Kelenteng Wan Ji Sie, Jakarta
Sejarah Kelenteng Sentiong (Kelenteng Kuburan Batu) atau Kelenteng
Wan Jie Si, sama sekali berbeda. Kelenteng ini terletak di Jl. Lautze no.38 dan dalam
bahasa Indonesia disebut Vihara Buddhayana. Sejarah bangunan ini menjelaskan banyak segi
unik dari kelenteng ini yang sama sekali tidak tampak seperti banguna Tionghoa. Kenapa?
Pada tahun 1736 Frederik Julius Coyett, seorang anggota Dewan Hindia, mendirikan sebuah
rumah peristirahatan dalam taman luas diluar Kota. Rumah ini dibangun disisi barat 'Jalan
raya ke selatan' yang kini disebut Jalan Gunung Sahari. Pada tahun 1733 F.J. Coyett
mengepalai sebuah utusan resmi ke Istana Susuhunan di Kartasura. Anggota rombongannya C.A.
Lons, mengunjungi reruntuhan candi Prambanan dan dua patung Buddha dari Kalasan. Ia
menghadiahkan patung- patung itu kepada tuannya, Coyett. Sumber lain mengatakan bahwa
Coyett membawa patung-patung itu dari Srilangka juga. Ia memasang beberapa patung pada
tembok rumah barunya, dan tempat lain dalam kebunnya yang luas. Patung-patung ini akan
memainkan peranan penting dalam sejarah masa depan rumah ini.
Pada hari terakhir hidupnya (1736) Coyett yang tidak mempunyai anak menikah dengan G.M.
Goossens, Wanita cantik dan kaya. Dia adalah janda M. Westpalm, yang batu nisannya dapat
dilihat di Taman Prasasti. Tahun berikutnya Ny. Goossens menikah lagi dengan Johannes
Thedens, Gubernur Jendral batavia 1740-1743. Ny. Goossens menjual rumah dan kebun yang
diwarisi Coyett itu beberapa tahun sebelum meninggal. Rumah besar itu berganti-ganti
pemilik lagi sampai diperoleh oleh Gubernur Jendral Jacob Mossel (1761).
Pemilik rumah berikutnya Simon Josephe membeli rumah Sentiong sebagai obyek spekulasi
semata. ia menjualnya dengan harga mahal kepada Kapten Tionghoa Lim Tjipko. Dalam 'Kronik
Sejarah Tionghoa' di batavia dicatat:
Pada tahun 1760 kapten kaum Tionghoa bersidang bersama letnan-letnannya guna
memperoleh pekuburan baru. Mereka meminta semua warga memberi sumbangan untuk mendapatkan
'taman gubernur' di Golong Sari (Gunung Sahari), dimana terdapat kelenteng Buddhis dengan
banyak patung dari baru, yang dahulu dibuat oleh orang Tionghoa. Orang-orang Tionghoa
bergembira, bahwa mereka dapat membeli tanah ini ...
Pada tahun 1888 rumah ini menjadi milik resmi Gong guan atau 'Dewan orang-orang
Tionghoa'. Dua segi khas kelenteng ini perlu diperhatikan. Kelenteng ini semula dibangun
sebagai rumah peristirahatan Belanda, dan kini dewa-dewa Hindu-Jawa disembah dalam sebuah
kelenteng yang pada dasarnya Buddhis.
Karena rumah peristirahatan Belanda ini menjadi kelenteng Buddhis pada akhir abad
ke-18, maka tiada lagi barang-barang antik, selain patung-patung tersebut yang mungkin
berasal dari abad ke-8 atau ke-10.
Sebuah tambahan yang menarik pada Kelenteng Wan Jie Si ini telah dibongkar. Diseberang
pintu masuk, dihalaman Club Indonesia AA, sejak awal abad ini pernah terdapat Kramat Kuda,
sebuah keramat kecil, tempat pemujaan sinkretis. Sebuah patung Dewa Hindu Kuwera dari abad
ke-10 ditemukan kembali di tempat ini pada tahun 1904 diantara akar-akar sebuah pohon
besar. Pada tahun 70-an patung tersebut hilang begitu saja. Pada umumnya, barang-barang
kuno yang bertalian dengan ibadat Hindu dan Tionghoa di Jakarta belum dipelihara dan
dilindungi sebagaimana mestinya.
|