Sumatera Ekspres, Rabu, 28 Februari 2007 

Kaum Minoritas dan Pandangan Politisi

Secara harfiah yang dimaksud minoritas adalah golongan sosial yang jumlah warganya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan lain di suatu masyarakat dan oleh karena itu didiskriminasikan oleh golongan lain itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003). Lawan kata dari golongan minoritas adalah golongan mayoritas.
JIKA kita dapat meminta kepada Tuhanv sebelum kita dilahirkan, pasti semua orang akan memilih untuk dilahirkan sebagai manusia serba sempurna. Terlahir sebagai kaum minoritas, entah minoritas suku, minoritas agama atau minoritas seksual (waria, gay, lesbi) pasti bukan keinginan kita. Semua itu adalah kehendak sang Pencipta. Terlahir sebagai minoritas di satu sisi adalah beban tersendiri bagi yang menyandang predikat itu. Lantas mengapa kemudian banyak kelompok yang malah semakin menambah beban kaum minoritas itu? Dengan mengucilkan, mencemooh bahkan melakukan kekerasan fisik. Hj. Sunnah, NBU SH MH
Oleh Hj. Sunnah, NBU SH MH
Anggota DPRD Kota Palembang

Di mana tanggung jawab Negara (pemerintah dan wakil rakyat)? Karena negaralah yang memiliki hak dan tanggung jawab dalam pengaturan warga negaranya, sehingga semua kelompok akan merasa kepentingannya terakomodasi dalam organisasi yang bernama negara.

Ada tiga fungsi DPRD yaitu Pengawasan, Anggaran, dan Legislasi. Dari ketiga fungsi tersebut, maka fungsi legislasi seringkali disebut sebagai inti dari lembaga perwakilan, yaitu sebagai badan pembentuk undang-undang atau peraturan (law making body). Terkait dengan ini, DPRD memiliki kedudukan yang kuat kerena sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Perda sebenarnya mempunyai dua fungsi yaitu sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan dan dasar nama bagi perumusan kebijakan pemerintah dan pembangunan di daerah. Agar kedua fungsi ini terpenuhi, terdapat lima hal dasar yang perlu diperhatikan, yaitu:

Pertama, DPRD dan pemerintah harus memahami apa arti dari peraturan perundang-undangan itu. perda bukan hanya naskah yang dirumuskan oleh DPRD, akan tetapi merupakan kaidah-kaidah yang harus ditaati oleh semua pelaku tata pemerintahan di daerah. Dengan kata lain perda adalah kontrak sosial pada tingkat daerah, yang mengatur tentang aspek-aspek pemerintahan dan pembangunan yang bersifat lebih spesifik.

Kedua, perda merupakan produk perundang-undangan yang mempertemukan berbagai kepentingan. Dalam perumusan perda, DPRD dan pemda diharuskan memperhitungkan kepentingan-kepentingan, baik pada lingkup daerah, antardaerah dan tingkat nasional.

Ketiga, perda dirumuskan untuk dilaksanakan. DPRD dan pemerintah seringkali menghasilkan perda, tanpa secara seksama merincikan bagaimana peraturan perundang-undangan ini akan dilaksanakan oleh semua pihak terkait.

Keempat, secara umum terdapat saling keterkaitan antarperda. Sayang dalam penyusunannya, hubungan saling terkait antarperda kurang diperhatikan. Pendokumentasian proses penyusunan perda sering tidak terarsif secara baik sehingga menimbulkan kesulitan bagi perumus untuk mengingat kembali pertimbangan-pertimbangan politik yang disampaikan untuk perda tertentu.

Kelima, perda adalah alat transformasi atau perubahan bagi daerah dalam mencapai sistem pemerintahan dan kinerja pembangunan. Ia tidak hanya alat untuk mengatur tentang jalannya roda pemerintahan dan pembangunan, melainkan juga pengarah terhadap cita-cita daerah.

Kemampuan perda dalam mengakomodasi kepentingan-kepentingan akan menentukan tingkat kepatuhan berbagai pelaku terkait. Pengakomodasian kepentingan harus terjadi baik untuk kelompok mayoritas dan minoritas. Tetapi pengalaman menunjukkan bahwa pembuatan perda umumnya langsung masuk pada perumusan pasal-pasal. Jarang sekali DPRD, pemerintah dan masyarakat berupaya untuk memahami konteks dan substansi tentang suatu hal yang akan diatur dalam perda. Draft akademis biasanya tidak dibuat terlebih dahulu. Padahal, bahan acuan ini dapat memberikan masukan yang penting bagi DPRD dan pemerintah. Akibatnya, DPRD atau Pemerintah cenderung berupaya untuk menjaga agar perda menjadi "padat dan berisi."

