WANITA DALAM ISLAM DIBANDINGKAN DENGAN WANITA DALAM TRADISI YAHUDI KRISTEN
Oleh Dr Sherif Abdel Azeem



Alih Bahasa Oleh: H.W. Pienandoro SH


15. POLIGAMI

.Marilah sekarang kita tangani masalah penting tentang poligami. Poligami adalah sebuah praktek yang sangat kuno yang dijumpai di dalam masyarakat manusia. Injil tidak mencela poligami. Sebaliknya daripada mencela, Perjanjian Lama dan tulisan para rabbi seringkali membuktikan legalitas poligami.

  • Raja Suleman sering dikatakan memiliki 700 isteri dan 300 selir (1 Raja-Raja 11 : 3).

  • Juga raja Daud dikatakan telah memiliki banyak isteri dan selir (2 Samuel 5 : 13).

  • Perjanjian Lama benar memiliki beberapa perintah tentang bagaimana mendistribusikan kekayaan seorang laki-laki di antara anak-anak laki-laki dari isteri-isteri yang berbeda-beda. (Deuteronomy 22 : 7).

  • Satu-satunya pembatasan pada poligami adalah sebuah larangan untuk mengambil saudara perempuan isteri sebagai isteri saingan (Leviticus 18 : 18).

  • Talmud menyarankan maksimum empat isteri ( 51 Swidler, op. cit., pp. 144-148).

Orang Yahudi Eropah tetap melaksanakan poligami hingga abad ke 16. Orang Yahudi dari Timur (Oriental) melaksanakan secara teratur poligami hingga mereka tiba di Israel di mana menurut hukum sipil poligami dilarang. Namun, di bawah hukum agama yang membatalkan hukum sipil dalam masalah seperti itu, hal ini dibolehkan ( 52 Hazleton, op. cit., pp 44-45).

Bagaimana dengan Perjanjian Baru? Menurut Romo Eugene Hillman di dalam bukunya yang penuh dengan pandangan ke dalam "Poligami dipertimbangkan kembali" ("Polygamy Reconsidered"),

  • "Tidak ada perintah khusus di manapun di dalam Perjanjian Baru bahwa perkawinan harus monogami atau perintah khusus yang melarang poligami" ( 53 Eugene Hillman, Polygamy Reconsidered: African Plural Marriage and the Christian Churches (New York: Orbis Books, 1975) p. 140).'

Lebih dari itu Jesus tidak berkata menentang poligami, meskipun poligami dipraktekkan oleh orang-orang Yahudi di zamannya. Romo Hillman menekankan kenyataan bahwa gereja di Roma melarang poligami ialah agar sesuai dengan budaya Greco-Roman (Yunani-Roma) (yang hanya menentukan satu saja isteri sah tetapi sementara itu membiarkan pergundikan dan pelacuran). Dia mengutip St Augustine,

  • "Nah, sekarang ini, dan untuk menyesuaikan dengan kebiasaan orang Roma, tidaklah dibenarkan untuk mengambil isteri lain" ( 54 Ibid., p. 17).

Gereja-gereja Afrika dan orang-orang Nasrani Afrika sering mengingatkan saudara-saudaranya orang Eropah bahwa larangan gereja terhadap poligami adalah tradisi budaya dan bukan perintah otentik Kristiani.

Al Qur’an juga membolehkan poligami, tetapi bukan tidak ada batasan-batasannya.,

  • "Bila engkau takut bahwa engkau tidak akan dapat berlaku adil dengan (hak-hak) anak-anak (perempuan) yatim piatu, kawinilah wanita-wanita pilihanmu, dua, atau tiga, atau empat tetapi bila engkau takut bahwa engkau tidak dapat berlaku adil terhadap mereka, maka kawinilah satu saja" (4 : 3).

