The Cross
Under the Cross

Listen to the News
English
Indonesian
Search
Archives
Photos
Pattimura
Maps
Ambon Info
Help Ambon
Statistics
Links
References
Referral

HTML pages
designed &
maintained by
Alifuru67

Copyright ©
1999/2001 -
1364283024
& 1367286044


Ambon - Island 

 

AMBON Berdarah On-Line
About Us

 

 

  Ambon Island

  Ambon City

 

 

   Latupatti

  Want to Help?

Berita Manado Post tentang Syariah Islam

  1. "Jangan Percaya Omongan Amien Rais"
  2. Amien: Pro Piagam Jakarta Jangan Paksakan Kehendak
  3. Liddle tak Yakin Kekuatan Islam Bangkit Pdt Gara: Hormati Kekebasan Berpendapat
  4. Minahasa kecam pemberlakuan syariat islam di Jawa
  5. 3 Hal Muluskan Syariat Islam: Otda, Wapres, Sidang Tahunan
  6. Kongres Minahasa ultimatum MPR Piagam Jakarta Diterima, Minahasa Merdeka


Manado Post 31 Agustus 01

"Jangan Percaya Omongan Amien Rais"
Kaum Nasionalis Harus Digugah Tolak Piagam Jakarta

MANADO-Gejolak di pusat soal desakan Piagam Jakarta masuk ke dalam UUD, membuat sejumlah tokoh generasi muda di daerah ini terus mengadakan pertemuan untuk berencana menentang desakan itu. Dalam pertemuan mereka di Hotel Jitsy Sario, tadi malam, setidaknya ada beberapa hal penting yang menjadi kesimpulan pembicaraan itu.

Antara lain, mereka akan membentuk tim ke Jakarta untuk menggugah dan mendesak para kaum nasionalis untuk ikut bicara. Sebab menurut Pdt David Tulaar, kalau kita di daerah-daerah ini hanya diam, para kaum nasionalis ini juga akan ikut diam. ''Alasan mereka, ngapain kita menentang desakan diberlakukannya kembali Piagam Jakarta kalau di daerah sendiri diam. Kalau kita diam, para kaum nasionalis ini akan beranggapan kita di daerah terutama di kawasan Timur yang identik mayoritas Kristen juga ikut setuju,'' katanya.

Para peserta diskusi yang terdiri dari generasi muda ini akan menggalang tokoh-tokoh asal Indonesia Timur untuk satu suara menegaskan kepada pusat. Aspirasinya satu, yakni masalah Piagam Jakarta sudah final dan tak boleh diungkit-ungkit lagi.

Hadir dalam pertemuan itu, ketua Komisi Pemuda Sinode GMIM Pdt Ir Marhany Pua, Pdt David Tulaar, Dr Donald Rumokoy SH, Dr Noldy Tuerah, Fredy Roeroe, Max Siso, Sany Parengkuan bersama sejumlah pimpinan Pemuda GMIM yang tergabung dalam Crisis Center Pemuda GMIM Pdt Dolfie Angkouw, Jekriet Maluenseng, Romy Leke, Dany Kumayas, Hart Runtuwene, dan Fery Karwur.

Satu hal lagi yang mereka rencanakan, yakni akan meminta MPR agar jangan sampai dilakukan mekanisme voting dalam sidang tahunan November nanti. Hal ini perlu dilakukan sebab menurut mereka, cara inilah yang diinginkan Amien Rais dan akan dilakukannnya dalam sidang tahunan MPR nanti.

Fredy Roeroe menegaskan kalau ucapan Amien Rais yang keluar di berbagai media massa itu jangan dipercaya. ''Kita jangan terpukau dengan statemen Amien Rais di koran,'' katanya.

Hany Pua merasa yakin kalau Amien Rais ikut bermain. Dengan ucapannya itu menurut mereka, secara tidak langsung Amien Rais sudah berencana akan menggiring Piagam Jakarta untuk diagendakan dalam sidang nanti.

