Masa Jaman Kerajaan Sriwijaya
Banyak orang menduga bahwa awal masuknya agama Buddha ke Indonesia
adalah pada kedatangan Aji Saka ke tanah Jawa pada awal abad kesatu. Dugaan ini berawal
dari etimologis terhadap Aji Saka itu sendiri, serta hal-hal yang berkaitan dengannya.
Kata 'Aji' dalam bahasa Kawi bisa berarti ilmu yang ada hubungannya dengan kitab suci,
sedangkan 'Saka' ditafsirkan sebagai kata Sakya yang mengalami transformasi. Dengan
demikian mungkin kata Aji Saka ditafsirkan sebagai gelar raja Tritustha yang ahli mengenai
kitab suci Sakya, dalam hal ini ahli tentang Buddha Dhamma, selain dianggap sebagai orang
yang bertanggung jawab terhadap pembuatan aksara Jawa. Bila hal ini benar, tarikh Saka
yang permulaanya dinyatakan sebagai 'Nir Wuk Tanpa Jalu' (Nir berarti kosong (0), Wuk
berarti tidak jadi (0), Tanpa berarti 0 dan Jalu sama dengan 1) yang sekaligus dimaksudkan
untuk mengabadikan pendaratan pertama beliau di Jepara.
Sumber pengetahuan kita tentang Agama Buddha diambil dari prasasti
yang ditemukan dan dari berita-berita luar negri, yaitu dari orang China yang mengunjungi
Indonesia. Prasasti yang berasal dari abad kelima hingga ketujuh tidak terlalu banyak
memberikan informasi. Prasasti itu berasal dari Kalimantan, Sumatra dan Jawa. Dari
prasasti itu kita hanya mengetahui bahwa pada waktu itu ada raja-raja yang memiliki nama
yang berbau India, seperti Mulawarman di Kutei dan Purnawarman di Jawa-barat. Tetapi hal
itu tidak berarti bahwa raja tersebut berasal dari India. Yang paling mungkin adalah
raja-raja tersebut adalah orang Indonesia asli yang sudah masuk agama yang datang dari
India. Selanjutnya prasasti tersebut menunjukan bahwa agama yang dipeluk adalah agama
Hindu. tapi dari penemuan patung-patung Buddha, dapat disimpulkan bahwa agama Buddha juga
sudah ada, walaupun jumlahnya masih sedikit.
Informasi paling tua tentang keberadaan Agama Buddha di Jawa dan
Sumatra didapat dari pengelana China bernama Fah-Hien, yang sekembalinya dari Ceylon ke
China pada tahun 414 terpaksa mendarat di negri yang bernama Ye-Po-Ti karena kapalnya
rusak. Sekarang tidak terlalu jelas apakah Ye-Po-Ti itu Jawa atau Sumatra. Beberapa ahli
mengatakan bahwa Ye-Po-Ti adalah Jawa (Javadvipa). Fah-Hien menyebutkan ada umat Buddha di
Ye-Po-Ti, walaupun cuma sedikit.
Sekalipun demikian agaknya sesudah abad kelima keadaan berubah.
Tidak sampai tiga ratus tahun kemudian, pada akhir abad ketujuh,
Biksu China I-tsing mencatat dengan lengkap agama Buddha dan aplikasinya di India dan
Melayu. Ketertarikan utamanya adalah pada 'rumah agama Buddha' India utara dimana I-tsing
tinggal dan belajar disana selama lebih dari sepuluh tahun. Dari catatannya dapat
dikatakan bahwa agama Buddha di India dan Sumatra mempunyai banyak kesamaan, dimana
I-tsing juga menemukan perbedaan antara agama Buddha di China dan di India.
I-tsing menghabiskan waktunya hidup sendirian sebagai Biksu di
India dan Sumatra. Seluruh bukunya merupakan catatan lengkap tentang kehidupan biarawan.
Ia tinggal di India seluruhnya berdasarkan peraturan vinnaya.
Bila dibandingkan catatan Fah-Hien tahun 414 dengan catatan
I-tsing, dapat diambil kesimpulan bahwa agama Buddha dipulau Jawa dan Sumatra telah
dibangun dengan sangat cepat. Pekerjaan I-tsing selain menulis catatan seperti dikemukakan
diatas, ia juga menulis buku tentang perjalanan seorang guru agama terkenal yang pergi ke
negri disebelah barat (Sriwijaya ?). Diceritakannya pada catatannya itu, kehidupan
biarawan yang pada intinya hampir sama dengan yang ada di India. Dalam bukunya dikatakan
bahwa Biksu asli Jawa dan Sumatra adalah sarjana sanskrit yang sangat bagus. Salah
saatunya adalah Jnanabhadra yang merupakan orang Jawa Asli yang tinggal di Sumatra dan
bertindak sebagai guru bagi biksu China dan membantu menterjemahkan sutra kedalam bahasa
China. Bahasa yang digunakan oleh biksu Buddha adalah bahasa sanskrit. Bahasa pali tidak
digunakan. Bagaimanapun hal ini tidak boleh dijadikan patokan bahwa agama Buddha yang
berkembang disini adalah Mahayana. I-tsing menjelaskan dalam bukunya
Agama Buddha dipeluk diseluruh negri ini dan kebanyakan sistem
yang diadopsi adalah Hinayana, kecuali di Melayu dimana ada sedikit yang mengadopsi
Mahayana
Sudah banyak diketahui umum bahwa literatur agama Buddha berbahasa
sanskrit tidak melulu berarti Mahayana.
