WANITA DALAM ISLAM DIBANDINGKAN DENGAN WANITA DALAM TRADISI YAHUDI KRISTEN
Oleh DR Sherif Abdel Azeem



Alih Bahasa Oleh: H.W. Pienandoro SH


13. HAK WARIS WANITA

Salah satu perbedaan yang paling penting antara Al Qur’an dengan Injil adalah sikapnya terhadap hak waris bagi wanita atas harta milik seorang saudara yang mati. Sikap Injil telah dilukiskan dengan terus terang oleh Rabbi Epstein:

  • "Tradisi yang berlanjut dan tak terputuskan sejak masa Injil tidak memberikan hak suksesi atas harta kekayaan keluarga kepada para wanita dalam rumah tangga, isteri dan anak- anak perempuan. Dalam skema suksesi yang lebih primitif, anggota wanita dari suatu keluarga dianggap sebagai bagian dari harta kekayaan dan sebagaimana para budak, wanita ini sangat jauh dari ahli waris yang sah. Seperti halnya dalam hukum Musa para anak-anak perempuan diakui memiliki hak suksesi dalam hal tidak ada laki-laki yang tertinggal, isteri tidak diakui sebagai ahli waris bahkan dalam hal serupa itu." ( 44 Epstein, op. cit., p. 175)

Mengapa anggota wanita dalam keluarga dianggap sebagai bagian dari harta kekayaan keluarga? Rabbi Epstein mempunyai jawaban:

  • " Sebelum nikah, mereka dimiliki oleh ayahnya; sesudah nikah oleh suaminya." ( 45 Ibid., p. 121).

Aturan tentang warisan dalam Injil terdapat dalam Bilangan 27 : 1-11. Seorang isteri tidak punya hak dalam harta kekayaan suaminya, sedang suami itu adalah pewaris pertama dari harta kekayaan isteri, bahkan sebelum anak-anak lakil-lakinya. Seorang anak perempuan hanya dapat mewarisi bila tidak ada pewaris laki-laki. Seorang ibu bukan pewaris sama sekali sedang ayah adalah pewaris. Janda dan anak-anak perempuan, dalam hal ada anak-anak laki-lakinya, tergantung pada belas kasih dari pewaris laki-laki untuk memperoleh bagian harta waris. Karena itulah janda dan gadis-gadis yatim piatu ada di antara anggota dalam keluarga Yahudi yang paling miskin.

Agama Kristen telah lama mengikuti aturan itu. Baik hukum agama maupun sipil dalam dunia Kristen melarang anak-anak perempuan mendapatkan bagian dari warisan orang tuanya bersama anak-anak laki-laki. Di samping itu, hak isteri atas setiap harta warisan diingkari. Hukum yang tak bermoral ini masih hidup hingga akhir abad 19 yang lalu. ( 46 Gage, op. cit., p. 142).

Diantara orang Arab jahiliyah sebelum Islam, hak mewarisi dibatasi semata-mata hanya bagi saudara-saudara laki-laki. Al Qur’an menghapuskan semua kebiasaan yang tidak adil ini dan memberikan bagian dari harta waris kepada semua saudara-saudara perempuan:

  • "Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta waris ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta waris ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan." (4 : 7)

Ibu-ibu, isteri-isteri, anak-anak perempuan dan saudara-saudara perempuan Muslim telah menerima hak waris ini seribu tiga ratus tahun yang lalu sebelum Eropa mengenal bahwa hak-hak semacam ini bahkan ada. Pembagian warisan itu adalah subjek yang luas dengan sejumlah besar detail (4 : 7, 11-12, 176). Aturan umumnya adalah bagian wanita adalah separuh dari bagian laki-laki kecuali dalam kasus dimana ibu menerima bagian yang sama dengan bagian ayah. Aturan umum ini bila dipisahkan dari aturan-aturan lainnya tentang wanita dan laki-laki mungkin tampak tidak adil. Untuk dapat mengerti ratio dari aturan ini, orang harus memperhitungkan kenyataan bahwa kewajiban finansial laki-laki dalam Islam jauh melebihi kewajiban wanita (lihat bab "Harta Milik Wanita"). Seorang mempelai laki-laki harus memberikan mahar kepada mempelai wanita . Mahar ini menjadi milik eksklusif dari wanita tsb dan tetap demikian halnya bahkan bila kemudian wanita itu diceraikan. Mempelai wanita sama sekali tidak diwajibkan untuk memberikan hadiah apapun kepada mempelai laki-laki. Lebih-lebih lagi suami diwajibkan untuk mencukupi kebutuhan isteri dan anak-anaknya. Di pihak lain isteri tidak diwajibkan untuk menolong suami dalam hal ini. Harta miliknya dan penghasilannya adalah untuk keperluannya sendiri kecuali apa yang dia secara sukarela berikan kepada suaminya. Di samping itu orang harus menyadari bahwa Islam menganjurkan dengan keras kehidupan keluarga. Islam menggalakkan dengan serius anak-anak muda untuk menikah, tidak menggalakkan perceraian, dan tidak memandang selibasi (hal membujang) sebagai suatu hal yang baik. Karena itu, dalam masyarakat yang benar-benar Islami, kehidupan keluarga adalah keharusan dan kehidupan membujang adalah perkecualian yang jarang. Yaitu, hampir semua wanita dan laki-laki yang telah masak untuk menikah memasuki hidup berumah tangga dalam suatu masyarakat yang Islami.

Dengan kenyataan yang jelas ini, orang akan menghargai bahwa orang laki-laki Muslim secara umum memiliki beban finansial lebih besar daripada wanita Muslim dan karenanya aturan warisan dimaksudkan untuk menghilangkan ketidak seimbangan itu, sehingga masyarakat dapat hidup tanpa ada pertentangan gender dan klas. Sesudah perbandingan yang sederhana antara hak dan kewajiban finansial wanita Muslim, seorang wanita Muslim Inggris menyimpulkan bahwa Islam telah memperlakukan wanita bukan saja dengan adil tetapi juga dermawan ( 47 B. Aisha Lemu and Fatima Heeren, Woman in Islam (London: Islamic Foundation, 1978) p. 23).