Kompas, Minggu, 28 Januari 2007 (Kehidupan) |
|
Reog, Cinta Tak Sampai |
|
![]() |
Warok tidak bisa dipisahkan dari reog. Seni reog di Ponorogo, Jawa Timur, adalah ajang penampilan warok. Melalui tarian itu, seorang warok berunjuk kekuatan, sekaligus menancapkan pengaruh di tengah masyarakat. Satu pertunjukan reog biasanya menampilkan 12 warok, yang terdiri dari 10 warok muda dan 2 warok tua. Mereka berbusana serba gagah, kuat, dan keras. Warok muda mengenakan baju dan celana hitam-hitam, kolor besar (usus-usus), ikat pinggang besar, keris, dan ikat kepala hitam (gadung mondholan). Dagu warok dipasangi jambang lebat, sedangkan dadanya digambari rambut. Warok tua tampil lebih kalem tanpa banyak riasan muka, ikat kepala berwarna coklat (modang), dan bersandal kulit. |
Meski warok tampil seronok, lakon reog mengisahkan cinta yang tidak kesampaian. Konon penguasa Kerajaan Bantarangin Prabu Klana Sewandana mengutus para ksatria pimpinan Pujangga Anom (Bujang Ganong) untuk melamar putri Kerajaan Jenggala di Kediri, Sanga Larigit. Di tengah perjalanan, rombongan disergap singa besar (Singa Barong). Kalah bertarung, Bujang Ganong kembali. Prabu Klana Sewandana akhirnya turun tangan dan berhasil menaklukkan Singa Barong, yang berubah menjadi dadak merak. Putri Sangga Langit mau disunting asalkan Prabu Klana menciptakan seni pertunjukan baru dengan melibatkan pasukan berkuda. Meskipun pernikahan tidak jadi, pasukan Prabu Klana membuat tarian arak-arakan perang yang ditingkahi sorak-sorai, yang kemudian disebut tari reog. Sekretaris Yayasan Reyog Ponorogo Budi Satrio mengungkapkan, reog menjadi seni pertunjukan rakyat yang tetap lestari hingga sekarang. Perkumpulan reog yang beranggotakan 40 orang-60 orang dipimpin warok. Warok tak hanya melatih tari, tetapi juga mengayomi dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan bagi anggotanya. "Warok dan reog merupakan identitas budaya Ponorogo yang akan kami lestarikan sampai kapan pun. Seni ini mengandung nilai sejarah dan semangat hidup daerah ini," katanya. (IAM/ONI) |
|