Inilah bentuk agama Buddha yang mencapai kepulauan di laut
selatan. I-tsing mengatakan di kepulauan di laut selatan, Mulasarvastivadanikayo hampir
secara universal di adaptasi. I-tsing tampaknya tidak mempermasalahkan perbedaan antara
penganut Hinayana dan Mahayana. Dikatakannya :
Mereka yang menyembah Bodhisatta dan membaca sutra mahayana
disebut penganut Mahayana. Sementara yang tidak disebut penganut Hinayana. Kedua sistem
ini sesuai dengan ajaran Dhamma. Dapatkah kita katakan mana yang benar? Keduanya
mengajarkan kebajikan dan membimbing kita ke Nirvana. Keduanya menuju kepada pemusnahan
nafsu dan penyelamatan semua mahluk hidup. Kita tidak boleh mempersoalkan perbedaan ini.
membuat keraguan yang malah akan membuat kebingungan.
Dari karya-karyanya dapat dikatakan bahwa I-tsing tidaklah terlalu
dalam bergelut dalam masalah filosofi buddhis tetapi hanya tertarik pada kehidupan
biarawan dan tugas-tugas yang diemban oleh mereka. Dengan kata lain, ia memberikan seluruh
waktunya untuk belajar vinnaya dan kehidupan biarawan.
Seperti dikemukakan diatas, di Sumatra dan Jawa lebih berkembang
Hinayana. I-tsing menceritakan bahwa di Melayu, ditengah-tengah pesisir timur Sumatra ada
pula yang menganut Mahayana. Dari sumber lain dijelaskan bahwa sebelum kedatangan I-tsing,
telah datang biksu dari India Dharmapala, ke Melayu dan menyebarkan aliran Mahayana. Awal
abad ke-20, dua prasasti ditemukan di dekat Palembang yang bercorak Mahayana. Prasasti
lain yang dibuat tahun 775, ditemukan di Viengsa, semenanjung Melayu mengemukakan bahwa
salah satu raja Sriwijaya dari keturunan Syailendra - yang tidak cuma memerintah di
selatan Sumatra tapi juga dibagian selatan semenanjung Melayu - memerintahkan pembangunan
tiga stupa. Ketiga stupa tersebut dipersembahkan kepada Buddha, Bodhisatwa Avalokitesvara
dan Vajrapani. Dan ditempat lain ditemukan plat emas yang bertuliskan beberapa nama Dyani
Buddha ; yang jelas-jelas merupakan aliran Mahayana.
Dari berita I-tsing itu selanjutnya kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa pada waktu itu Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha. Disana terdapat
sebuah perguruan tinggi Buddha yang tidak kalah dengan perguruan yang ada di Nalanda
India. Ada lebih dari 1000 biksu yang ajaran serta tata upacaranya sama dengan yang ada di
India. Kecuali pengikut Hinayana, di Sriwijaya juga terdapat pengikut Mahayana. Bahkan ada
guru Mahayana yang mengajar disitu. Dari berita ini jelas bahwa Sriwijaya adalah pusat
agama Buddha Mahayana, yang terbuka bagi gagasan baru dan yang juga senang mengadakan
pekerjaan ilmiah. Oleh karena itu musafir China yang ingin belajar di India pasti singgah
di Sriwijaya untuk mengadakan persiapan. Hal itu juga dilakukan oleh I-tsing sendiri.
Agaknya kemudian Mahayanalah yang berkembang dan berpengaruh
besar. Hal ini terbukti dari beberapa prasasti yang didapat disekitar Palembang yang
menyebutkan bahwa daputa hyang - barangkali perdana menteri - berusaha mencari berkat dan
kekuatan gaib guna meneguhkan kerajaan Sriwijaya, agar segala mahluk dapat menikmatinya.
Dari ungkapan yang digunakan, dapat diambil kesimpulan bahwa upacara ini adalah upacara
indonesia kuno yang sesuai dengan ajaran Mahayana. Dari berita-berita yang lain jelaslah
bahwa Mahayanalah yang berkuasa pada masa itu. Bahkan bukan cuma itu saja, mungkin
pengaruh tantra, yang di India mempengaruhi agama Buddha sejak pertengahan abad ketujuh,
juga terdapat di Sriwijaya. Hal ini didapat dari uraian bahwa salah satu tingkat untuk
mendapatkan hikmah tertinggi adalah wajrasarira, tubuh baja (intan) yang mengingatkan
kepada ajaran wajrayana.
Semua ini menunjukan bahwa pada tahap permulaan masih ada hubungan
yang erat antara Indonesia dan India. Hubungan ini agaknya makin lama makin mengurang.
|