Beritapagi, Jumat, 23 Februari 2007 |
Perda Pelacuran Harus Direvisi |
Palembang, BP - Peraturan daerah (Perda) Kota Palembang No 2 tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran, harus direvisi oleh pemerintah dan DPRD setempat. Alasannya, definisi pelacuran yang dicantumkan di peraturan ini, tidak jelas. Hal tersebut diutarakan pendiri Yayasan Arus Pelangi Widodo Budi Darmo kepada wartawan, di sela acara Pendidikan Advokasi Perda-perda Diskriminatif, Kamis (22/2), di Hotel Arjuna. Ia menjelaskan, definisi pelacuran yang dicantumkan pada Bab V Pasal 8, masih tidak jelas. "Agar penerapannya tidak bertentangan dengan hak pribadi seseorang, maka harus ada peninjauan kembali terhadap definisi pelacuran tersebut," cetusnya. Dia menambahkan, setiap perda harus menjelaskan sesuatu yang tidak tercantum dalam tingkatan undang-undang (UU) yang berada di atasnya. Sedangkan pada Perda No 2 tahun 2004 maupun UU yang lebih tinggi di Indonesia, tidak menjelaskan definisi pelacuran. Selain itu, kriteria yang dimasukkan dalam pelajaran pada peraturan itu, meliputi homo seks, lesbian, sodomi, pelecehan seksual, dan perbuatan porno lainnya, dikhawatirkan menimbulkan multitafsir. Kriteria tersebut, dinilai Widodo, cenderung mengarah kepada pelacuran yang dilakukan perempuan. "Hanya pelacuran yang dilakukan perempuan yang menjadi sorotan dalam perda tersebut, sedangkan untuk pelacuran laki-laki (gigolo), tidak disebutkan secara jelas," ujar Widodo. Fakta ini sudah membuat Perda No 2 tahun 2004 masuk dalam perda yang diskriminatif. Dia juga mengkritisi dicantumkannya sodomi dalam perda tersebut. Widodo menyayangkan tidak adanya pencantuman definisi sodomi, serta siapa pelaku yang dimaksud. Selain itu menurutnya, sodomi bukan hanya dilakukan oleh sesama pria, namun dilakukan pula oleh pria dengan wanita, maupun sesama wanita. Dari kriteria pelacuran yang disebutkan, kaum waria merupakan yang paling kentara. Sedangkan ditambahkan, untuk wanita yang bergender laki-laki, akan sulit untuk mengetahuinya. "Laki-laki menggunakan atribut wanita merupakan hal yang tidak wajar, sedangkan wanita menggunakan atribut laki-laki dianggap wajar oleh masyarakat," ujarnya. Bila kriteria tersebut masih digunakan, dikhawatirkan dalam penerapannya akan sangat tergantung pada petugas yang merazia. Sementara tentang sodomi, menurutnya, hal tersebut tidak perlu dicantumkan, karena merupakan wilayah pribadi seseorang. Dalam setiap razia yang dilakukan, petugas yang terkait dengan pelaksanaan perda tersebut, umumnya menanyakan surat nikah, kepada setiap pasangan yang terjaring razia. Widodo menilai langkah itu sebagai suatu hal yang keliru. "Surat nikah merupakan dokumen yang sakral, dan tidak mungkin selalu dibawa pada setiap perjalanan. Pemerintah harusnya jeli terhadap permasalahan tersebut," ujarnya. Secara nasional, menurut Widodo, Arus Pelangi serta LSM lainnya sedang mengkaji 41 perda yang dianggap bermasalah, terkait dengan pelacuran. Sementara pendidikan advokasi perda diskriminatif akan dilaksanakan sejak 22 Februari hingga 1 Maret. Perda Kota Palembang No 2 tahun 2004, salah satu yang dibahas dalam pendidikan tersebut. ( cwl) |