Jika sudah diagendakan, pasti akan tiba pada voting untuk menentukannya. Kalau divoting, sudah tentu Piagam Jakarta akan diterima.

PANCASILA

Di sisi lain dalam percakapannya dengan Manado Post secara terpisah, Pdt David Tulaar menyampaikan pemikirannya kalau istilah Pancasila itu harus diinterpretasikan kembali sesuai dengan situasi reformasi saat ini. Sebab, katanya, rasa permusuhan rakyat terhadap orde baru telah memberi dampak buruk terhadap Pancasila. Mereka mengidentikkan orde baru dengan Pancasila - sesuai dengan penataran-penataran P4 yang diberikan oleh BP-7 selama pemerintahan orde baru. ''Rasa permusuhan rakyat terhadap orde baru menimbulkan rasa permusuhan juga mereka terhadap Pancasila,'' ungkapnya.

Hal inilah yang dimanfaatkan oleh kaum Islam radikal untuk mengutak- atik kembali Pancasila itu. Salah satunya dengan memasukkan ketujuh kata menjalankan Syariat Islam ke dalam sila pertama Pancasila.

''Makanya saat ini saya rasa yang perlu yaitu, bagaimana pemerintah sekarang harus menafsirkan kembali Pancasila dalam format reformasi.

Kita angkat kembali Pancasila itu dan kita interpretasikan Pancasila dalam format yang sama dengan kondisi dan pemerintahan saat ini yang merupakan pemerintahan reformasi,'' ujarnya. (myw)


Manado Post 30 Agustus 01

Amien: Pro Piagam Jakarta Jangan Paksakan Kehendak

JAKARTA - Kelompok-kelompok yang menghendaki pencantuman tujuh kata dalam Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945, agar tetap menghormati keputusan MPR. Mereka juga diminta tidak melakukan move politik untuk tetap memaksakan kehendaknya. Demikian dikatakan Ketua MPR Amien Rais saat ditanya sikapnya tentang kelompok-kelompok yang masih menginginkan hal itu.

''Boleh saja diusulkan. Tapi kalau sudah ditolak sidang paripurna MPR tidak boleh melakukan move-move politik,'' kata Amien Rais di Gedung DPR/MPR, Rabu (29/8),seperti dikutip Detik.Com.

Sedangkan Menteri Pertahanan Matori Abdul Jalil yang dijumpai secara terpisah di Gedung DPR/MPR juga mengatakan hal yang sama. ''Kami mohon kepada mereka untuk melihat bagaimanapun juga keputusan yang diambil para pendiri republik, bahwa negara Indonesia bukan negara agama atau sekuler. Jadi kalau ada keinginan itu sebaiknya kembali pada keputusan para founding fathers,'' ujarnya.

''Kita sebaiknya sadar, keinginan itu semua membuat stigma seolah umat Islam itu seperti itu. Padahal itu hanya keinginan sebagian kecil masyarakat saja,'' sambung Matori.(*)


Manado Post 29 Agustus 01

Liddle tak Yakin Kekuatan Islam Bangkit Pdt Gara: Hormati Kekebasan Berpendapat

JAKARTA-Indonesianis asal Amerika Serikat Prof Dr William Liddle tidak percaya bahwa gerakan politik Islam akan bangkit kembali.

''Kalaupun gerakan Islam menampakkan dirinya, tidak akan berhasil dan mengemuka,'' ujar William Liddle, saat dihubunig JPNN, lewat saluran internasional tadi malam. Saat dihubungi, guru besar yang mendalami persoalan politik, militer dan Islam yang berkembang di Indonesia itu, sedang melakukan aktifitasnya di kampusnya, Ohio State University.

Liddle mengakui, gerakan politik Islam, memang dikhawatirkan sebagian pihak akan muncul di era pemerintahan Megawati. Asumsi utamanya, dalam posisinya sebagai wakil presiden, Hamzah Haz mempunyai posisi signifikan untuk membawa gerbong Islam.

