5. PENDIDIKAN WANITA
Perbedaan konsep tentang wanita menurut Injil dan Al Qur’an tidak terbatas pada anak perempuan yang baru dilahirkan, tetapi jauh di luar itu. Marilah kita bandingkan sikap mereka terhadap seorang wanita yang berusaha untuk mempelajari agamanya. Jantung dari Judaisme adalah buku Taurat, yang disebut hukum. Tetapi menurut Talmud,
"wanita dikecualikan dari kebolehan mempelajari Taurat."
Dalam abad ke 1 sesudah Nabi Isa, Rabbi Eliezer mengatakan:
"Bila seorang laki-laki mengajar anak perempuannya tentang Taurat, itu seolah-olah seperti halnya dia mengajarkan tentang syahwat kepada anak perempuannya" ( 8 Denise L. Carmody, "Judaism", in Arvind Sharma, ed., op. cit., p. 197).
Sikap St Paul dalam Perjanjian Baru tidaklah lebih cerah,
"Seperti halnya dalam jemaah semua orang suci, para wanita di dalam gereja harus tetap diam tak bersuara. Mereka tidak diperkenankan untuk berbicara, tetapi harus dalam keadaan berserah diri seperti perintah dalam hukum (Taurat). Bila mereka ingin bertanya tentang sesuatu, mereka harus menanyakan kepada suami-suami mereka sendiri di rumah; karena adalah memalukan bagi seorang wanita untuk berbicara di gereja." (I Corinthian 14 : 34-35).
Bagaimana mungkin seorang wanita harus belajar bila dia dilarang untuk berbicara ? Bagaimana wanita berkembang secara intelektual bila dia diwajibkan untuk dalam keadaan berserah diri total ? Bagaimana dia dapat memperluas wawasannya bila satu-satunya sumber informasi hanyalah suaminya di rumahnya ?
Nah, agar adil, kita harus bertanya: Apakah posisi Al Qur’an berbeda ? Satu cerita pendek yang diceriterakan dalam Al Qur’an meringkaskan posisi Al Qur’an. Khawla adalah seorang wanita Muslim yang suaminya Aws pada saat marah telah mengucapkan kata-kata ini: "Bagiku engkau adalah seperti punggung ibuku." Orang Arab jahiliyah menganggap kata-kata ini sebagai kata perceraian yang membebaskan orang laki-laki dari tanggung jawab perkawinannya tetapi tidak menjadikan wanita bebas untuk meninggalkan rumah suaminya atau untuk menikahi orang lain. Sesudah mendengar kata-kata ini dari suaminya, Khawla merasa tidak senang. Dia langsung pergi ke Nabi Muhammad SAW untuk mengadukan halnya. Nabi berpendapat agar dia bersabar karena tampaknya tidak ada jalan keluarnya. Khawla tetap mempermasalahkannya dengan Nabi dalam usahanya untuk menyelamatkan perkawinannya yang tergantung. Tidak lama kemudian Al Qur’an pun campur tangan; tuntutan Khawla diterima. Putusan suci menghapuskan kebiasaan yang tidak adil ini. Satu surat penuh (Surat 58) dari Al Qur’an yang berjudul "Al Mujadilah" atau "Wanita yang Menggugat" mengabadikan peristiwa ini,
"Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukannya kepada Allah. Dan Allah mendengar soal tanya jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (58 : 1).
Dalam konsep Al Qur’an seorang wanita memiliki hak untuk memperdebatkan atau membantah bahkan terhadap Nabi sekalipun. Tidak ada seorangpun berhak memerintahkan wanita untuk diam. Wanita tidak berwajib apapun untuk menganggap suaminya sebagai satu- satunya acuan atau rujukan dalam hal hukum dan agama.