBT itu, berupaya memperjuangkan hak-hak mereka yang selama ini belum diakui pemerintah. Tak jelas betul, apa yang dimaksuk hak yang mesti diakui pemerintah itu. Namun, tanggapan dideklarasikannya Arus Pelangi itu, kemudian telah diberikan Ketua jurusan Sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Joko Santoso, menilai pembentukan organisasi; Arus Pelangi, berpotensi menimbulkan kontroversi di kota keripik ini. Alasannya, masyarakat masih belum siap menerima kehadiran sesuatu yang dinilai menyimpang. Perilaku menyimpang itu, konon sudah muncul di kota Purwokerto sejak lama. Tetapi semuanya masih sembunyi-sembunyi. Jika perilaku tertentu kaum LGBT itu dipandang menyimpang, semestinya ada upaya yang dilakukan, entah itu rehabilitasi mental atau rehabilitasi perilaku agar yang dianggap menyimpang tersebut bisa kemudian disembuhkan. Tulisan ini, tak pernah bermaksud memberikan penilaian tentang benar atau salah dari sebuah kisah Arus Pelangi. Namun, dalam hubungannya, manusia antar manusia di satu tempat, ada beberapa norma dan pandangan hidup yang memang harus dijaga. Bisa jadi, norma itu berasal dari keyakinan agama atau pula budaya dan segala tata krama kesantunan sosial. Sekali lagi, secara pengamatan sosiologis, masyarakat Purwokerto dinilai belum siap menerima, jika kemudian ada pasangan gay atau lesbi yang bermesraan di muka umum. Jadi penuntutan hak, semestinya pula menakar bagaimana situasi sosial yang ada. Pemikir dari Iran, Ali Syariati, pernah menandaskan, pada dasarnya tak ada sesuatu yang disebut dengan kebebasan sejati. Kebebasan tiap individu selalu saja begesekan dengan kebebasan individu yang lain. Pada titik ini, kehadiran Arus Pelangi, hendaknya dilihat dari kacamata, jika manusia memang harus menghargai satu dengan lainnya dalam perbedaan masing-masing. Lalu, jika kita menengok apa yang terjadi di Inggris beberapa waktu lalu, dimana pemerintah setempat, kemudian sudah memberikan dasar legal formal bagi pasangan gay untuk menikah, itu tentu karena dilatarbelakangi banyak hal. Tetapi, tak ada salahnya, jika kemudian pemerintah kita, sudah mulai berpikir dan menyiapkan jawaban, tentang apa saja jawaban dari penuntutan hak yang mungkin akan segera diserukan oleh Arus Pelangi. (**) |