Bertentangan dengan Injil, Al Qur’an membatasi maksimum jumlah isteri dengan empat orang dengan syarat yang ketat untuk memperlakukan isteri-isteri tsb dengan sama dan adil. Harus dimengerti bahwa Al Qur’an tidak mendesak orang-orang beriman untuk berpoligami, atau menganggap bahwa poligami itu sebagai sesuatu yang ideal. Dengan kata lain, Al Qur’an telah "mentolerir" atau "mengizinkan" poligami, dan tidak ada lagi yang lainnya, tetapi mengapa? Ya mengapa poligami diizinkan? Jawabnya adalah sederhana, ada tempat dan saatnya di mana terdapat sebab-sebab sosial dan moral yang mendesak untuk melakukan poligami. Sebagai agama universil yang sesuai untuk semua tempat dan waktu, Islam tidak dapat mengingkar i sebab-sebab mendesak ini.

Dalam sebagian besar masyarakat manusia, terdapat wanita lebih banyak daripada pria. Di Amerika Serikat paling tidak ada delapan juta wanita lebih banyak dari pada laki-laki. Di negara seperti New Guinea terdapat 122 wanita untuk setiap 100 orang laki-laki. Di Tanzania rationya ialah 95.1 pria dibanding 100 wanita ( 55 Ibid., pp. 88-93). Apa yang harus dilakukan oleh masyarakat atas ketidak seimbangan ratio jenis seks? Ada berbagai cara pemecahannya, beberapa orang mungkin menganjurkan selibasi (membujang tidak kawin), yang lainya lebih menyukai pembunuhan anak bayi (yang benar-benar terjadi dalam beberapa masyarakat di dunia zaman sekarang ini!). Yang lain akan berpendapat satu-satunya jalan keluar adalah masyarakat harus mentolerir segala cara yang permisif terhadap seksualitas: pelacuran, sex di luar pernikahan, homoseksualitas dsb. Masyarakat lainnya (seperti sebagian besar masyarakat di Afrika sekarang ini) ingin melihat jalan keluar yang paling terhormat ialah mengizinkan perkawinan poligamis sebagai suatu lembaga yang secara kulturil dapat diterima dan secara sosial dihormati. Butir yang sering disalah fahami oleh masyarakat Barat ialah bahwa wanita dalam budaya lain tidak harus melihat poligami sebagai suatu simbol dari degradasi wanita. Misalnya, banyak penganten wanita muda Afrika (baik Nasrani maupun Islam atau apapun lainnya), lebih menyukai untuk menikah dengan seorang laki-laki yang sudah kawin yang telah membuktikan dirinya menjadi suami yang bertanggung jawab. Banyak wanita Afrika yang mendorong suaminya untuk mendapatkan isteri keduanya sehingga mereka tidak merasa kesepian ( 56 Ibid., pp. 92-97). Suatu survai terhadap lebih dari 6000 orang wanita, yang berumumr antara 15 sampai 59 tahun yang dilakukan di kota terbesar nomor dua di Nigeria menunjukkan, bahwa 60 % wanita-wanita ini akan senang bila suaminya mengambil isteri lain. Hanya 23 % menyatakan kemarahannya atas gagasan membagi cinta dengan isteri lain. Sejumlah 76 % wanita dalam suatu survai yang dilakukan di Kenya memandang poligami secara positif. Dalam suatu survai yang dilakukan di daerah pedalaman Kenya, 25 dari 27 orang wanita menganggap poligami lebih baik daripada monogami. Wanita-wanita ini merasa bahwa poligami dapat menjadi suatu pengalaman yang menyenangkan dan berfaedah bila para isteri bekerja sama satu dengan yang lain ( 57 Philip L. Kilbride, Plural Marriage For Our Times (Westport, Conn.: Bergin & Garvey, 1994) pp. 108-109. ). Poligami di sebagian besar masyarakat Afrika adalah suatu lembaga yang terhormat sehingga beberapa gereja Protestan menjadi lebih bertoleransi terhadap poligami. Seorang uskup dari gereja Anglikan di Kenya menyatakan bahwa, "Meskipun monogami mungkin ideal bagi pernyataan cinta antara suami dan isteri, gereja harus menganggap bahwa dalam budaya-budaya tertentu poligini secara sosial dapat diterima dan bahwa keyakinan bahwa poligini bertentangan dengan agama Kristen tidak lagi dapat pertahankan." ( 58 The Weekly Review, Aug. 1, 1987.). Sesudah suatu studi yang berhati-hati tentang poligami di Afrika, pendeta David Gitari dari gereja Anglikan telah menyimpulkan bahwa poligami, sebagaimana dipraktekkan dengan ideal, adalah lebih Kristiani daripada perceraian dan perkawinan kembali sejauh isteri-isteri yang ditinggalkan dan anak-anak berkepentingan. ( 59 Kilbride, op. cit., p. 126.). Secara pribadi saya kenal beberapa isteri-isteri bangsa Afrika yang berpendidikan tinggi yang, meskipun telah tinggal di negara Barat bertahun-tahun, tidak berkeberatan atas poligami. Salah satu diantara mereka, yang tinggal di Amerika Serikat, dengan diam-diam mendesak suaminya untuk mendapatkan isteri kedua untuk menolong dia membesarkan anak-anak. Ketidak seimbangan ratio jenis seks ini benar-benar menjadi masalah pada waktu perang. Orang Indian Amerika biasa mengalami ketidak seimbangan ratio sex yang tinggi sesudah mengalami kekalahan dalam perang. Wanita dalam suku Indian ini, yang sesungguhnya menikmati status yang cukup tinggi, menerima poligami sebagai perlindungan yang terbaik terhadap hobi pada kegiatan yang tidak senonoh. Para penetap Eropah, tanpa menawarkan alternatif lain, mencela poligami orang Indian ini sebagai "tidak beradab" ( 60 John D'Emilio and Estelle B. Freedman, Intimate Matters: A history of Sexuality in America (New York: Harper & Row Publishers, 1988) p. 87).

