Suara Pembaruan, Rabu, 26 September 2007 |
Waria dan Aliansi Masyarakat Miskin |
[JAKARTA] Menjelang pengesahan Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No 11 Tahun 1998 tentang Ketertiban Umum (Tibum), protes warga Jakarta semakin bergema. Berbagai aliansi masyarakat dibentuk khusus untuk menolak Perda tersebut. "Arus Pelangi bersama Forum Komunikasi Waria (FKW) DKI Jakarta, serta Aliansi Masyarakat Miskin menyuarakan protes, karena Perda tersebut dianggap bentuk kriminalisasi warga," kata Ketua Arus Pelangi, Rido Triawan, saat konferensi pers bertema "Perda Tibum: Bentuk Pemberangusan Penghidupan Waria" di Jakarta, Selasa (25/9). Menurut Rido, Perda tersebut, menyebabkan banyak wanita pria (waria) yang menjalani pekerjaan informal kehilangan mata pencahariannya. Di sisi lain, pemerintah juga tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk bekerja di sektor formal. Selain itu, menurut Rido, profesi-profesi informal lainnya, seperti pengamen dan pekerja seks komersil (PSK), serta orang-orang miskin di DKI Jakarta, semakin terpinggirkan. Padahal ke depannya, pemerintah secara tidak langsung membuat Jakarta menjadi gudangnya pengangguran. "Hukuman kurungan, tahanan, dan denda yang akan dikenakan kepada mereka, membuat mereka tak punya kesempatan lagi untuk mencari nafkah di jalan raya," katanya. Menurut data dari Forum Komunikasi Waria DKI Jakarta, pada tahun 2006, jumlah waria di Jakarta mencapai 3.700 jiwa. Dari segi mata pencaharian, jumlah waria yang menjadi pengamen mencapai 10 persen dan waria yang terinfeksi virus HIV/AIDS mencapai 30 persen. Sementara itu, menurut perwakilan Aliansi Masyarakat Miskin, Heru, dana pemerintah untuk kebutuhan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang berjumlah lebih dari Rp 300 miliar untuk membersihkan Jakarta dari masyarakat miskin yang bekerja di sektor informal, menyebabkan jutaan warga Jakarta resah. Berdasarkan data, jumlah warga miskin kota pada tahun 2006 mencapai 4,57 persen dari keseluruhan jumlah warga Jakarta, atau kurang lebih mencapai 407.000 jiwa. [MDM/N-6] |