Sebaliknya, Megawati sendiri, mewakili kelompok yang disebut abangan atau kaum puritan yang sejak awal, sudah dicap tidak jelas ke- Islamannya. Posisi Putri Proklamator ini, diperkirakan akan terjepit jika Mega tidak lagi mendapatkan dukungan moral dari Nahdlatul Ulama yang selama ini relatif tidak mempersoalkan masalah itu.

Kekawatiran tadi, tampaknya menjadi faktual jika melihat kecenderungan yang berkembang akhir-akhir ini. Tuntutan Piagam Jakarta agar dimasukkan dalam UUD 1945 seperti diperjuangkan PPP, PBB dan demo Front Pembela Islam (FPI) di Jakarta kemarin, dilihat sebagai indikasi ke arah itu. Begitu pula aksi-aksi anti Israel yang kembali marak.

Kepada JPNN, peneliti yang pernah menulis buku 'Kepemimpinan dan Budaya dalam Politik Indonesia' mengaku mengamati terus perkembangan politik di Indonesia melalui internet. Terkait dengan masalah kebangkitan politik Islam, ia mengaku terkejut dengan pernyataan mantan Presiden Abdurrahman Wahid. Gus Dur, katanya, mengatakan apakah Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam UUD 1945 atau tidak, tidak menjadi persoalan.

Bahkan, lebih jauh Liddle mengungkapkan bahwa Gus Dur telah bertemu dengan beberapa jenderal. Jenderal-jenderal itu, takut dan benci pada Hamzah Haz yang dinilai memperjuangkan Piagam Jakarta. ''Tapi bagi saya, terlalu dini untuk mengambil kesimpulan,'' tandasnya.

Tentang aksi-aksi demonstrasi yang membawa isu-isu Islam, Indonesianis yang pernah menjadi visitor research di UI dan UGM ini melihat sebagai gejala demokrasi yang biasa. Ia mengaku mengenal tokoh-tokoh yang pemikiran garis keras seperti Gogon (Ahmad Soemargono). Dan dalam pandangannya, isu yang mereka bawakan bukan riil politik. Sebab, mereka adalah kekuatan minoritas.

''Apa yang mereka lakukan sah-sah saja. Tapi saya tidak melihat kemungkinan bahwa mereka akan berhasil,'' tandasnya.

Selain berdasarkan realitas politik, ia melihat Megawati sudah membuat langkah awal yang cantik untuk meredam kemungkinan itu.

Dikatakan, ia terkejut ketika mantan wapres itu mengangkat menteri pendidikan nasional dari kalangan yang tidak hanya modernis, tapi sangat Muhammadyah. Yaitu, Prof Dr Malik Fajar.

Padahal sebelumnya, kecuali Yahya Muhaimin, selalu berasal dari kalangan abangan. Begitu juga pengangkatan Prof Dr Sayid Aqiel Husin Al Munawar dari kalangan tradisnionalis (Nahdlatul Ulama).''Ini menunjukkan bahwa Mega ingin menjembatani kultur politik Indonesia. Yaitu, antara abangan, tradisionalis dan modernis,'' jelasnya.

Pada sisi lain, ia melihat bahwa Mega juga belajar banyak dari pengalaman masa lalunya dan pada Gus Dur. Pemerintahan koalisi yang dia bangun dan kesediaannya untuk berdampingan dengan Hamzah, menunjukkan kemampuan Mega untuk belajar. Terutama, untuk menunjukkan bahwa dia tidak anti Islam. Padahal pada Sidang Umum MPR pemilu lalu, Hamzah Haz terang-terangan memukul Mega dengan mempertanyakan ke- Islaman Mega. ''Tapi semua tergantung langkah-langkah Mega. Untuk langkah awal, cukup menjanjikan.''

PIAGAM JAKARTA

Soal usulan memasukkan Piagam Jakarta ke dalam UUD terus menimbulkan berbagai tanggapan dari sejumlah tokoh agama dan tokoh politik di Sulut. Dari kalangan Islam sendiri, terutama partai besar yang pertama mengusulkan gagasan itu yakni PPP, mengaku kalau persoalan sebenarnya bukan memasukkan tujuh kata ke dalam UUD 45.

