WANITA DALAM ISLAM DIBANDINGKAN DENGAN WANITA DALAM TRADISI YAHUDI KRISTEN
Oleh Dr Sherif Abdel Azeem



Alih Bahasa Oleh: H.W. Pienandoro SH


14. KEADAAN JANDA YANG MENYEDIHKAN

Karena kenyataan bahwa Perjanjian Lama tidak mengenal hak kewarisan bagi janda, maka para janda adalah di antara orang yang paling terancam di dalam masyarakat Yahudi. Saudara laki-laki yang mewarisi semua kekayaan suaminya yang telah mati diharuskan memberikan nafkah kepada janda ini dari kekayaan suaminya itu. Namun para janda tidak memiliki cara apapun untuk meyakinkan bahwa bagiannya itu dilaksanakan dan (karenanya) dia hidup berdasarkan belas kasih dari fihak lain. Karena itu para janda ada di antara orang yang paling rendah klasnya dalam masyarakat Israel kuno dan kejandaan dianggap sebagai simbol degradasi yang besar. (Isaiah 54 : 4). Tetapi keadaan menyedihkan para janda ini di dalam tradisi Injil telah diperluas bahkan jauh di luar sekedar pengucilan dari harta keakayaan suaminya. Menurut Genesis 38, seorang janda yang tidak beranak harus kawin dengan saudara laki-laki suaminya yang mati, bahkan meskipun dia sudah berisiteri, sehingga dia dapat memberikan keturunan bagi saudaranya yang sudah mati itu, sehingga meyakinkan nama saudaranya (yang mati) ini tidak hilang.

  • "Kemudian Judah berkata kepada Onan:"Kawinilah isteri saudara laki-lakimu itu dan penuhi kewajibanmu terhadapnya sebagai seorang ipar laki-laki untuk memberikan keturunan bagi saudara laki-lakimu yang telah mati." (Genesis 38 : 8)

Persetujuan janda tsb untuk perkawinan itu tidak diperlukan. Janda itu diperlakukan sebagai bagian dari harta kekayaan suami yang mati yang fungsi utamanya adalah untuk meyakinkan lahirnya keturunan suaminya. Hukum dari Injil ini masih dilaksanakan di Israel masa kini ( 48 Hazleton, op. cit., pp. 45-46). Seorang janda yang tidak beranak diberikan kepada saudara laki- laki suaminya. Bila suadara laki-laki ini masih terlalu muda untuk kawin, wanita itu harus menunggu hingga laki-laki menjadi dewasa. Seandainya saudara laki-laki suaminya yang mati itu menolak untuk menikahinya, maka dia bebas dan dapat menikah dengan orang laki-laki pilihannya. Bukanlah gejala yang tidak biasa di Israel bahwa janda-janda itu menjadi korban pemerasan ipar laki-laki mereka agar janda-janda itu bisa memperoleh kebebasannya.

Bangsa Arab zaman jahiliyah sebelum Islam telah mempraktekkan hal yang sama. Janda dianggap sebagai bagian dari harta kekayaan suami untuk diwarisi oleh ahli waris laki-laki dan janda itu, biasanya diberikan untuk dikawini oleh anak tertua dari suaminya yang mati dari ibu lain. Al Qur’an menyerang dengan pedas dan tajam serta menghapuskan kebiasaan yang merendahkan ini.

  • "Dan janganlah engkau kawini wanita-wanita yang telah dikawini ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)." (4 : 22).

Janda dan wanita tercerai dipandang begitu rendahnya dalam tradisi Injil hingga kepala pendeta tidak boleh mengawini seorang janda, seorang wanita tercerai, atau seorang pelacur:

  • "Wanita yang dia (kepala pendeta) kawini harus seorang perawan. Dia tidak boleh nikah dengan seorang janda, seorang wanita yang telah diceraikan, atau seorang wanita yang telah dikotori dengan pelacuran, tetapi hanya seorang perawan dari bangsanya sendiri, sehingga dia tidak akan mengotori keturunannya di antara bangsanya.:(Leviticus 21 : 13).

Di Israel sekarang ini turunan dari kasta Cohen (pendeta-pendeta kepala di zaman Temple) tidak dapat menikahi wanita-wanita tercerai, seorang janda, atau seorang pelacur ( 49 Ibid., p. 47). Dalam perundang-undangan Yahudi, seorang wanita yang telah menjadi janda tiga kali dengan semua ketiga suaminya mati karena sebab wajar, dianggap fatal dan dilarang untuk kawin lagi ( 50 Ibid., p. 49). Sebaliknya Al Qur’an tidak mengenal kasta dan tidak juga orang-orang yang dianggap fatal. Para janda dan wanita tercerai memiliki kebebasan untuk menikah dengan siapa yang dia kehendaki. Tidak ada noda atau cacat yang terlekat pada perceraian atau kejandaan di dalam Al Qur’an.

  • "Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan , karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum Allah sebagai permainan." (2 : 231)

  • "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tidak berdosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat." (2 : 234)

  • "Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) memberi nafkah hingga satu tahun lamanya dengan tidak menyuruh mereka keluar (dari rumahnya). Namun bila mereka keluar sendiri, maka tidak berdosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (2 : 240)