11. PERCERAIAN
Ketiga agama itu berbeda secara nyata dalam sikap masing-masing terhadap perceraian. Agama Kristen sangat membenci perceraian. Perjanjian Baru tanpa ragu-ragu menyatakan hal tidak bisa dibubarkannya suatu perkawinan. Disebutkan sebagai berasal dari Nabi Isa yang berkata:
"Tetapi aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, dia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, dia berbuat zinah." (Matius 5 : 32)
Tidak diragukan lagi, ideal yang tidak mengenal kompromi ini adalah tidak realistik. Ideal ini beranggapan adanya moral yang sempurna yang tidak pernah terwujud dalam masyarakat manusia. Ketika suatu pasangan menyadari bahwa hidup perkawinan mereka tidak bisa diperbaiki, larangan untuk bercerai tidak akan berakibat baik apapun bagi pasangan itu. Memaksa pasangan yang sudah payah untuk tetap bersatu secara bertentangan dengan kehendak mereka adalah tidak efektif dan tidak wajar. Tidaklah mengherankan seluruh dunia Kristen telah diwajibkan untuk memberi sanksi terhadap perceraian.
Sebaliknya agama Yahudi mengizinkan perceraian sekalipun tanpa ada alasannya. Perjanjian Lama memberikan hak kepada suami untuk menceraikan isterinya meskipun hanya karena dia tidak suka akan isterinya.
"Bila seorang laki-laki mengawini seorang wanita yang membuatnya tidak senang karena dia mendapatkan sesuatu yang memalukan mengenai wanita ini, dan dia menuliskan surat cerai, memberikannya kepada isterinya dan mengusirnya dari rumahnya, dan bila sesudah dia pergi dari rumahnya dia menjadi isteri orang laki-laki lain, dan suami keduanya tidak menyukainya dan menuliskan surat cerai, memberikannya kepadanya dan mengusirnya dari rumahnya , atau bila laki-laki itu mati, maka kemudian suami pertamanya yang telah menceraikannya tidak diizinkan untuk mengawininya lagi sesudah wanita itu menjadi tidak suci." (Deuteronomy 24 : 1-4)
Ayat-ayat di atas itu telah menyebabkan banyak perdebatan di antara para sarjana Yahudi karena ketidak sepakatan mereka tentang tafsir kata-kata "tidak menyenangkan", "memalukan" dan "tidak menyukai" yang tersebut dalam ayat itu. Talmud mencatat perbedaan pendapat mereka itu:
"Mazhab Shammai berpendapat bahwa seorang laki-laki tidak boleh menceraikan isterinya kecuali bila dia telah menemukan kesalahan isterinya dalam beberapa tingkah laku seksual, sementara mazhab Hillel mengatakan dia boleh menceraikan isteinya sekalipun isterinya hanya menyia-nyiakan sebuah piring baginya. Pendeta Akiba berkata: dia boleh menceraikan isterinya sekalipun itu karena semata-mata suaminya menemukan wanita lain yang lebih cantik daripada isterinya". (Gittin 90a-b)
Perjanjian Baru mengikuti pendapat kaum Shammai sedang hukum Yahudi mengikuti pendapat Hillel dan R. Akiba ( 33 Epstein, op. cit., p. 196). Semenjak pandangan Hillel yang berlaku, telah menjadi tradisi hukum Yahudi yang tidak terpatahkan untuk memberikan kebebasan kepada suami menceraikan isterinya tanpa adanya sebab apapun. Perjanjian Lama bukan saja memberi suami hak untuk menceraikan isteri yang tidak menyenangkannya, kitab ini menganggap menceraikan "isteri yang jelek" adalah suatu kewajiban:
