|
Kelenteng
Da Bo Gong, Jakarta
Meskipun seusia dengan kelenteng Jin-de Yuan di Glodok, Kelenteng
Da-ba-gong (Kelenteng Ancol) mempunyai latar belakang yang berbeda. Kelenteng ini dalam
bahasa Tionghoa disebut Da-bo-gong miao atau Kelenteng Da-bo-gong. Dewa Da-bo-gong identik
dengan dewa yang telah disebutkan dalam hubungan dengan kelenteng Jinde yuan, yaitu
Fu-de zheng-shen, Dewa bumi dan kekayaan. Biasanya Da-bo-gong digambarkan
bersama istrinya (Bo-pong). Dari Da-bo-gong atau Toa-pe-kong (lafal Hokien) muncul istilah
bahasa Indonesia untuk patungpatung dewa Tionghoa, yaitu topekong.
Terdapat dua kelenteng lain teruntuk dewa yang sama, yaitu
kelenteng di tanjungkait (dari sekitar tahun 1792) di utara Tangerang dan kelenteng
You-mi-hang-hui di Jl. Pejagalan II (dari tahun 1823).
Ada sesuatu yang mengherankan mengenai kelenteng ini. Orang
Tionghoa tidak boleh membawa daging babi kedalam pekarangan kelenteng. Mengapa? Ini
bertautan dengan ciri khasnya: Kelenteng Ancol adalah tempat keramat ganda. Pada zaman
dahulu, orang Tionghoa dan orang Islam keduanya beribadat ditempat yang sama. Jadi tempat
ini merupakan kelenteng Tionghoa dan sekaligus tempat keramat bagi orang Islam. Tempat
keramat ganda seperti kelenteng Ancol, juga ditemukan di Semarang (Gedung Batu) dan
Palembang (Pulau Kemarau).
Ada sebuah cerita yang patut disimak tentang kelenteng ini.
Suatu ketika seorang jurumudi jung Tionghoa tiba ditempat ini dan jatuh cinta dengan
seorang ronggeng sunda. Karena wanita ini seorang Muslimat, maka sebelum menikah mereka
berjanji satu sama lain, bahwa mereka tidak akan pernah makan daging babi yang dianggap
haram oleh kaum Muslim dan petai yang oleh orang Tionghoa totok dianggap menjijikan karena
baunya. Itulah sebabnya para dewa akan marah jika seseorang membawa kedua jenis makanan
tersebut kedalam kompleks kelenteng.
Suatu hari juru mudu tersebut hendak berlayar jauh, maka ia
menyuruh seorang yang bernama Kong Toe Tjoe Seng membangun sebuah kelenteng dan menjaganya
selama seratus tahun. Tetapi sebelum kelentang ini selesai, juru mudi tersebut dan
istrinya sitiwati meninggal. Mereka dikuburkan dalam kelenteng bersama-sama dengan adik
istrinya Ibu Mone. Nama tiga orang ini terdapat dalam ruang utama pada altar-altar dengan
beberapa patung. Tetapi terdapat sebuah makam lain tanpa patung, yaitu makam pembangun
kelenteng Kong Toe Tjoe Seng. Sebelum meninggal ia berubah bentuk menjadi Toa Pekong atau
Da-bo gong, inkarnasi dari Dewa Bumi, dewa utama kelenteng Ancol.
Majikan juru mudi tersebut disebut Sampo Toa Lang atau Sampo Tai
jin, yang diartikan oleh orang setempat sebagai 'Yang dituankan' atau 'Orang tersohor'.
Dia mendaratkan kapalnya dekat Semarang di Jawa Tengah antara tahun 1405 dan 1413. Jangkar
kapal ini dipertunjukan di kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu di Semarang. Inilah
pokok tradisi kedua kelenteng ini.
Ruang utama kelenteng ini dipersembahkan kepada Da Bo Gong dan
istrinya Bo Pong, keduanya dipandang sebagai wujud sepasang suami-istri yang dikuburkan
disana. Disebelah kanan tampak patung Wang Zhu Cheng, seorang perwira yang katanya
ditinggalkan Laksamana Zheng Ho. Laksamana ini dikenal sebagai Kasim atau Sida-sida Agung
dari Zaman Wangsa Ming, yang didewakan sebagai Sampo Tai Jin di Kelenteng Gedung Batu di
Semarang. Zheng Ho adalah putra seorang haji dan banyak perwiranya yang beragama Islam
juga. Hal ini dapat menerangkan sifat ganda Kelenteng Ancol.
Sebatang papan kayu horisontal dari tahun 1756 memuat nama serta
jabatan tokoh-tokoh Tionghoa di Batavia sesudah pembantaian massal tahun 1740. Papan ini
dapat dilihat diatas altar utama dalam ruang utama. Salah satu dari papan nama yang
terpasang diatas meja besar pada pintu masuk bahkan lebih tua, yakni dari tahun 1755.
Masih terdapat banyak papan dari kayu dan batu dalam kelenteng ini dan kebanyakan berasal
dari abad ke-19. |