Sesudah perang dunia ke 2 ada 7,300,000 wanita lebih banyak daripada laki-laki di Jerman (3.3 juta daripadanya adalah janda). Ada 100 orang laki-laki berumur 20 hingga 30 tahun untuk setiap 167 wanita dalam grup umur yang sama ( 61 Ute Frevert, Women in German History: from Bourgeois Emancipation to Sexual Liberation (New York: Berg Publishers, 1988) pp. 263-264). Banyak dari wanita ini memerlukan laki-laki bukan saja sebagai teman dalam rumah tetapi juga sebagai pemberi nafkah bagi keluarganya pada masa derita dan kesulitan yang belum pernah dialami sebelumnya. Serdadu dari Sekutu yang menang mengeksploitasikan kelemahan wanita-wanita ini. Banyak gadis-gadis muda dan para janda yang mempunyai hubungan dengan anggota tentara pendudukan. Banyak di antara para serdadu Amerika dan Inggris yang membayar kenikmatan itu dengan rokok, cokelat dan roti. Anak-anak terlalu bergembira dengan pemberian yang dibawa orang-orang asing ini. Seorang anak umur 10 tahun ketika mendengar pemberian semacam itu dari anak-anak lainnya, timbul keinginan dari lubuk hatinya agar ada seorang laki-laki Inggris untuk ibunya sehingga ibunya tidak perlu kelaparan lagi ( 62 Ibid., pp. 257-258). Di sini kita harus bertanya pada kesadaran kita sendiri: Apa yang lebih membanggakan hati bagi seorang wanita? Sebagai isteri kedua yang diterima dan dihormati seperti dalam masyarakat Indian, atau nyata-nyata seorang pelacur seperti pendekatan yang dilakukan oleh tentara sekutu yang "beradab"? Dengan perkataan lain, apa yang lebih membanggakan bagi seorang wanita, resep dari Al Qur’an, atau teologi berdasarkan pada budaya kerajaan Roma?