"Seorang isteri yang jelek membawa kehinaan, pandangan yang merendahkan, dan hati yang terluka. Lemah tangan dan lemah lutut orang laki-laki yang isterinya gagal untuk membahagiakannya. Wanita adalah sumber dosa, dan melalui dialah kita semua mati. Jangan tinggalkan tangki air w.c. bocor atau mengizinkan isteri yang jelek untuk berkata apa yang dia senangi. Jika dia tidak menerima kekuasaanmu, ceraikan dia dan usirlah dia." (Ecclesiasticus 25 : 25)
Talmud telah mencatat beberapa tindakan khusus yang dilakukan wanita yang menyebabkan suaminya wajib menceraikannya:
"Jika dia makan di jalan, jika dia minum dengan rakus di jalan, jika dia menyusui di jalan, dalam setiap hal Pendeta Meir berkata bahwa dia harus meninggalkan suaminya." (Git. 89a)
Talmud juga mewajibkan untuk menceraikan isteri yang mandul (yang tidak memberikan anak sesudah sepuluh tahun):
"Pendeta-pendeta kita mengajarkan: Jika seorang laki-laki menikahi isterinya dan hidup bersamanya selama sepuluh tahun, dan dia tidak memberikan anak, dia harus menceraikannya" (Yeb. 64a)
Sebaliknya menurut hukum Yahudi para isteri tidak bisa memprakarsai perceraian. Tetapi seorang isteri Yahudi dapat menuntut haknya atas suatu perceraian di muka pengadilan Yahudi asalkan ada alasan yang kuat. Sangat sedikit dasar hukum yang diberikan kepada isteri untuk menuntut suatu perceraian. Alasan-alasan ini termasuk: cacat tubuh suami atau penyakit kulit, suami tidak memenuhi tanggung jawab perkawinannya, dsb. Pengadilan mungkin membantu tuntutan wanita atas suatu perceraian, tetapi pengadilan tidak dapat membubarkan perkawinan. Hanya suami yang dapat membubarkan perkawinan dengan memberikan surat cerai kepada isterinya. Pengadilan dapat menghukum, mendenda, memenjarakan dan mengucilkan suami untuk memaksanya menyerahkan surat cerai yang diperlukan itu kepada isterinya. Tetapi bila suami itu cukup keras kepala, dia bisa menolak untuk menceraikan isterinya dan tetap mengikat isterinya kepadanya tanpa batas waktu. Lebih buruk lagi, suami dapat meninggalkannya tanpa menceraikannya dan meninggalkannya tidak kawin dan tidak dicerai. Dia boleh kawin lagi dengan wanita lain atau bahkan hidup bersama dengan wanita lajang tanpa hubungan nikah dan mempunyai anak-anak dari padanya (dalam hukum Yahudi anak-anak ini adalah anak sah). Sebaliknya, isteri yang ditinggal pergi itu tidak bisa kawin dengan orang lain karena dia masih resmi terikat perkawinan dan dia tidak dapat hidup bersama dengan orang laki-laki lain, karena dia akan dianggap sebagai pezina dan anak-anaknya dari hubungan ini akan menjadi anak-anak tidak sah untuk sepuluh turunan. Seorang wanita dalam keadaan begitu disebut agunah (wanita yang terantai) ( 34 Swidler, op. cit., pp. 162-163). Di Amerika Serikat saat ini kira-kira ada 1000 hingga 1500 wanita agunot (jamak untuk agunah), sedang di Israel angka itu mungkin setinggi 16.000. Suami bisa memeras ribuan dollar dari isteri yang terperangkap itu sebagai tukaran dari suatu perceraian ( 35 The Toronto Star, April. 8, 1995).