''Sikap partai kami bukan persoalan apakah tujuh kata ini dimasukkan dalam undang-undang atau tidak, namun bagaimana memberlakukan syariat Islam di kalangan umat Islam sendiri. Apakah umat Islam benar-benar menerapkan syariat Islam atau tidak, itu yang terpenting dan yang partai Islam maksud," ujar sekretaris DPW PPP Sulut Syharul Poli.

Syarul yang dikenal juga sekretaris Fraksi FPP di DPR ini, mengaku kalau dia tidak dapat memisahkan diri dengan sikap partai. Artinya, sikap PPP seperti yang telah dijelaskannya beberapa waktu lalu, untuk mengubur dalam-dalam niat memasukkan Syariat Islam ke dalam UUD 45.

Menurut dia, isu ini hanya dimunculkan elit-elit politik di Jakarta. ''Dari PPP sendiri tak pernah lagi menyentil soal Piagam Jakarta ke dalam UUD,'' ungkap Poli.

Ketua DPR Syahrial Damapolii yang dimintai komentarnya, terlihat enggan bicara panjang lebar seputar masalah ini. Saat ditanya, dia hanya mengatakan kalau untuk masalah Piagam Jakarta sebaiknya pemerintah pusat bertindak bijaksana dan membahasnya secara matang.

''Kita berharap pusat dapat membaca dan memahami keinginan dan persoalan warga yang ada di daerah. Sebab, belum tentu dari kalangan Islam sendiri yang ada di daerah-daerah lain bisa menerima pemberlakukan Syariat Islam. Buktinya, banyak daerah dengan basis Islam justru menolak tegas. Jadi wakil rakyat di pusat atau juga MPR perlu melakukan suatu pembahasan yang matang,'' ujarnya singkat.

Senada dengan Syarul Poli, PAW almarhum Machmud Poli, Syarif Wakid (PBB) yang baru dilantik pekan lalu. Ia menyatakan tujuh kata itu diberlakukan, tapi khusus bagi umat Islam. ''Bukan berarti menjadikan negara ini negara Islam. Aturannya hanya akan berlaku khusus di kalangan umat Islam saja,'' ujarnya.

Sementara Ketua DPD PDKB (Partai Demokrasi Kasih Bangsa) Sulut, Ny Elisabeth Winokan SH Msi, dengan tegas menolak diberlakukannya tujuh kata dalam dalam UUD 45. ''PDKB tetap konsisten dan tidak akan berubah dalam menolak Syariat Islam," ujar Winokan berapi-api.

Dia menyatakan, bahwa kini PDKB sementara merapatkan barisan untuk maksud tersebut. ''Saya mengimbau kepada seluruh kader PDKB di Sulut untuk merapatkan barisan dengan satu kata menolak Piagam Jakarta masuk dalam UUD,'' himbaunya.

Anggota Fraksi Reformasi (FR) di DPR Sulut itu prinsipnya menyatakan, PDKB akan berada di garda terdepan menentang tujuh kata ini bila ada kalangan-kalangan tertentu yang mau mencoba-coba memaksakan dimasukkan ke dalam UUD 45.

Sementara itu, Pdt Dr Nico Gara dihubungi di Tomohon tadi malam, mengaku tak bisa memberi tanggapan banyak soal aksi sejumlah ormas Islam yang melakukan aksi di gedung DPR-RI Senayan Jakarta mendesak mengagendakan Piagam Jakarta dalam sidang tahunan MPR nanti.

Lelaki yang juga dikenal mantan pimpinan Pemuda Sinode GMIM dan aktivis GMKI ini, mengaku hanya bisa memberi tanggapan atas pribadinya sendiri, dan bukan sebagai Sekretaris Umum Badan Pekerja Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa. ''Kami Sinode masih mau mengadakan pertemuan,'' katanya.

