Indo Pos, Jumat, 1 Juni 2007  

Kepala Daerah Awam Bikin Perda

JAKARTA - Penyiksaan 80 orang gay di Isfahan, Iran, beberapa waktu lalu mendapat kecaman keras dari kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transeksual (LGBT) Indonesia. Pasalnya, tindakan tidak berperikemanusiaan itu dilakukan tanpa alasan jelas. Aksi yang dilakukan saat pesta ulang tahun Farhad itu dihadiri kaum gay dari berbagai penjuru dunia. Di antaranya Shiraz, Teheran, serta Shanin Shahr.

Menurut pengakuan via telepon Direktur Eksekutif Iranian Queer Organization (IRQO) Arsham Parsi yang dirilis Ketua Arus Pelangi Rido Triawan, penyiksaan terjadi setelah penangkapan terhadap 80 gay di pesta ulang tahun Farhad.

Penyiksaan juga dialami kelompok LGBT di Indonesia. Bedanya, mereka mengalami penganiayaan secara epistemis dan psikologis. "Contoh konkretnya adalah maraknya perda bernuansa syariat di sejumlah daerah yang sangat mendiskriminasikan dengan menganggap mereka sebagai pelacur," kata Rido dalam Diskusi Publik bertema Homophobiakah Kita? di Wahid Institute belum lama ini.

Maraknya perda bernuansa syariah itu dibenarkan oleh dr Taheri Noor MA, komisioner Hak Kelompok Minoritas Komnas HAM. "Maraknya perda diskriminatif itu bukti konkret betapa kepala daerah tidak tahu bagaimana membuat perda," kata dia.

Beberapa perwakilan kelompok LGBT yang hadir mengakui diskriminasi itu. Mamoto Gultom MD MPH, misalnya, Direktur Yayasan Pelangi Kasih Nusantara itu ditolak perusahaan karena orientasi seksualnya dan diseret untuk berobat ke psikiater. "Kami hanya lawan dengan diam, membisu, dan menangis dalam hati," kata pria gay ini.

Menurut Soffa Ihsan, pemerhati ma salah sosial keagamaan dari UIN Syarif Hidayatullah, agama seringkali dijadikan dasar perbuatan diskriminatif tersebut. Padahal, menurut dia, produk pemikiran fikih telah menyingkapkan bahwa fikih telah mengakui kedudukan homoseksual. "Karena itu, tidak ada keraguan menyangkut kedudukan homoseksual dalam puspa ragamnya dilihat dari konteks keagamaan," kata dia. (art)

back