16. CADAR
Akhirnya marilah kita lihat apa yang di Barat dianggap sebagai simbol terbesar dari penindasan dan perbudakan wanita, cadar atau tutup kepala. Benarkah bahwa tidak ada hal semacam cadar itu dalam tradisi Yahudi Kristen? Baiklah kita luruskan catatan itu. Menurut Rabbi Dr. Menachem M Brayer (Profesor tentang Literatur Injil di Yeshiva University) di dalam bukunya "The Jewish Woman in Rabbinic Literature" ("Wanita Yahudi dalam Literatur Kependetaan Yahudi"), wanita Yahudi itu mempunyai kebiasaan untuk keluar di muka umum dengan mengenakan tutup kepala yang kadangkala bahkan menutupi seluruh wajahnya dan hanya menyisakan satu mata yang terbuka ( 76 Menachem M. Brayer, The Jewish Woman in Rabbinic Literature: A Psychosocial Perspective (Hoboken, N.J: Ktav Publishing House, 1986) p. 239).
Dia mengutip kata-kata beberapa pendeta Yahudi dari masa lalu,
"Bukanlah seperti wanita Israel bila berjalan tanpa tutup kepala," dan
"Terkutuk orang laki-laki yang membiarkan rambut kepala isterinya terlihat …. seorang wanita yang membiarkan rambut kepalanya terbuka untuk mengagumi diri menyebabkan kepapaan."
Hukum Kependetaan Yahudi melarang dilakukannya pembacaan pemberkatan atau pembacaan do’a yang dihadiri wanita yang sudah nikah dan kepalanya terbuka saja, karena memperlihatkan rambut kepala wanita dianggap sebagai "ketelanjangan" ( 77 Ibid., pp. 316-317. Also see Swidler, op. cit., pp. 121-123. ).
Dr. Brayer juga menyebutkan bahwa :
"Selama waktu Tannatitic kegagalan wanita Yahudi untuk menutup kepalanya dianggap sebagai suatu penghinaan atas kehormatan dirinya. Apabila kepalanya tidak tertutup dia bisa didenda empat ratus zuzim atas pelanggaran ini."
Dr Brayer juga menerangkan bahwa cadar dari wanita Yahudi tidaklah selalu dianggap sebagai tanda kehormatan. Kadang-kadang, cadar melambangkan suatu keadaan istimewa dan kemewahan dan bukan kesopanan. Cadar sebagai personifikasi kebanggaan dan superioritas wanita terhormat. Cadar juga merupakan hal tidak bisa didekatinya seorang wanita sebagai milik suaminya yang mempunyai sanksi ( 78 Ibid., p. 139 ).
Cadar berarti rasa harga diri wanita dan status sosial. Wanita-wanita dari klas yang lebih rendah sering pula memakai cadar untuk memberikan kesan berasal dari status yang lebih tinggi. Kenyataan bahwa cadar adalah simbol dari kebangsawanan merupakan alasan mengapa para pelacur dilarang untuk menutupi rambutnya dalam masyarakat Yahudi kuno. Namun para pelacur sering memakai tutup kepala khusus agar kelihatan lebih terhormat ( 79 Susan W. Schneider, Jewish and Female (New York: Simon & Schuster, 1984) p. 237 ).
Wanita-wanita Yahudi di Eropa terus bercadar hingga akhir abad ke 19 ketika kehidupannya mulai lebih berbaur dengan budaya sekular sekelilingnya. Tekanan dari luar dalam kehidupan di Eropah di abad ke 19 memaksa banyak dari mereka untuk keluar tanpa tutup kepala. Beberapa wanita Yahudi merasakan lebih nyaman untuk mengganti tradisi cadar mereka dengan sebuah wig (rambut palsu) sebagai satu bentuk dari penutupan kepala. Kini sebagian besar wanita alim Yahudi tidak menutupi kepala mereka kecuali di dalam synagogue ( 80 Ibid., pp. 238-239.).
Beberapa di antara mereka seperti sekta Hasidic masih memakai wig ( 81 Alexandra Wright, "Judaism", in Holm and Bowker, ed., op. cit., pp. 128-129.)