Dan baginya, persoalan desakan sejumlah Ormas Islam itu, merupakan hak mereka yang juga warga negara Indonesia dalam mengeluarkan pendapat. ''Kita harus menghormati kebebasan mengeluarkan pendapat sebagai sesama warga negara,'' kata Pdt Gara.

Namun ia menyarankan agar kita tidak usah khawatir dan mempercayakan saja persoalan itu kepada MPR. ''Itu kan harus ditetapkan di MPR. Dan tentunya yang kita harapkan dan perlu kita ingatkan kepada MPR, kalau masih ingin menghendaki adanya negara kesatuan republik Indonesia, bhineka tunggal ika jangan hanya lip service,'' sarannya. (jpnn/hjt/tr02/myw)


Minahasa kecam pemberlakuan syariat islam di Jawa

Laporan Christy Manarisip

Nampaknya pemberlakuan syariat islam yang dulunya baru sebatas wacana tidak lagi berlaku. Di pulau Jawa, syariat islam justru mulai diberlakukan. Surat kabar lokal terbitan Manado, KOMENTAR (23/8) memberitakan Bupati Cianjur, Ir. Haji Wasidi Swastomo tengah melakukan kampanye di daerahnya. Setiap hari Jumat, ia melakukan promosi Jumat Keliling hingga kepelosok-pelosok. Kegiatan lainnya adalah setiap PNS Wanita dilingkungan pemerintahan kabupaten Cianjur diwajibkan berbusana muslim.

Sekalipun demikian, pelaksanaan syariat islam tersebut masih mengundang polemik. Wakil Ketua Dewan Pimpinan Cabang PDIP Cianjur, Ir. Dadang Solehudin menyatakan kebijakan bupati tersebut menimbulkan sejumlah tafsiran dan ekses tidak sehat di masyarakat.

Menurutnya, sebagai pejabat publik bupati tidak dapat berpikir sekterian seperti itu.

Dari Manado, Ketua Pemuda Gereja Masehi Injili di Minahasa, Ir. Hanny Pua sangat menyesalkan tindakan bupati tersebut. Menurut Hanny Pua yang dihubungi Sulutlink.com Manado, ide pemberlakuan syrariat islam ataupun Piagam Jakarta sebenarnya sudah final yakni ditolak karena tidak sesuai dengan komitmen para pendiri bangsa yang terwujud dalam Pancasila. Tapi, kalau kemudian ada pihak, kelompok ataupun golongan tertentu yang mengungkit-ungkit kembali, sama seperti dengan menciptakan potensi perpecahan bangsa.

Rakyat Minahasa, lewat Kongres Minahasa Raya sudah dengan tegas menunjukkan sikapnya yaitu tidak setuju dengan pemberlakuan syariat islam ataupun piagam Jakarta, ungkap Hanny Pua yang juga ketua Kongres Minahasa Raya didampingi Sekretaris Christy Manarisip kepada sejumlah rekan-rekan.

Protes keras juga ditunjukan oleh Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Kristen Indonesia (Parkindo) Sulawesi Utara, Richard Rengkung. Menurutnya, tindakan bupati Cianjur tersebut masuk dalam kategori subversi.

Alasannya, pemberlakuan syariat islam ataupun piagam Jakarta akan menimbulkan kemungkinan perpecahan bangsa, itu sama dengan tindakan subversi, mengancam persatuan dan kedaulatan negara. Ia pun mengungkapkan, sudah saatnya Kawanua (orang Minahasa) Kristen yang ada di luar negeri sudah harus memikirkan langkah-langkah antisipatif karena tidak tertutup kemungkinan Minahasa akan menjadi target kelompok islam garis keras atau fundamentalis untuk dibumihanguskan, kalau Kawanua tidak mengambil peduli, mungkin saja Minahasa tinggal menjadi kenangan.