Dalam hal perceraian kedudukan Islam ada di tengah antara Kristen dan Yudaisme. Perkawinan dalam Islam adalah ikatan suci yang tidak seharusnya dirusakkan, kecuali untuk alasan-alasan yang memaksa. Pasangan-pasangan diperintahkan untuk mencoba segala cara penyelamatan yang mungkin diperoleh bila perkawinan mereka dalam bahaya. Perceraian bukan satu hal yang harus dihampiri, kecuali bila tidak ada jalan keluar lainnya. Secara singkat, Islam mengakui perceraian, namun dengan segala cara tidak menggalakkannya. Marilah kita fokuskan terlebih dulu pada pengakuan terhadap perceraian itu. Islam mengakui hak kedua pihak suami dan isteri untuk mengakhiri hubungan perkawinan mereka. Islam memberikan hak talak kepada suami. Lebih dari itu, Islam berbeda dengan Judaisme, memberikan hak kepada isteri untuk membubarkan perkawinan melalui apa yang disebut khula’ ( 36 Sabiq, op. cit., pp. 318-329. See also Muhammad al Ghazali, Qadaya al Mar'aa bin al Taqaleed al Rakida wal Wafida (Cairo: Dar al Shorooq, 4th edition, 1992) pp. 178-180. ). Jika suami membubarkan perkawinan dengan menceraikan isterinya, suami tidak dapat meminta kembali mahar yang telah dia berikan kepada isterinya. Al Qur’an secara eksplisit melarang suami yang menceraikan isterinya untuk meminta kembali mahar, tidak peduli betapa mahal atau berharganya mahar itu:
"Namun bila telah engkau putuskan untuk menggantikan isterimu dengan yang lainnya, sekalipun engkau telah berikan kepada isterimu terdahulu sejumlah besar kekayaan sebagai mahar, jangan sekali-kali engkau ambil itu kembali; apakah engkau akan mengambilnya dengan cara yang tidak terpuji dan suatu dosa yang nyata?" (4 : 20)
Dalam hal wanita yang memilih untuk mengakhiri perkawinan, dia boleh mengembalikan mahar kepada suaminya. Mengembalikan mahar dalam hal ini adalah kompensasi yang adil untuk suaminya yang ingin menahan isterinya sementara isterinya memilih untuk meninggalkannya. Al Qur’an telah memerintahkan orang laki-laki muslim untuk tidak meminta kembali mahar yang telah diberikan kepada isterinya kecuali dalam hal isteri yang memilih untuk membubarkan perkawinan:
"Tidaklah halal bagimu (laki-laki) untuk meminta kembali maharmu kecuali bila kedua pihak itu khawatir bahwa mereka tidak akan dapat memelihara batas-batas yang telah diperintahkan oleh Allah. Tidak ada salahnya bagi keduanya bila isteri memberikan sesuatu untuk menebus kebebasannya. Inilah batas yang diperintahkan oleh Allah, janganlah engkau melanggarnya." (2 : 229)
Juga, seorang wanita datang menghadap Nabi Muhammad SAW untuk mengusahakan pembubaran perkawinannya, dia menceriterakan kepada Nabi bahwa dia tidaklah mempunyai keluhan terhadap watak atau tingkah laku suaminya. Masalah dia hanyalah bahwa dia secara jujur tidak mencintai suaminya dan tidak lagi dapat hidup bersamanya. Nabi bertanya padanya:
"Maukah engkau memberikan kembali kepada suamimu kebun dia (mahar yang telah dia berikan)?", dia menjawab: "Ya". Nabi kemudian memerintahkan orang laki-laki itu untuk mengambil kembali kebunnya dan menerima pembubaran perkawinan itu (Bukhari).
Dalam beberapa hal, seorang wanita Muslim mungkin mau mempertahankan perkawinannya tetapi mendapatkan dirinya sepertinya wajib untuk menuntut perceraian, karena beberapa alasan yang memaksa seperti: kekejaman suami, ditinggalkan tanpa alasan, suami tidak memenuhi tanggung jawab perkawinan, dsb. Dalam hal-hal ini pengadilan Muslim membubarkan perkawinan itu ( 37 Ibid., pp. 313-318).
Secara singkat, Islam telah memberikan kepada wanita Muslim beberapa hak yang tidak ada taranya: dia dapat mengakhiri perkawinan melalui khula’ dan dia dapat menuntut perceraian. Seorang isteri Muslim tidak akan pernah menjadi yang terantai oleh seorang suami yang keras kepala. Hak-hak inilah yang telah mendorong wanita Yahudi yang hidup di zaman awal masyarakat Islam dari abad ke 7 S.M. untuk berusaha mendapatkan surat cerai dari suami-suami Yahudi mereka dalam pengadilan Muslim. Pendeta-pendeta Yahudi menyatakan surat cerai itu batal dan tidak berlaku. Untuk mengakhiri praktek ini, pendeta-pendeta itu memberikan hak-hak baru dan hak-hak khusus (privileges) kepada wanita Yahudi dalam usahanya untuk melemahkan citra pengadilan Muslim. Wanita Yahudi yang hidup di negeri Kristen tidak diberi hak-hak dan keistimewaan yang sama, karena hukum Romawi tentang leembaga perceraian di sana tidak lebih menarik daripada hukum Yahudi ( 38 David W. Amram, The Jewish Law of Divorce According to Bible and Talmud (Philadelphia: Edward Stern & CO., Inc., 1896) pp. 125-126).