Sangat menarik untuk dicatat bahwa dalam konferensi pemuda internasional yang diadakan di Munich dalam tahun 1948 telah didiskusikan masalah tentang ketidak seimbangan jenis seks yang tinggi di Jerman. Ketika menjadi jelas bahwa tidak ada pemecahan yang dapat disetujui, beberapa peserta menyarankan poligami. Reaksi pertama dari kumpulan itu adalah campuran dari keterkejutan dan ketidak senangan. Tetapi sesudah studi yang berhati-hati dari usulan itu, para peserta menyetujui bahwa poligami adalah satu-satunya cara pemecahan yang dimungkinkan. Konsekuensinya ialah poligami dimasukkan diantara rekomendasi terakhir dari konferensi itu ( 63 Sabiq, op. cit., p. 191).

Pada zaman sekarang dunia memiliki lebih banyak senjata pemusnah masal daripada pernah sebelumnya dan gereja-gereja Eropah boleh jadi cepat atau lambat diharuskan untuk menerima poligami sebagai satu-satunya jalan keluar. Romo Hillman dengan penuh pertimbangan telah mengakui kenyataan ini,

  • "Adalah sesuatu yang sangat mungkin dapat dipikirkan bahwa teknik pemusnahan suatu bangsa tertentu ini (nuclear, biologi, kimiawi) dapat menghasilkan suatu ketidak seimbangan yang drastis di antara jenis kelamin (pria dan wanita) hingga perkawinan pluralistik (poligami) menjadi alat survival yang diperlukan… Dan dengan demikian bertentangan dengan kebiasaan dan hukum sebelumnya, suatu kecenderungan alami dan moral yang mengikis (apa yang ada) mungkin saja timbul yang menguntungkan bagi poligami. Dalam keadaan demikian, para teolog dan pemimpin gereja akan segera mengeluarkan alasan-alasan berbobot dan teks injil untuk membenarkan konsep perkawinan yang baru" ( 64 Hillman, op. cit., p. 12).