Bagaimana dengan tradisi agama Kristen? Telah diketahui dengan baik bahwa selama ratusan tahun zusters Katolik telah memakai cadar tutup kepala, tetapi bukan itu saja. St. Paul dalam Perjanjian Baru membuat pernyataan yang sangat menarik tentang cadar,
"Nah, saya ingin kalian menyadari bahwa kepala setiap orang laki-laki adalah Kristus , dan kepala wanita adalah laki-laki, dan kepala Kristus adalah Tuhan. Setiap orang laki-laki yang berdo’a atau bernubuat dengan bagian kepalanya tertutup, menghina kepalanya. Dan setiap wanita yang berdo’a atau bernubuat dengan membiarkan kepalanya terbuka, menghina kepalanya – seolah-olah rambutnya telah dicukur gundul. Bila seorang wanita tidak menutup kepalanya, dia harus memotong rambutnya; dan bila memotong rambutnya atau menggundulinya itu memalukan bagi wanita, maka dia harus menutup kepalanya. Seorang laki-laki tidak seharusnya menutup kepalanya, karena dia adalah citra dan kemuliaan Tuhan; tetapi wanita adalah keagungan laki-laki. Karena laki-laki tidak berasal dari wanita, tetapi wanita berasal dari laki-laki; tidak pula laki-laki diciptakan untuk wanita, tetapi wanitalah yang diciptakan untuk laki-laki. Karena itulah, para wanita harus memiliki tanda kewibawaan di atas kepalanya karena para malaikat,." (I Corinthians 11 : 3-10)
Logika St Paul untuk wanita bercadar adalah bahwa cadar merupakan tanda kewibawaan laki-laki, yang adalah citra dan keagungan Tuhan, terhadap wanita yang diciptakan dari dan untuk laki-laki. St. tertullian dalam karangannya yang terkenal " On The Veiling of the Virgins" ("Tentang Pemakaian Cadar bagi Perawan") menulis:
"Wanita-wanita muda, pakailah cadar ketika di jalanan, begitu pula kamu pakai di gereja, kamu pakai ketika ada di antara orang-orang asing, kemudian kamu pakai di antara saudara-saudara laki-lakimu…"
Di antara hukum Canon dari gereja Katolik sekarang ini, ada suatu hukum yang mensyaratkan wanita memakai cadar di dalam gereja (82 Clara M. Henning, "Cannon Law and the Battle of the Sexes" in Rosemary R. Ruether, ed., Religion and Sexism: Images of Woman in the Jewish and Christian Traditions (New York: Simon and Schuster, 1974) p. 272). Beberapa sekte Kristen, seperti Amish dan Mennonite umpamanya, hingga hari ini tetap menyuruh para wanitanya memakai cadar. Alasan untuk memakai cadar itu sebagaimana dikatakan oleh para pemimpin gereja ialah:
"Penutupan kepala adalah simbol dari kepatuhan wanita terhadap laki-laki dan Tuhan."
Ini adalah logika yang sama yang disebutkan oleh St Paul dalam Perjanjian Baru (83 Donald B. Kraybill, The riddle of the Amish Culture (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1989) p. 56 )
Dari semua bukti-bukti di atas jelaslah bahwa Islam bukanlah yang pertama menemukan cadar tutup kepala itu, tetapi Islam menyetujuinya. Al Qur’an menganjurkan dengan keras bagi laki-laki dan wanita beriman untuk merendahkan pandangannya dan menjaga kehormatan dan kemudian menganjurkan dengan sangat para wanita untuk memanjangkan tutup kepalanya untuk menutupi leher dan dadanya,
"Katakanlah terhadap aki-laki yang beriman agar merendahkan pandangannya dan menjaga kehormatannya… Dan katakalnlah kepada wanita yang beriman bahwa mereka harus merendahkan pandangannya dan menjaga kehormatannya, bahwa mereka harus tidak menunjukkan kecantikannnya dan perhiasannya kecuali apa yang zahir daripadanya, bahwa mereka harus menarik cadarnya hingga ke dada-dada mereka …" (24 : 30-31).
Al Qur'an jelas sekali menyebutkan bahwa cadar adalah penting untuk tujuan (melindungi) kehormatan, tetapi mengapa kehormatan ? Al Qur'an masih jelas:
"Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu dan anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita yang beriman, bahwa mereka harus menjulurkan pakaiannya menutupi badannya sehingga mereka mudah dikenali dan tidak dilecehkan" (33 : 59)
Inilah masalah keseluruhannya, kehormatan itu ditulis sebagai resep untuk melindungi wanita dari pelecehan, atau secara sederhana kehormatan adalah perlindungan. Jadi tujuan satu-satunya dari cadar dalam Islam adalah perlindungan. Cadar Islam, tidak seperti cadar dalam tradisi Kristen, bukanlah tanda dari kekuasaan laki-laki atas wanita dan bukan pula tanda dari ketundukan wanita terhadap laki-laki. Cadar Islam, tidak seperti cadar dalam tradisi Yahudi, bukanlah tanda kemewahan dan keistimewaan dari beberapa wanita terhormat yang sudah menikah. Cadar Islam hanyalah suatu tanda kehormatan dengan tujuan perlindungan terhadap wanita, semua wanita. Falsafah Islami ialah bahwa adalah selalu lebih baik (berbuat) aman daripada menyesal. Pada kenyataannya, Al Qur’an begitu berkepentingan dengan perlindungan terhadap tubuh wanita dan reputasi wanita sehingga seorang laki-laki yang berani menuduh secara salah seorang wanita telah berlaku serong akan dihukum dengan sangat,
"Dan mereka yang menuduh seorang wanita telah berbuat serong, dan tidak dapat menghadirkan empat orang saksi (untuk mengukuhkan tuduhannya) – cambuklah mereka sebanyak delapan puluh kali; tolaklah kesaksian mereka selamanya, karena sesungguhnya orang-orang yang demikian itu adalah orang-orang yang fasik" (24 : 4)
Bandingkan sikap tepat Al Qur’an ini dengan sikap dari Injil yang amat sangat longgar untuk menghukum perkosaan
"Bila seorang laki-laki kebetulan bertemu dengan seorang perawan yang tidak dijanjikan untuk dikawini dan memperkosanya dan mereka tertangkap basah, laki-laki ini akan membayar denda ayah gadis itu sebanyak lima puluh shekels mata uang perak. Dia harus menikahi gadis itu, karena dia telah melanggarnya. Laki-laki ini tidak akan pernah bisa menceraikannya selama laki-laki itu hidup (Deuteronomy 22 : 28-30).
