Masa Jaman Kerajaan di Jawa Timur
Di Jawa Timur, agaknya agama Buddha dan agama Siwa hidup
berdampingan. Hal ini tertera dari prasasti-prasasti dimana mPu Sindok disebut dengan
gelar Sri Isana (sebutan Siwa) sedangkan puntrinya menikah dengan Lokapala yang juga
disebut Sugatapaksa (sebutan Buddhis). Juga ditemukan pengaruh tantra pada kedua agama ini
cukup kuat.
Dari kesusastraan yang ada, didapat bahwa kesusastraan yang
terkuno disusun sedemikian rupa, hingga terdiri dari ayat-ayat dalam bahasa Sanskrit, yang
diikuti oleh keterangan bebas dalam bahasa Jawa kuno. Dari sini terlihat bahwa ayat-ayat
itu berasal dari India. Dalam perkembangan selanjutnya adalah kitab tersebut terdiri dari
ayat dalam bahasa Jawa kuno dan diselingi bait-bait dari bahasa Sanskrit. Ini menunjukan
hubungan dengan India sudah longgar. Akhirnya terdapat kitab yang seluruhnya terdiri dari
bahasa Jawa kuno, hanya kadang terdapat selingan dalam bahasa Sanskrit.
Pada jaman ini ada dua buku yang menguraikan ajaran Mahayana,
yaitu 'Sanghyang Kamahayan Mantrayana' yang berisi ajaran yang ditujukan kepada bhikkhu
yang sedang ditasbihkan, dan 'Sanghyang Kamahayanikan' yang berisi kumpulan pengajaran
bagaimana orang dapat mencapai kele pasan. Pokok ajaran dalam Sanghyang Kamahayanikan
adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam- macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya
adalah sama. Bagi penulis Sanghyang Kamahayanikan tidaklah terlalu sulit untuk
mengidentifikasikan Siwa dengan Buddha dan menyebutnya "Siwa-Buddha", bukan lagi
Siwa atau Buddha, tetapi Siwa-Buddha sebagai satu Tuhan.
Beralih ke jaman Majapahit, dapat disimpulkan bahwa jaman ini
adalah jaman dimana Sinkretisme sudah mencapai puncaknya. Agaknya aliran Siwa, Wisnu dan
Buddha dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam dari
suatu kebenaran yang sama. Siwa dan Wisnu dipandang sama nilainya dan mereka digambarkan
sebagai 'Harihara' yaitu patung setengah Siwa setengah Wisnu. Siwa dan Buddha dipandang
sama. Didalam kitab Arjunawijaya umpamanya diceritakan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki
candi Buddha, para bhikkhu menerangkan bahwa para Jina dari penjuru alam yang digambarkan
pada patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Siwa. Wairocana sama dengan
Sadasiwa yang menduduki tempat tengah. Aksobya sama dengan Rudra yang menduduki tempat
timur. Ratna sambhawa sama dengan Brahma yang menduduki selatan, Amitabha sama dengan
Mahadewa yang menduduki barat dan Amogasiddhi sama dengan Wisnu yang menduduki utara. Oleh
karana itu para bhikkhu tersebut mengatakan tidak ada perbedaan antara agama Buddha dengan
Siwa. Dalam kitan 'Kunjarakarna' disebutkan bahwa tiada seorangpun, baik pengikut Siwa
maupun Buddha yang bisa mendapat kelepasan jika ia memisahkan yang sebenarnya satu, yaitu
Siwa-Buddha.
Kita mendapat kesan bahwa pada waktu itu agama Buddha lebih
berkembang dari agama Siwa. Ini dilihat dari kitab Sutasoma yang mencaritakan tentang
kemarahan Kalarudra yang hendak membunuh Sutasoma, titisan Buddha. Para dewata mencoba
meredakan Kalarudra dengan mengingatkan bahwa sebenarnya Buddha dan Siwa tidak bisa
dibedakan. Jinatwa (hakekat Buddha) adalah sama dengan Siwatattwa (hakekat Siwa).
Selanjutnya dianjurkan agar orang merenungkan Siwa-Buddha-tattwa, hakekat Siwa-Buddha.
Hal ini tampak juga dari cerita Bubuksah yang ceritanya juga
dilukiskan di candi Panataran. Dua saudara yang tua bernama Gagang Aking, pengikut Siwa
dan Bubuksah pengikut Buddha, sejak muda hidup sebagai pertapa di gunung Wilis. Bubuksah
makan segala sesuatu yang dapat dimakan sedangkan Gagang Aking memakan sayuran saja.
Mereka berdebat tentang dua pertapaan ini. Kemudian dewa Mahaguru mengutus Kala Wijaya
dalam wujud harimau putih untuk menguji kedua anak itu. Ketika harimau putih datang ke
Gagang Aking, dinasehatinya supaya pergi saja keadiknya karena tubuhnya lebih gemuk.
Ketika harimau itu tiba ditempat Bubuksah, dengan sengaja ia merelakan dirinya untuk
disantap, supaya ia lepas dari dunia fana ini. Dari sini jelaslah bahwa Bubuksah itu
pengikut Buddha yang suci sekalipun ia tidak keras dalam tapanya. Ia mendapat tempat di
surga. Cerita ini mengungkapkan suatu polemik, yang menunjukan keunggulan agama Buddha.
Sekalipun demikian carrita ini dilukiskan pada candi Prambanan.
Dari sini makin jelas bahwa unsur-unsur indonesia asli makin
kedepan yang diuraikan dalam bentuk agama Hindu dan Buddha. |