Kompas, Minggu, 28 Januari 2007 (Kehidupan) |
|
Gemblak Pun Berganti Gadis |
|
![]() |
“Saya pernah jadi gemblak Warok Dasuki asal Desa Jajar, Kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo, dari waktu umur 12 tahun-18 tahun," kata Subasir (64), Selasa (23/1) siang itu. Lelaki ganteng berkulit putih itu termasuk gemblak terkenal di Ponorogo. Enam tahun, jadi gemblak, dia memperoleh upah tiga sapi. Gemblak adalah sisi kontroversial tradisi warok Ponorogo. Gemblak biasanya adalah pemuda tampan berusia belasan tahun yang dijadikan kekasih warok. |
Tradisi unik itu muncul sebagai upaya warok menyalurkan hasrat seksual, tanpa berhubungan intim dengan perempuan. Hubungan dengan perempuan dipercaya melunturkan ilmu. "Kadang, saya juga dikeloni (dipeluk), diciumi, dan digauli warok. Rasanya seperti jatuh cinta saja," kata Subasir. Gemblak menjadi kebanggaan warok Banyak warok bertengkar demi mempertahankan gemblak. Gemblak biasa diajak menghadiri acara pernikahan, nonton layar tancap, makan di warung, atau sekadar jalan-jalan. Gemblak-gemblak yang bagus bisa digilir antar warok. Mbah Benjot (70) asal Desa Carat, Kecamatan Kauman, mengaku pernah memelihara tiga gemblak tapi kadang pinjam gemblak lain. "Melihat pemuda ganteng dan bersih, warok-warok sudah bingung," katanya. Dalam pertunjukan reog, para gemblak menari jathilan. Mereka didandani bak perempuan dan menari dengan gemulai. Tradisi ini surut seiring dengan modernisasi. Awal tahun 1980-an, gemblak digeser gadis-gadis remaja menari jathilan dengan lebih memikat kerumunan massa.. Konsep gemblak pun bergeser menjadi anak asuh. Warok Tobroni (70) asal Kelurahan Cokromenggalan mengaku membiayai sekolah keempat gemblak yang dipeliharanya dan memberikan satu sapi setiap 2-3 tahun. "Saya tidak menggaulinya seperti warok zaman dulu," katanya. Warok yang pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Ponorogo itu menolak anggapan, warok punya kelainan seksual. Tobroni sendiri memiliki 12 anak dan 22 cucu dari tiga istri yang dinikahinya. "Warok adalah lelaki normal," katanya (IAM/ONI) |
|