Koran Tempo, Jumat 17 November 2006 |
|
YANG TERSISIH KARENA PAKAIAN |
|
![]() |
Selepas SMA di Kalimantan Barat pada 1992, Reza Yohanes alias lenez Angela melamar pekerjaan tele-marketing untuk agen perhotelan. Segala persyaratan telah dipenuhi. Selain sehat jasmani dan rohani, ia mahir mengoperasikan program komputer dan cakap berbahasa Inggris. Namun, saat wawancara akhir, ia diminta berpakaian pria. lenez pun menolak. Meski berkelamin laki-laki, sejak kecil dia sudah merasa lebih nyaman sebagai perempuan. "Aku terpaksa menolak. Menjaring costumer bukan ditentukan oleh pakaian apa yang dikenakan. Aku tidak bekerja dengan kelaminku, kok," ujarnya saat berbincang dengan Tempo, Senin sore lalu. |
Ketika dia mencoba melamar ke perusahaan kartu kredit untuk posisi serupa, ternyata soal pakaian yang dikenakan kembali menjadi kendala. "Okelah aku waria, tapi kan nggak mungkin ngantor dengan baju yang seronok," ujar lenez memprotes. Toh, kenyataan tersebut harus diterima dan dia tak memaksakan diri bekerja di sektor formal. Akhirnya, ia memutuskan menjadi aktivis di Yayasan Srikandi, yang mengkampanyekan bahaya AIDS di kalangan waria. Amdes alias Emy Mades punya pengalaman yang mirip. Dua tahun lalu, waria asal Sumatera Utara ini menjadi bar boy (pembantu bartender). Ketika akan dipromosikan menjadi bartender, dia harus mengikuti pelatihan selama tiga bulan. Hasilnya? "Saya dinyatakan tidak lulus," ujarnya. Itu bukan karena dia tak cakap meracik minuman, tapi dengan penampilannya yang feminin, sang pelatih merekomendasikan Emy hanya pantas bekerja di salon. Naluri kewanitaan Emy muncul sejak dia berusia di bawah lima tahun. Sewaktu duduk di bangku SMP, anak bungsu dari enam bersaudara ini mengaku pernah ditendang kakaknya ketika menggunakan kosmetik. Namun, tindak kekerasan itu justru kian mengukuhkan dirinya untuk tampil total sebagai perempuan sejak SMA. Diskriminasi terhadap orang seperti lenez dan Emy, yang dikategorikan sebagai transgender, belakangan kian luas dan formal. Di Kota Palembang, Pasal 8 Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2004 mengategorikan lesbian, gay, biseksual, dan transgender sebagai bagian dari pelacuran. Pemerintah pun, kata lenez, menjadi pemelihara stigma sosial terhadap waria karena memasukkan mereka ke kategori sakit mental dan penyandang cacat. Ketika ada penertiban, para waria digabung dengan gelandangan, pengemis, dan penggilingan (orang tidak waras). "Padahal organ tubuh kami lengkap. Cuma tuna vagina," ujarnya sambil tertawa. Rido Triawan, Ketua Yayasan Arus Pelangi, yang banyak berurusan dengan kaum transgender, menegaskan, untuk melindungi mereka dari segala diskriminasi, tak dibutuhkan aturan baru. la merujuk Pasal 5 ayat 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. |
|
"Hasil amendemen konstitusi kita, pasal 28-C, D, dan H, sebetulnya juga sudah cukup mengatur. Tinggal bagaimana sosialisasi dan implementasi dalam kehidupan sehari-hari," ujar Rido. Kalaupun kemudian pemerintah dan DPR menyusun aturan baru, ia menyambut baik. "Kalau bisa, namanya undang-undang pakai kata anti, jadi anti-diskriminasi," ujarnya. •RINI KUSTIANI | "Aku punya kapasitas
untuk semua kriteria yang diajukan. Aku tidak bekerja dengan
. kelaminku."
|