3 Hal Muluskan Syariat Islam: Otda, Wapres, Sidang Tahunan

Oleh Veldy Umbas

Beberapa hari setelah Hamzah Haz dilantik sebagai Wapres, di salah satu masjid di Salemba Wapres Hamzah Haz berucap kurang lebih begini, "Alhamdullilah, umat muslim telah diwadahi aspirasinya dengan jadinya saya sebagai Wapres. Dan sesuai dengan Undang-undang, bila Presiden berhalangan maka, Isya Allah, Wapres akan menggantikan Presiden.

Seloroh yang memiliki muatan kuat itu spontan disambut "amien!!!" oleh seluruh Jema'ah yang hadir. Hamzah yang memang pejuang aspirasi muslim sejak dulu, melalui partainya, PPP (Partai Persatuan Pembangunan) selalu berusaha untuk menggolkan syariat Islam gantinya semangat persatuan nasional yang selama ini menjadi dasar pijak kehidupan sosial bangsa Indonesia.

Di sidang tahunan kemarin, PPP jugalah yang bersikeras memasukan tujuh kata seperti yang tercantum dalam Piagam Jakarta dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya saja, kali ini usaha itu belum berhasil lantaran upaya keras Gus Dur Cs plus kaum nasionalis yang masih dalam kesimpulan, konsep negara kesatuan sudah final.

Wacana ini terus berkembang memang sudah sejak tahun 1945-1959 dengan puncak perjuangan Masyumi memegang peran kuat dalam eksekutif, namun lagi-lagi kaum nasionalis sangat kuat dalam posisinya mempertahankan konsep negara yang Bhineka Tunggal Ika.

Argumentasi baru bergeser sejak belakangan komposisi parlemen berubah, dengan menempatkan kelompok Islam politik pendukung Syariat Islam menjadi sangat besar dan signifikan.

"Sangat logis dan proporsional kalau umat yang mayoritas ini diwadahi dan diberikan tempat baik struktur maupun infrastruktur,"ungkap Eggi Sujana yang terkenal sebagai tokoh Islam kanan. Meski dirinya menegaskan kalau pemberlakuan syariat Islam hanya berlaku bagi umat Muslim, hal itu tetap sangat mengkuatirkan keutuhhan dan harmonisasi berbangsa dan bernegara. Malahan agama yang diklaim mayoritas itu tetap saja membuka kotroversi tafsir yang bisa merugikan agama lainnya.

Mengutip pernyataan Ulil Absar Abdillah dalam tulisannya, "Madinah", Ulil menjabarkan suatu missing chain yang sangat sulit antara demokrasi dan hukum Allah. Semisal menempatkan kemutlakan Allah dalam setiap judgementnya dengan popular sovereignity (ciri demokrasi yang menempatkan kepentingan semua orang). Ciri masyarakat yang demokrasi tentunya tidak melulu diselesaikan dengan cara punishment, seperti yang diajarkan agama (syariat). Secara mutlak, telah menempatkan konsekwensi multi tafsir atas syariat yang rentan terhadap harmonisasi beragama di Indonesia.

Apalagi, menurut Beny Matindas, seorang pengamat sosial, kosekwensi syariat Islam tentunya adalah pengingkaran sekaligus ketidakberesannya kontrak sosial kita atas Nation state yang sudah dibangun oleh the founding fathers. Dia mengutip, Jean Jacgues Rousseau tentang kontrak sosial. Kontrak yang dimaksud adalah perikatan atas setiap individu bahwa mereka mendahulukan kehendak umum. Kehendak umum disini adalah (the general will) bukan the will of all (kehendak semua). Sebagai respons atas tidak beresnya pemerintahan dibawah otoritas agama wkatu itu.

Belajar dari, Rousseau, tentu bentuk negara yang ideal demokratis adalah melepaskan partisipasi apapun agama dalam bangunan negara.

Termasuk mengundang-undangkan salah satu syariat agama dalam dalam legal formal aturan negara. Hal inipun dibenarkan oleh Gus Dur yang pernah mengatakan bahwa urusan religius adalah urusan sosial dan selesai dibahas ditingkat sosial itu sendiri. Sementara urusaan negara adalah urusan yang menyangkut seluruh hajat hidup orang banyak, bukan kelompok per kelompok yang secara mayoritas sekalipun.