Marilah kita kini memusatkan perhatian pada bagaimana Islam tidak menggalakkan perceraian. Nabi Muhammad SAW bersabda pada orang-orang yang beriman bahwa:
"di antara perbuatan-perbuatan yang diizinkan, perceraian adalah yang paling dibenci Allah" (Abu Dawud)
Seorang laki-laki Muslim tidak boleh menceraikan isterinya hanya karena semata-mata tidak menyukainya. Al Qur’an memerintahkan orang laki-laki Muslim untuk berbuat baik terhadap isterinya sekalipun secara emosional dalam keadaan dingin atau tidak senang:
"Bergaullah dengan mereka (isteri-isteri) dengan cara yang baik, karena sekiranya engkau tidak menyukai mereka, mungkin saja Allah telah menjadikan kebaikan yang banyak pada apa yang engkau tidak sukai itu." (4 : 19)
Nabi Muhammad SAW bersabda serupa dengan itu:
"Seorang laki-laki beriman tidak boleh membenci seorang wanita beriman. Bila dia (laki-laki) tidak suka dengan salah satu kelakuannya, dia (laki-laki) akan suka dengan lainnya." (Muslim)
Nabi juga telah menekankan bahwa Muslim yang terbaik adalah mereka yang terbaik terhadap isteri-isterinya:
"Orang-orang beriman yang menunjukkan iman yang sempurna adalah mereka yang memiliki akhlaq terbaik dan yang terbaik di antaramu adalah mereka yang terbaik terhadap isteri-isteri mereka." (Tirmidhi)
Namun Islam adalah agama praktis dan sesungguhnya mengakui bahwa ada keadaan-keadaan di mana sebuah perkawinan ada di pinggir kehancuran. Dalam keadaan semacam itu, sekedar nasehat tentang kebaikan atau menahan diri bukanlah pemecahan yang bermanfaat. Jadi, apakah yang harus dilakukan untuk menyelamatkan perkawinan dalam keadaan seperti itu? Al Qur’an menawarkan beberapa saran praktis kepada suami atau isteri yang isterinya atau suaminya ada di pihak yang salah. Bagi suami yang kelakuan buruk isterinya mengancam perkawinan, Al Qur’an memberikan empat jenis saran seperti tersebut dalam ayat berikut:
"Dan wanita –wanita yang engkau khawatir kedurhakaannya itu, hendaknya (1) engkau nasihati, (2) tinggalkan di ranjang mereka, (3) pukullah mereka; tetapi bila mereka taat kepadamu, janganlah engkau cari-cari jalan lain untuk menyusahkan mereka, karena sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar. (4) Jika kamu khawatir perselisihan di antara mereka berdua, angkatlah dua orang hakim yaitu satu dari pihak laki-laki dan satu dari pihak wanita. Jika mereka berdua menghendaki perdamaian, niscaya Allah akan memberikan taufiq kepada keduanya (suami isteri) itu." (4 " 34-35)
Tiga yang pertama harus dicoba dulu. Bila ini tidak berhasil, baru kemudian pertolongan dari keluarga yang bersangkutan diusahakan. Harus dicatat, dalam semangat dari ayat -ayat tsb di atas, bahwa pemukulan terhadap wanita yang suka memberontak itu adalah suatu tindakan sementara yang ada di nomor tiga (dan hanya) dalam hal keharusan yang sangat dengan harapan, bahwa tindakan ini akan menyembuhkan kesalahan isteri. Jika tindakan ini betul menyembuhkannya, suami dengan cara apapun tidak boleh lagi melanjutkan gangguan kepada isterinya seperti jelas tersebut dalam ayat di atas. Bila sebaliknya, suami masih tetap tidak boleh melanjutkan tindakan itu lagi dan jalan keluar terakhir berupa rekonsiliasi melalui bantuan dari keluarga haruslah diusahakan.