Kecenderungan ini potensial untuk menimbulkan masalah dalam menginterpretasikan dan melaksanakannya. Proses seperti ini menjadikan perda dibuat dalam waktu singkat tetapi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Kekurangan lain adalah tidak adanya sosialisasi dalam penyusunan draft perda. Dampak dari tidak adanya sosialisasi dalam penyusunan menyebabkan masukan atau identifikasi permasalahan sangat minim. Tidak heran begitu perda akan dilaksanakan ternyata ada pasal-pasal yang tidak mungkin dilaksanakan. Selain itu perlu juga dilakukan simulasi pelaksanaan perda ketika masih dalam bentuk draft terutama yang menyangkut pengaturan masyarakat. Dengan dilakukannya simulasi maka kelemahan-kelemahan diketahui dan bisa diantisipasi sejak awal dengan membuat pasal-pasal yang bisa diimplementasikan ke masyarakat.

Hukum Indonesia tidak mengenal dikotomi mayoritas dan minoritas. Telah banyak upaya-upaya yang ditujukan untuk memperkecil jurang dikotomi mayoritas-minoritas baik melalui perundangan sebagai dasar hukum dan sumber hukum yang tetap maupun melalui kebiasaan dan ajaran moralitas. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa banyak fakta dan data yang menunjukkan masih banyak praktik penekanan, penindasan, intimidasi dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Intimidasi tersebut ada yang dilakukan dengan kasar, secara fisik dan terang-terangan maupun dilakukan secara halus menggunakan efek psikologis dan tidak nampak oleh pandangan kasat mata.

Kelompok minoritas biasanya dicirikan ketakberdayaan, statis, kemiskinan, kebodohan, terpinggirkan, termarjinalkan dan ketertutupan. Sedang kelompok mayoritas biasanya dicirikan keberdayaan, dinamis, keserba-adaan, intelektualitas, dan sebagai penentu.

Kebebasan yang merupakan buah dari reformasi memang telah membawa angin segar bagi kehidupan berbangsa. Kebebasan, yang diperjuangkan oleh gerakan reformasi tentulah kebeba san yang bertanggung jawab, yaitu kebebasan yang tidak melanggar kebebasan warga negara lainnya. Namun yang terjadi kemudian, sebagaimana dapat kita saksikan adalah sekelompok orang atau golongan menerjemahkannya sebagai kebebasan sebebas-bebasnya. Tolok ukur dan batasan kebebasan menjadi tidak jelas, karena tolok ukur dan batasan yang digunakan adalah kemauan, kemampuan, kekuasaan, uang dan harta.

Selanjutnya bila tinjauan kita perluas ke perempuan, tidak dapat dipungkiri bahwa secara kuantitas, jumlah kaum perempuan berlipat ganda dari jumlah kaum laki-laki. Namun dalam hal mobilitas dan partisipasi kaum perempuan jauh tertinggal dari kaum laki-laki. Kaum perempuan dengan berbagai masalah dan tantangannya harus berjuang untuk kebebasannya dari tekanan, kungkungan, eksploitasi, dan bayang-bayang kaum laki-laki menuju emansipasi yang sejati dan hakiki.

Berbicara mengenai politisi perempuan, sekali lagi kita dihadapkan fakta bahwa mobilitas dan partisipasi perempuan dalam bidang politik adalah sangat kecil. Sebagai acuan dapat dikemukakan di sini bahwa dalam undang-undang (UU) tentang Pemilu legislatif disebutkan proporsi dan komposisi calon legislatif (Caleg) perempuan adalah 30% dan tentu saja 70%-nya adalah caleg kaum laki-laki. Dan ketika benar-benar telah jadi anggota lembaga legislatif, maka proporsi dan komposisi ini menjadi semakin kecil.

Contoh lain adalah seperti yang diberitakan di media massa beberapa waktu yang lalu bahwa anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang membidangi pengawasan, proporsi dan komposisi anggota legislatifnya adalah 11% perempuan dan 89% laki-laki. Simpulnya adalah bahwa kaum perempuan dalam konteks mobilitas dan partisipasinya di bidang politik dan perpolitikan nasional, juga merupakan kelompok minoritas.

