Kompas, Minggu, 28 Januari 2007 (Kehidupan) |
Generasi Terakhir Warok Ponorogo |
Ponorogo, Jawa Timur, lekat dengan budaya warok yang tumbuh sejak tujuh abad silam. Kini, tradisi itu tergerus karena makin sedikit orang yang mau menempuh olah fisik, jiwa, dan pikiran untuk jadi . warok. Warok-warok tua yang tersisa mungkin bakal jadi generasi terakhir. Oleh Ilham Khoiri & Boni Dwi Pramudyanto |
![]() |
Sabtu (20/1) malam, tanggal 1 Suro. Menjelang tengah malam, lampu masih menyala di rumah bersahaja di kawasan Sumoroto, Kecamatan Kauman, Ponorogo. Sejumlah pemuda duduk mengelilingi seorang kakek yang berjenggot putih-panjang. Meski disergap kantuk, para pemuda itu berusaha terjaga. "Bulan Suro ini bulan prihatin. Kami tirakat dengan berjaga malam hari," kata Mbah Kamituwo Kucing (77), sang kakek itu. Lelaki bernama asli Kasni Gunopati itu adalah salah satu warok tua di Ponorogo. Saat bulan Suro, atau bulan Muharam dalam tahun Hijriyah, rumahnya selalu ramai. Pada bulan Suro, warok tua biasa menurunkan ilmu kepada murid-muridnya. Ratusan tahun silam, malam 1 Suro jadi pembaptisan warok muda. Tapi ritual itu berangsur hilang, terutama sejak tahun 1970-an. Semakin sulit mencari orang yang mau menempa diri jadi warok, atau gagal akibat tak kuat menahan godaan keduniawian. "Warok itu tidak bisa dibuat-buat, tidak ada sekolahnya," papar Mbah Wo Kucing. Seseorang disebut warok karena pengakuan masyarakat. Delapan warok sepuh di Ponorogo yang masih hidup saat ini juga hasil proses interaksi sosial yang alamiah. Ada Mbah Wo Kucing di Sumoroto; Mbah Kamituwo Welut (90), dan Mbah Senen Kakuk (83) di Desa Bulu Lor, Kecamatan Jambon; Mbah Petil (85) di Desa Bibis, Kecamatan Sambit; dan Tobroni (70) di Kelurahan Cokromenggalan, Kecamatan Ponorogo. Beberapa warok masih berusia 60-ari tahun, seperti Mbah Bikan Gondowiyono di Desa Plunturan, Kecamatan Pulung dan Mbah Legong di Desa Jebeng, Kecamatan Slaung. Ada juga yang jarang muncul, seperti Mbah Benjot (70) di Desa Carat, Kecamatan Kauman. |
![]() |
Kelebihan
Sekilas, para warok sepuh Ponorogo punya kelebihan fisik. Badan mereka rata-rata besar, pejal, dengan tinggi sekitar 170 cm. Beberapa warok tua bertubuh kerempeng, tapi liat. Akan tetapi, kelebihan utama warok adalah soal ilmu kanuragan (kekuatan fisik). Tubuh mereka dianggap kebal terhadap senjata tajam. Ilmu itu dibutuhkan untuk membela diri dari ancaman. Sebagian warok mengandalkan kekuatan itu untuk pergi berperang gerilya membela Tanah Air. Mbah Petil dan Mbah Wo Welut, misalnya, pernah ikut bertempur bersama tentara Indonesia melawan agresi militer Belanda tahun 1948. Saat menyerang markas Belanda di Madiun atau Ponorogo, keduanya pernah diberondong peluru, tetapi bisa selamat tanpa luka tembak. "Peluru seperti menyeleweng dari tubuh kami. Itu kuasa Tuhan," kata Mbah Petil, yang tampak trengginas di usia tua. Warok juga menguasai ilmu kautaman atau tata perilaku untuk membela kebenaran dan keadilan. Warok menduduki posisi penting dalam struktur sosial. Bahkan, tak jarang jadi kepala dusun atau kepala desa. Mbah Wo Welut dipercaya sebagai Kepala Desa Bulu Lor selama 33 tahun: Mbah Bikan, menjadi Kepala Desa Plunturan tahun 1967-2007. "Warok yang baik jadi panutan. Tapi, dia harus memperbaiki perilakunya sendiri dulu," kata Mbah Bikan. Lelakon Mbah Bikan mengaku pernah belajar ilmu kebal dari Mbah Uceng di Trenggalek. Dia bertapa dalam kamar yang dikunci selama tiga hari tiga malam. Setelah keluar, dia langsung diuji dengan dibacok golok. Ternyata, senjata tajam itu tidak melukainya, melainkan hanya meninggalkan memar-memar merah di kulit. "Tapi, memar itu hilang setelah saya jilat dengan lidah," katanya. Tirakat semakin berat karena banyak pantangan yang harus dijauhi. Salah satunya, calon warok pantang berhubungan seksual dengan perempuan. Untuk mengalihkan hasrat itu, biasanya mereka memelihara gemblak, yaitu pemuda belasan tahun yang dijadikan kekasih. Saat ini semakin jarang orang Ponorogo berniat menjadi warok. Bertapa dalam kesunyian di tengah zaman yang serba material ini dianggap kelewat berat. Anak-anak warok sepuh pun cenderung memilih hidup normal. "Banyak orang berguru ke sini. Tapi, rasanya belum ada satu pun yang pantas disebut warok," kata Mbah Wo. |