Nabi Muhammad SAW telah memerintahkan para suami Muslim bahwa mereka tidak boleh memilih tindakan ini kecuali dalam hal yang ekstrim seperti percabulan yang terang-terangan telah dilakukan oleh isteri. Bahkan dalam hal itupun hukumannya harus ringan dan bila isteri menjadi jera, suami tidak boleh mengganggunya lagi:
"Dalam hal mereka itu bersalah atas percabulan terbuka, engkau boleh meninggalkan mereka sendiri di ranjang-ranjang mereka (tidak mencampuri) dan menghukum mereka dengan ringan. Bila mereka patuh terhadap engkau, janganlah engkau mencari-cari alasan apapun untuk mengganggunya lagi." (Tirmidhi)
Selanjutnya Nabi Islam ini telah mencela setiap pemukulan yang tidak dapat dibenarkan. Sementara isteri-isteri Muslim mengeluh kepada Nabi bahwa suami-suami mereka telah memukul mereka. Mendengar hal ini Nabi bersabda dengan tegas bahwa:
"Mereka yang berbuat demikian (memukul isteri-isteri mereka) bukan yang terbaik di antara kamu" (Abu Dawud)
Disini harus diingat bahwa Nabi juga bersabda:
"Yang terbaik di antara kamu adalah dia yang terbaik bagi keluarganya, dan aku adalah yang terbaik di antara kamu bagi keluargaku" (Tirmidhi)
Nabi telah memberi nasehat kepada seorang wanita Muslim, yang namanya Fatimah binti Qais, agar tidak menikah dengan seorang laki-laki karena laki-laki itu terkenal suka memukul wanita-wanita:
"Saya menemui Nabi dan berkata: Abul Jahm dan Mu'awiah telah melamar saya untuk kawin dengannya. Nabi (dengan gaya memberi nasehat) bersabda: Mu'awiah adalah orang yang sangat miskin dan Abul Jahm terbiasa untuk memukul wanita-wanita." (Muslim)
Harus dicatat bahwa Talmud membenarkan memukul isteri sebagai suatu hukuman dengan tujuan untuk disiplin. ( 39 Epstein, op. cit., p. 219). Suami tidak dibatasi hanya dalam hal kasus yang ekstrim saja seperti percabulan terang-terangan. Dia dibolehkan untuk memukul isterinya bahkan bila isterinya itu sekedar menolak untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangganya. Lebih lanjut, dia tidak dibatasi hanya atas pengetrapan hukuman ringan. Dia dibolehkan untuk mematahkan kekerasan hati isterinya dengan cambukan atau dengan membuatnya lapar ( 40 Ibid, pp 156-157).
Untuk isteri yang kelakuan buruk suaminya menyebabkan perkawinannya hampir runtuh, Al Qur'an memberikan nasehat yang berikut:
"Dan jika wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik." (4 : 128)
Dalam hal ini, isteri dinasehati untuk mencarai perdamaian dengan suaminya (dengan atau tanpa bantuan keluarga). Dapat dicatat bahwa Al Qur'a tidak menasehati isteri untuk memilih dua tindakan yang berupa menghindarkan diri dari seks dan pemukulan. Alasan bagi disparitas ini mngkin adalah untuk melindungi isteri dari reaksi fisikal yang keras oleh suaminya yang memang sudah bertingkah laku salah. Reaksi fisikal yang keras demikian itu akan berakibat lebih banyak buruknya bagi keduanya daripada baiknya. Beberapa sarjana Muslim menyarankan agar pengadilan dapat memberlakukan tindakan ini terhadap para suami atas nama para isteri. Yaitu pengadilan pertama-tama menasehati suami yang suka melawan itu, kemudian melarangnya untuk mencampuri isterinya, dan akhirnya melaksanakan pemukulan simbolik. ( 41 Muhammad Abu Zahra, Usbu al Fiqh al Islami (Cairo: al Majlis al A'la li Ri'ayat al Funun, 1963) p. 66).
Sebagai kesimpulan, Islam memberikan kepada pasangan nikah Muslim banyak nasehat yang berlaku untuk menyelamatkan perkawinan mereka dalam hal kesulitan dan ketegangan. Bila salah satu dari pasangan itu membahayakan hubungan perkawinan , maka pasangan yang lainnya dinasehati oleh Al Qur'an untuk melakukan apa saja yang mungkin dan efektif untuk dapat menyelamatkan ikatan suci itu. Bila semua tindakan itu tidak berhasil, Islam mengizinkan pasangan itu untuk bercerai dengan aman damai dan penuh persahabatan.