Dengan statusnya yang minoritas, politisi perempuan yang merepresentasikan kaum perempuan pada umumnya, ada beberapa alasan mengapa politisi perempuan memperspektifkan diri sebagai kelompok minoritas, yaitu:

Pertama, politisi perempuan memiliki rasa senasib sepenanggungan yang mendalam dengan kelompok minoritas dalam menghadapi masalah dan tantangan hidup dan kehidupan.

Kedua, politisi perempuan memiliki visi dan misi yang linear dengan kelompok minoritas dalam memandang, mencermati dan mensikapi persoalan keummatan, kemasyarakatan dan kebangsaan.

Ketiga, politisi perempuan memperspektifkan kelompok minoritas adalah kelompok yang memerlukan sentuhan, bantuan, bimbingan, pembelaan (advokasi) dalam menghadapi ketidak-adilan, ketertindasan, ketidakberdayaan, situasi dan kondisi terpinggirkan dan termarjinalkan yang menimpanya.

Keempat, politisi perempuan memperspektifkan kelompok minoritas sebagai ladang pengabdian sehingga segenap cita, rasa, karsa dan ciptanya dicurahkan untuk mewujudkan pengabdian terbaik dalam bentuk kepedulian, pelayanan. pembelaan dan pendampingan untuk mengentaskan kelompok minoritas.

Kelima, Politisi perempuan memperspektifkan kaum minoritas sebagai partner memulai kebangkitan dan pembangunan menuju dinamisasi, mobilisasi, pemberdayaan, kemampuan, kebersamaan, kemakmuran, dan keadilan.

Ada banyak fakta terkait dengan diskriminasi terhadap kelompok minoritas yang terjadi di wilayah Kota Palembang khususnya, antara lain: Tindakan-tindakan diskriminatif seperti yang mungkin terjadi sebagai ekses dari Perda No 2/2004 tentang Pemberantasan Pelacuran. Terutama pasal 4 menyangkut wewenang kepala daerah yang belum terdefinisi secara rinci, pasal 5 tentang peran serta masyarakat dalam pengikutsertaannya dalam penertiban serta pasal 8 tentang perbuatan pelacuran yang masih perlu dirinci lebih jelas.

Kemudian pada Perda No 1/2003 tentang Pengaturan Operasional Tempat Hiburan, yang bisa menimbulkan bias pada pasal 9 berbunyi: Penyelenggara tempat hiburan dilarang: "a. Menjadikan tempat hiburan sebagai tempat untuk dilakukannya atau diduga akan dipergunakan sebagai tempat melaksanakan kegiatan asusila … dst."

Perlindungan terhadap buruh khususnya buruh perempuan yang bekerja malam, terutama menyangkut tanggung jawab perusahaan, sampai saat ini di Palembang belum ada. Demikian juga perlindungan terhadap pekerja informal perempuan seperti pembantu rumah tangga, perlu juga diadvokasi, belum tersedianya fasilitas umum, seperti angkutan umum yang aman bagi perempuan dari pelecehan seksual.

Dan yang terakhir perda tentang Pencegahan, Pengendalian dan Penanggulangan HIV/ AIDS. Khusus perda ini, sedang dibahas di DPRD Kota Palembang. Diharapkan masukan dari segenap komponen masyarakat agar tidak menjadi perda yang diskriminatif terhadap satu kelompok, misalnya para penderita HIV/AIDS.

Ada banyak upaya yang bisa dilakukan oleh masyarakat dalam rangka berperan aktif guna terciptanya produk hukum yang dapat mengakomodir kepentingan banyak kelompok terkait dengan fungsi DPRD sebagai badan legislasi daerah. Upaya-upaya itu antara lain:

Pertama, masyarakat dapat memberikan masukan/data terhadap perda-perda yang tidak aspiratif dan diskriminatif serta alternatif-alternatif yang baik untuk solusinya.

Kedua, melakukan pembahasan terhadap RaPerda yang sedang dibahas oleh DPRD dan hasil pembahasan tersebut disampaikan kepada DPRD.

Ketiga, membuat rancangan perda yang memberikan perlindungan terhadap kelompok minoritas dan kemudian disampaikan ke DPRD untuk diajukan dalam pembahasan program legislasi daerah.

Keempat, mengajukan pengujian kepada MA terhadap raperda yang dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. (*)

back