Realita, Edisi 12, 19 Februari - 04 Maret 2007 

Merlyn Sopjan

Waria yang Mendapat Gelar
Doktor (HC) Karena Peduli AIDS

Merlyn Sopjan

Status waria di kalangan masyarakat masih dianggap sebagai penyakit sosial. Banyak orang yang menganggap mereka harus dijauhkan karena kedekatannya dengan seks bebas dan penyakit AIDS. Tapi siapa sangka, ternyata ada sebagian kaum itu yang peduli soal AIDS. Bahkan dari perjuangannya, mereka layak dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa (HC) dari Northern California Global University Amerika. Bagaimana perjuangan Merlyn Sopjan hingga meraih penghargaan itu?

Sekilas tak ada yang berubah dari sosok Merlyn Sopjan. Rambutnya terurai panjang melebihi bahu. Kulitnya putih bersih bersinar, hampir tanpa noda. Bibirnya merah ranum. Lelaki yang belum mengenal sosok ini, pasti langsung kepincut melihat wajah ayu ini. Tapi siapa sangka, kalau pemilik wajah ayu tersebut adalah seorang waria?

Mendengar kata waria, yang langsung muncul dalam bayangan orang adalah manusia yang berderet di sekitar kawasan Taman Lawang, Jakarta Pusat yang dikenal sebagai tempat para waria mencari lelaki hidung belang. Orang lain boleh merasa heran, atau bahkan mencibir status banci, akan tetapi tidak dengan pemilik nama asli Ario Pamungkas ini. Ia bangga dengan status yang disandangnya sejak ia baru berusia 15 tahun.

Keluarga Mendukung.
Kelahiran Kediri, 16 Februari 1973 ini patut bersyukur, karena kebanyakan waria saat benar-benar menunjukkan sosoknya sebagai waria, bakal langsung mendapat tentangan keras dari keluarga karena dianggap sebagai aib.

Belum lagi mereka harus berhadapan dengan cemoohan lingkungan sekitar. Bahkan bisa diusir masyarakat. Lulusan Institut Teknologi Nasional Malang, Jawa Timur, ini punya keluarga yang terbuka. Ia tak mendapat hambatan berarti.
Ayahnya mendukung Merlyn untuk menerima kelainan yang dideritanya. Bahkan mendorongnya untuk berprestasi. Pengakuan itu tidak diperoleh begitu saja. "Butuh waktu beberapa tahun untuk meyakinkan mereka," ujarnya saat dihubungi. Ketika pertama kali mengetahui Ario Pamungkas, putra mereka, tampil dengan dandanan layaknya perempuan, orangtua Merlyn meminta agar putra bungsu mereka, yang saat itu menjadi mahasiswa teknik sipil, untuk kembali menjadi laki-laki normal. "Namun saya berusaha meyakinkan mereka bahwa saya ingin menjalani hidup sebagai perempuan. Tepatnya tahun 1995," ungkap Merlyn. Pelan-pelan akhirnya, kedua orang tuanya menerima Ario alias Merlyn sebagaimana adanya.

Calon Walikota.
Dukungan yang ia peroleh dari keluarga tak hanya sekadar motivasi. Lebih dari itu, keluarga menyuruh Merlyn melakukan operasi kelamin. Merlyn tegas menolak. "Hidup dan masa depan bukan ditentukan oleh jenis kelamin" tandasnya yakin. Beberapa kali Merlyn pernah menjadi bahan pembicaraan masyarakat luas.

Tahun 2003, ia mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif (DPRD) Kota Malang dengan membawa bendera Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Selang dua tahun, ia juga mencalonkan diri sebagai Walikota Malang. Tak pelak perbuatannya itu mendapat beragam reaksi. "Saya bukannya mau cari sensasi. Tapi ingin membuka mata masyarakat, bahwa kaum waria pun memiliki hak sebagai warga negara yang sama," paparnya.

Ketika itu, Merlyn disudutkan dengan berbagai pertanyaan yang terkesan mengejek. "Dalam formulir ini hanya ada dua pilihan. Anda mengisi kolom pria atau wanita," tanya petugas sekretariat pendaftaran kala itu. Tanpa ragu, Merlyn langsung menyambar dengan jawaban lugas dan cerdas. "Apa seorang walikota akan menjalankan tugas-tugasnya dengan alat kelamin? Anda lihat kan dandanan saya," jawabnya dengan nada balik bertanya. Petugas itu pun tak berkutik.

Kecerdasan dan keberanian Merlyn membuat ia dipercaya menjadi Ketua Ikatan Waria Malang (Imawa). Jabatan itu telah disandang selama sepuluh tahun. Sejak itu ia giat memperjuangkan hak-hak kaum waria menjadi aktivis AIDS/HIV. Isi hati Merlyn dituangkan dalam sebuah buku berjudul Jangan Lihat Kelaminku; Suara Hati Seorang Waria.

Tanggal 25 Juni 2006 lalu, Merlyn terpilih menjadi Puteri Waria Indonesia. Ia menyisihkan 87 waria dari seluruh Indonesia.

Prosesnya pun sama seperti pemilihan Puteri Indonesia yang menonjolkan Brain, Beauty, Behavior. Dari 87 peserta disaring menjadi 30 orang dikarantina di Desa Wisata Taman Mini Indonesia (TMII). Setelah terpilih sepuluh orang, barulah kontes panggung digelar hingga terpilih tiga terbesar. ”Tugas Putri Waria salah satunya menjadi lambang delegasi kampanye HIV/AIDS," terangnya.

Kesetaraan Hak.
Hidup Merlyn memang ditumpahkan untuk memperjuangkan hak-hak kaum waria supaya bisa setara dengan orang pada umumnya. Sejak sepuluh tahun lalu ia bekerja sebagai Case Manager di Rumah Sakit Umum (RSU) Saiful Anwar Malang yang bergelut dengan urusan HIV/AIDS.

Atas perjuangannya itu, ia memperoleh penghargaan sebagai Doctor Honoris Causa (HC) dari Northern California Global University, Amerika.

Ia bahkan pernah mengikuti ajang kontes waria dunia Miss Intemasional Waria di Thailand. Tapi gagal menjadi pemenang. Menurut Merlyn, buruknya sebutan waria tak lepas dari peran masyarakat yang selalu sinis dan penuh prasangka. Sehingga bagi kaum waria tak punya tempat untuk mencari lapangan kerja. Lebih jauh ia mencontohkan, penyandang PSK (Pekerja Seks Komersial) semua perempuan. Tapi tidak semua wanita mau dibilang PSK. "Begitu juga dengan kami. Kasih kesempatan dong. Kami juga siap bersaing. Kami juga punya skill," cetusnya. • Mustolih

back