Koran Tempo,  Sabtu, 15 Desember 2007  

Ketika Melamar Kerja,
Orientasi Seksual Mereka Jadi Kendala

Waria Minta Perlakuan Diskriminatif Dihapus

JAKARTA - Pemerintah diminta memberikan kesempatan kerja di sektor formal bagi kelompok waria di Indonesia. Selama ini kesempatan kerja bagi mereka masih terbatas dan kelompok waria selalu 'mendapat perlakuan diskriminatif saat akan bekerja di sektor formal.

"Sulit sekali mencari kerja bagi para waria. Padahal mereka punya kesempatan dan hak yang sama," kata Ketua Arus Pelangi Ridho Triawan dalam peluncuran buku Hak Kerja Waria, Tanggung Jawab Negara di Jakarta Media Center kemarin.

Puluhan waria, gay, dan lesbian hadir dalam peluncuran buku terbitan Arus Pelangi dan Friedrich Ebert Stiftung itu. Sebuah film karya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia diputar untuk menggambarkan sulitnya waria memperoleh pekerjaan formal.

Ridho menegaskan kelompok waria semakin sulit mendapat akses ke pekerjaan karena stigma negatif dari masyarakat, ditambah perlakuan hukum oleh pemerintah yang menganggap waria sebagai penyakit masyarakat. "Waria dirazia dan diperlakukan tidak layak," katanya.

Hambatan dalam memperoleh akses pekerjaan ini membuat waria sulit mengembangkan diri]. Padahal pendidikan, kemampuan, dan keterampilan waria setara dengan orang lain dengan status hukum jelas. Sejumlah waria yang sudah bekerja di sektor formal, kata dia, justru dipecat dari pekerjaannya karena berani menunjukkan identitasnya.

Karena itu, kaum waria meminta pemerintah menghapus perlakuan diskriminatif. Sebab, bertentangan dengan Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

"Pemerintah harus bertanggung jawab menyediakan lapangan kerja bagi mereka. Waria bukan orang cacat mental," kata Ridho. Untuk menghapus diskriminasi, kata Dewi Djakse dari Fraksi PDI Perjuangan, kaum waria harus dilibatkan dalam beragam karya nyata dalam masyarakat. Sebab, dengan berkarya, mereka tidak lagi dipandang berdasarkan identitas dan orientasi seksual mereka. "Waria akan dilihat dari kemampuan dan pendidikan mereka," kata dia.

Keke Amalia dalam testimoninya menceritakan pengalaman saat ia bekerja sebagai sales promotion boy di sebuah pusat belanja di Bandung. Waria bernama asli Budi Nugraha ini diminta menyimpan sikap kemayunya. Ia juga dipaksa memakai pakaian laki-laki serta mengubah gaya bicara dan gerakgerik. "Karena menolak, dua pekan kemudian saya dipecat," kata Keke.

Keterbatasan akses waria di tempat kerja membuat kaum transgender ini tidak memiliki pilihan lain untuk mencari penghidupan. Kelompok waria ini, kata Ridho, akhirnya terpaksa memutuskan menjadi pekerja seks hanya untuk mencari uang makan. "Pekerjaan ini jelas mengandung risiko tertular HIV/AIDS dan mengalami kekerasan," katanya.

Padahal tidak jarang di antara mereka yang mengenyam pendidikan S-l, bahkan S-2, jenjang pendidikan yang seharusnya menempatkan mereka dalam pekerjaan sektor formal. "Masalahnya, ketika mereka melamar di sebuah institusi, orientasi seksual jadi kendala," katanya.
NININ DAMAYANTI

back