Di sini orang harus mengajukan pertanyaan yang sederhana, siapakah yang sebenarnya dihukum ? Orang laki-laki yang hanya didenda karena perkosaan, atau gadis itu yang dipaksa untuk nikah dengan laki-laki yang telah memperkosanya dan hidup bersamanya hingga laki-laki itu mati ? Pertanyaan lain yang juga harus diajukan adalah: manakah yang lebih memberikan perlindungan, sikap tepat Al Qur’an atau sikap kendor dari Injil ?
Sebagian orang, terutama di Barat, akan cenderung untuk mentertawakan seluruh argumen tentang kehormatan untuk perlindungan. Argumentasi mereka adalah bahwa perlindungan terbaik adalah menyebarkan pendidikan, sikap yang beradab, dan menahan diri. Kami akan berkata: Baik, tetapi tidak cukup. Bila "peradaban" merupakan perlindungan yang cukup, lalu mengapa wanita di Amerika Utara tidak berani berjalan sendiri di jalan yang gelap – atau bahkan menyeberangi lapangan parkir yang kosong? Bila pendidikan adalah pemecahannya, lalu mengapa universitas terhormat seperti Queen ini mempunyai "layanan mengantarkan pulang" terutama untuk mahasiswa puteri di kampus? Bila menahan diri adalah jawabannya, lalu mengapa kasus-kasus pelecehan seksual di tempat kerja diberitakan setiap hari di koran ? Satu contoh dari mereka yang dituduh melakukan pelecehan seksual dalam beberapa tahun terakhir ini adalah perwira-perwira angkatan laut, manajer, profesor universitas, senator, hakim-hakim mahkamah agung, dan Presiden Amerika Serikat ! Saya tidak mempercayai mata saya ketika saya baca statistik yang berikut: yang ditulis dalam sebuah pamflet yang dikeluarkan oleh kantor Dean of Women di Queen’s University :
Di Kanada setiap enam menit seorang wanita diserang secara seksual.
Satu dari tiga wanita di Kanada akan diserang secara seksual suatu ketika dalam hidupnya
Satu dari empat wanita berisiko diperkosa atau atas percobaan perkosaan dalam hidupnya
Satu dari delapan wanita akan diserang secara seksual ketika menghadiri college atau universitas, dan
Suatu studi menemukan 60 % dari laki-laki Kanada dalam usia cukup untuk universitas berkata mereka akan melakukan serangan seksual bila mereka yakin tidak akan tertangkap.
Secara fundamental ada sesuatu yang salah dalam masyarakat di mana kita hidup. Perubahan radikal dalam gaya kehidupan masyarakat dan budayanya adalah mutlak diperlukan. Budaya kehormatan sungguh-sungguh diperlukan, kehormatan dalam cara berpakaian, dalam cara berbicara, dan dalam tingkah laku laki-laki maupun wanita. Bila sebaliknya, statistik yang suram itu akan berkembang semakin lebih buruk setiap harinya, dan sayang sekali hanya wanita saja yang harus membayar harganya. Sesungguhnya kita semua menderita, tetapi seperti kata Khalil. Gilbran,
"..bagi orang yang menerima pukulan itu tidaklah seperti seorang yang menghitung pukulan itu. " (84 Khalil Gibran, Thoughts and Meditations (New York: Bantam Books, 1960) p. 28).
Karena itu masyarakat seperti di Perancis yang mengeluarkan wanita-wanita muda Muslim dari sekolahnya hanya karena pakaian mereka yang menjaga kehormatan, adalah pada akhirnya akan membahayakan diri mereka sendiri. Itu adalah salah satu dari ironi besar di dunia kita kini bahwa tutup kepala yang sama dikagumi sebagai suatu tanda "kesucian" bila dipakai oleh para zuster Katolik dengan tujuan untuk menunjukkan kekuasaan laki-laki, dicela sebagai suatu tanda "penindasan" bila dipakai oleh wanita Muslim dengan tujuan untuk perlindungan.