Hingga hari ini poligami berlanjut terus menjadi pemecah masalah yang dapat diberlakukan bagi beberapa penyakit sosial dalam masyarakat modern. Kewajiban-kewajiban komunal yang disebut oleh Al Qur'an dalam hubungannya dengan kebolehan untuk berpoligami dapat lebih dilihat sekarang di beberapa masyarakat Barat daripada di Afrika. Umpamanya, di Amerika Serikat sekarang, terdapat krisis gender yang serius dalam komunitas orang hitam. Satu dari setiap 20 orang anak muda laki-laki hitam mungkin mati sebelum mencapai umur 21 tahun. Untuk mereka yang ada di antara umur 20 dan 35 tahun, pembunuhan adalah sebab utama kematian ( 65 Nathan Hare and Julie Hare, ed., Crisis in Black Sexual Politics (San Francisco: Black Think Tank, 1989) p. 25). Disamping itu banyak anak-anak muda kulit hitam yang tidak bekerja, dalam penjara atau kecanduan obat bius ( 66 Ibid., p. 26 ). Sebagai akibatnya 1 di antara 4 wanita kulit hitam pada umur 40 tahun tidak pernah menikah dibandingkan dengan 1 di antara 10 wanita kulit putih (67 Kilbride, op. cit., p. 94). Selanjutnya banyak wanita muda kulit hitam menjadi ibu single sebelum umur 20 tahun dan merasakan dirinya perlu ada seorang pemberi nafkah. Akibat akhir dari keadaan tragis ini adalah bahwa sejumlah wanita kulit hitam, jumlah mana meningkat terus, terkait dalam apa yang disebut "man-sharing" atau satu laki-laki untuk beberapa wanita (68 Ibid., p. 95.). Tegasnya banyak dari wanita kulit hitam yang tidak beruntung ini terlibat dalam affair dengan orang laki-laki yang sudah menikah. Para isteri sering tidak menyadari kenyataan, bahwa ada wanita lain yang ikut memiliki suami-suami mereka bersama mereka sendiri. Beberapa pengamat atas krisis "bersama-sama memiliki seorang laki-laki" (man-sharing) dalam masyarakat Afrika Amerika ini, menganjurkan dengan sangat poligami konsensual (persetujuan) sebagai satu pemecahan sementara selagi terdapat kekurangan laki-laki kulit hitam hingga adanya reformasi yang lebih komprehensif dilaksanakan secara luas dalam masyarakat Amerika ( 69 Ibid). Dengan poligami konsensual ini mereka maksudkan adalah poligami yang dibenarkan oleh masyarakat dan dengan mana semua pihak yang terkait sama-sama menyetujuinya, dibandingkan dengan "kepemilikian bersama atas seorang laki-laki" (man-sharing) secara rahasia yang bersifat merusak baik bagi si isteri maupun masyarakat pada umumnya. Masalah "kepemilikan bersama atas satu orang laki-laki" (man-sharing) dalam masyarakat Afrika Amerika ini menjadi pokok acara dalam suatu diskusi panel yang diadakan di Universitas Temple di Philadelphia pada tanggal 27 Januari 1993 ( 70 Ibid., pp. 95-99.). Beberapa pembicara menganjurkan poligami sebagai satu cara pemecahan masalah yang potensial untuk mengatasi krisis itu. Mereka juga menyarankan bahwa poligami tidak harus dilarang oleh hukum, terutama dalam masyarakat yang mentolerir pelacuran dan pergundikan. Sebuah komentar dari seorang wanita peserta bahwa orang-orang Amerika keturunan Afrika harus belajar dari orang Afrika di mana poligami dilaksanakan dengan cara yang bertanggung jawab telah menyebabkan tepuk tangan yang antusias.

Philip Kilbride seorang antropolog Amerika yang beragama Katolik Roma, dalam bukunya yang provokatif "Plural Marriage For Our Time" mengusulkan poligami sebagai cara pemecahan atas beberapa penyakit dalam masyarakat luas Amerika. Dia beralasan bahwa plural marriage atau poligami dalam banyak hal bisa menjadi sebuah alternatif untuk perceraian agar dapat meniadakan dampak buruk perceraian terhadap anak-anak. Dia berpendapat bahwa dalam masyarakat Amerika banyak perceraian disebabkan oleh affair di luar nikah yang tak dapat dikontrol. Menurut Kilbride mengakhiri affair di luar nikah dengan perkawinan poligami, daripada sebuah perceraian, adalah lebih baik bagi anak-anak. "Anak-anak akan lebih baik diurus bila keluarga itu menjadi lebih besar daripada hanya melihat separasi dan desintegrasi sebagai pilihan." Selanjutnya dia menyarankan bahwa kelompok-kelompok lainnya juga akan mendapat keuntungan dari poligami, seperti: wanita-wanita berumur yang menghadapi kekurangan yang kronis atas orang laki-laki dan orang-orang Amerika Afrika yang terlibat dalam "kepemilikan bersama atas seorang laki-laki" atau man-sharing ( 71 Ibid., p. 118).

