|
Masa Jaman Kerajaan di Jawa Tengah
Dibandingkan dengan jaman sebelumnya, sumber Agama Buddha di Jawa
Tengah sedikit lebih banyak. Pada jaman ini di Jawa Tengah sudah terdapat dua kerajaan
besar : Kerajaan dari dinasti Syailendra yang memeluk agama Buddha dan kerajaan dari
dinasti Sanjaya yang memeluk agama Siwa. Agaknya hubungan kedua kerajaan ini baik sekali,
sebab berita yang ada menyebutkan bahwa kedua kerajaan tersebut saling tolong menolong
dalam pendirian candi.
Di kerajaan Syailendra agama yang dipeluk adalah agama Buddha
Mahayana. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan-peninggalan sejarah dan candi dari
kerajaan ini yang bercorak Buddha Mahayana. Walaupun kerajaan Syailendra banyak mendirikan
candi namun masih terbilang sedikit bila dibandingkan dengan candi yang dibangun oleh
kerajaan Sanjaya. Bahwa yang berkembang adalah Buddha Mahayana, jelas terlihat dari candi
di desa Kalasan - yang kemudian diabadikan sebagai nama candi tersebut. Candi ini
dipersembahkan untuk Dewi Tara, rekan wanita Buddha. (Avalokitesvara ?).
Agaknya pada masa ini masih ada hubungan yang erat dengan India,
sebab ada juga berita bahwa seorang guru dari Gaudidwipa (Bengala) yang memimpin upacara
pada waktu peresmian patung Manyuri. Demikian juga diberitakan diprasasti lain bahwa ada
orang dari Gujarat yang senantiasa melakukan kebaktian di candi tertentu. Dugaan itu
berasal dari berita di India. Raja Dewapala dari dinasti Pala (Bengala) pada tahun
pemerintahannya yang ke-39 (antara tahun 856 dan 860) menghadiahkan beberapa desa untuk
keperluan pemeliharan sebuah vihara di Nalanda, yang didirikan oleh Balaputra, raja
Suwarnadwipa (Sumatra), cucu raja di Jawa.
Sekalipun demikian keadaan di Jawa Tengah tidak sama dengan
keadaan di Sriwijaya.
Mahayana yang bagaimanakah yang berkembang di Jawa Tengah?
Pertanyaan itu sukar dijawab. Yang perlu diperhatikan adalah pada prasasti Kalurak (782)
yang agaknya berhubungan juga dengan peresmian patung Mansyuri, disebutkan bahwa Mansyuri
selain disamakan dengan Triratna juga disamakan dengan Brahma, Wisnu dan Maheswara. Bagi
para pengikut Mahayana di Jawa Tengah, agaknya para Bodhisatva tidak dibedakan dengan dewa
dari hindu.
Disamping prasasti, ada candi-candi yang menjadi saksi agama
Buddha di Jawa Tengah. Candi tersebut memberikan penjelasan yang lebih banyak. Yang paling
terkenal adalah candi Borobudur.
Jika ingin mengerti arti Borobudur, bangunan itu harus dipandang
sebagai satu kesatuan. Dari susunan candi yaitu yang terdiri atas teras-teras yang
bermacam-macam, agaknya Borobudur mengungkapkan gambaran dunia menurut salah satu aliran
Mahayana. Borobudur menggambarkan seluruh alam semesta atau kosmos ini terbagi atas tiga
bagian : Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu. Kamadhatu adalah hawa nafsu dan ini
digambarkan dengan jelas pada bagian bawah. Disini hidup orang yang masih terikat oleh
hawa nafsu dan segala hal yang berbau duniawi. Rupadhatu adalah dunia rupa, atau alam yang
terbentuk, yang digambarkan pada lima teras yang menggambarkan hidup Buddha Gautama.
Arupadhatu adalah alam yang tak berupa, tidak berbentuk. Pusat dari alam ini adalah stupa
yang dipuncak, yang kosong, yang menggambarkan sunyata atau Nirwana atau Adhi Buddha.
Mengingat susunan Borobudur yang demikian, agaknya dapat diambil
kesimpulan bahwa Borobudur ingin mengungkapkan ajaran Mahayana dalam hubungan kosmis.
Borobudur adalah tempat untuk ber meditasi, tempat untuk merenung.
Mengingat bahwa Borobudur dibangun diatas bukit, agaknya
pembangunan Borobudur itu dijiwai oleh gagasan Indonesia kuno, yaitu tentang afanya tempat
suci yang berbentuk teras, yang biasanya dipakai untuk menyembah nenek moyang, dan
terletak diatas bukit. Oleh karena itu maka kiranya penyembahan kepada Bodhisatva sudah
dipandang sebahai alat untuk menyembah nenek moyang mereka yang sudah meninggal. Jika
demukian maka agama Buddha pada waktu ini sudah dipengaruhi oleh cita-cita keagamaan
indonesia asli. |