Dalam tahun 1987 sebuah pengumpulan pendapat (poll) yang dilakukan oleh surat kabar mahasiswa di universitas California di Berkeley bertanya pada para mahasiswa apakah mereka setuju bahwa orang laki-laki harus diizinkan oleh hukum untuk memiliki lebih dari satu isteri sebagai jawaban atas kekurangan yang dimengerti atas orang laki-laki calon untuk pernikahan di California. Hampir semua mahasiswa yang ditanyai pendapatnya menyetujui gagasan itu. Seorang mahasiswi bahkan mengatakan bahwa perkawinan poligamis akan memenuhi kebutuhan emosional dan fisikalnya, sementara itu memberikan kebebasan lebih besar baginya daripada dalam perkawinan monogami ( 72 Lang, op. cit., p. 172). Sebenarnyalah bahwa alasan yang sama ini juga dipakai oleh sedikit wanita-wanita fundamentalis Mormon yang masih tersisa yang masih mempraktekkan poligami di Amerika Serikat. Mereka meyakini bahwa poligami adalah cara yang ideal untuk seorang wanita memiliki baik karier maupun anak-anak karena para isteri itu saling menolong mengurus anak-anak ( 73 Kilbride, op. cit., pp. 72-73).Harus pula ditambahkan bahwa poligami dalam Islam adalah suatu hal yang merupakan persetujuan bersama. Tidak seorangpun dapat memaksa seorang wanita untuk mengawini seorang laki-laki yang telah menikah. Di samping itu isteri mempunyai hak untuk mengatur bahwa suaminya harus tidak mengawini wanita lain sebagai isteri kedua ( 74 Sabiq, op. cit., pp. 187-188.). Pada pihak lain Injil kadang-kadang memilih poligami yang dapat dipaksakan. Seorang janda yang tidak beranak harus kawin dengan saudara laki-laki suaminya, bahkan meskipun laki-laki itu telah menikah (lihat bab "Keadaan Para Janda Yang Menyedihkan") tanpa mempedulikan persetujuan wanita itu (Genesis 38 : 8-10)

Harus dicatat bahwa di banyak masyarakat Islam sekarang ini praktek poligami adalah jarang, karena jarak yang memisahkan jumlah laki-laki dan wanita tidak besar. Secara aman seseorang dapat mengatakan, bahwa jumlah perkawinan poligami di dunia Islam jauh lebih sedikit daripada masalah perkawinan di luar nikah di dunia Barat. Dengan perkataan lain, laki-laki di dunia Islam saat ini jauh lebih monogamis daripada laki-laki di dunia Barat.

Billy Graham penginjil Kristen yang terkenal mengakui kenyataan ini: "Agama Kristen tidak dapat berkompromi dalam masalah poligami. Bila agama Kristen saat ini tidak dapat berbuat begitu, itu adalah untuk kerugiannya sendiri. Islam telah mengizinkan poligami sebagai suatu cara pemecahan terhadap penyakit sosial dan telah membolehkan suatu tingkat ruang gerak tertentu bagi manusia namun hanya dalam suatu kerangka hukum yang telah didefinisikan dengan ketat. Negara-negara Kristen mempertunjukkan monogami dengan besar-besaran, tetapi sesungguhnya mereka mempraktekkan poligami. Tidak ada seorangpun yang tidak mengetahui tentang permainan pergundikan dalam masyarakat Barat. Dalam hal ini secara fundamental Islam adalah agama yang jujur, dan mengizinkan seorang Muslim untuk menikahi isteri kedua apabila dia harus, tetapi dengan ketat melarang semua macam hubungan berahi rahasia untuk menjelamatkan kejujuran moral dari masyarakat ( 75 Abdul Rahman Doi, Woman in Shari'ah (London: Ta-Ha Publishers, 1994) p. 76 ).

Sangat menarik untuk dicatat bahwa banyak negara-negara di dunia sekarang ini, baik non-Muslim maupun Muslim, yang telah menyatakan poligami sebagai ilegal. Mengambil isteri kedua, bahkan dengan izin sukarela dari isteri pertama, adalah suatu pelanggaran terhadap hukum. Pada pihak lain, mengelabui isteri , tanpa pengetahuannya dan persetujuannya, adalah seratus persen sah menurut hukum sejauh hukum berkepentingan! Kebijakan hukum apakah yang ada di balik kontradiksi semacam itu? Apakah hukum dibuat untuk menghalalkan penipuan dan menghukum kejujuran? Itu adalah satu dari paradoks yang tak dapat dimengerti dari dunia "beradab" kita yang modern.