Perjuangan Sampai Mati

Meski begitu, tampaknya perjuangan menuju Syariat Islam tidak pernah pupus. Sebuah grand design malah sudah diplot untuk menapaki drama pemberlakuan syariat itu. Dimulai dari jatuhnya Suharto yang menempatkan kader ICMI, Habibie sebagai Presiden pun gagal, parlemen berhasil dikuasai kelompok pendukung Piagam Jakarta. Mereka yang datang dari basis HMI yang juga tergabung dalam lingkup KAHMI, menjadi pemain kunci di DPR dan MPR. Suara merekapun solid dibawah ketua MPR Amien Rais.

Terakhir dengan menempatkan Hamzah Haz sebagai Wapres, mendampingi Megawati Sukarnoputri, diyakini menjadi fore rider untuk menuju cita- cita piagam jakarta. Jalan itu memang semakin mulus, dengan tiga faktor yang berhasil kondisikan. Pertama, otonomi daerah dinilai sebagai cara yang paling efektif untuk menggolkan syariat melalui perjuangan daerah-daerah. Realisasinya telah dimulai dari Aceh, dan bahkan disusul oleh Banten, dan Makasar. Kedua, dengan menempatkan Hamzah Haz,berarti membuka akses struktur maupun infrastruktur yang melapangkan jalan bagi berlakunya Piagam Jakarta. Pernyataanya kepada sejumlah Ulama baru-baru ini merupakan bukti bahwa misi yang diusung Hamzah adalah menjadikan Indonesia negara agama. Ketiga, tentunya arena yang nanti mewadahinya adalah sidang Tahunan. Seperti sidang tahunan kemarin, kali inipun ide memasukan syariat islam dalam konstitusi akan diperjuangkan mati-matian.

Sumber Victorious menyebutkan, sidang tahunan kali ini akan menjadi ajang 'mati-matian' bagi islam kanan untuk memperjuangkan syariat islam kedalam konstitusi. Hal ini tentu harus dimanfaatkan karena menyadari komposisi parlemen yang hampir dikuasai oleh Islam politik.

Meski ada partai nasionalis seperti PDIP dan Golkar, kali ini misi yang diusungnya tidak lagi cukup kuat membendung niat sebagian besar kelompok pendukung piagam jakarta itu. Di PDIP sendiri tercatat hampir 50 kadernya yang berasal dari kalangan islam fundamental, hal sama juga terjadi pada Golkar yang tokoh-tokoh kuncinya berasal dari HMI yang menjadi pusat kaderisasi Islam politik "kanan."

Jadi kalau hal itu dikuatirkan oleh beberapa tokoh Kristen seperti IP Lambe, Cris Marantika, Weinata Sairin, tentu bukan tanpa alasan yang jelas. Hal ini merupakan proses yang sementara berlangsung tanpa dapat diputus oleh siapapun. Meski demikian Chris Marantika satu dari beberapa mereka yang optimis kalau Piagam Jakarta itu tidak akan bakal terwujud. Lain halnya dengan Jacob Tobing yang melihat perwujudannya sudah tampak lewat SKB 2 Menteri, dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya yang selama ini dialami oleh Gereja. Sementara pengamat sosial dari Katolik, Sudjati Djiwandono mengatakan gerakan Islam Fundamentalis yang bersifat mondial, bercita-cita agar Islam jadi peradaban dunia serta menguasai strata sosial dunia.

Tentang hal itu, Abraham C Supit menilai, gerakan penegakan syariat Islam itu harus menjadi cambuk bagi umat Kristen untuk lebih memperkuat iman, merapatkan diri dalam konsensus persaudaraan dalam Kristus, serta kembali mengoreksi semua kegagalan semangat menegakkan kebenaran pada diri tiap umat Kristen. Dalam iman, tentu ada kebijaksanaan surga yang menyertai segenap umat Kristen. Ketakutan terhadap Syariat hanya akan menjadikan posisi umat Kristen menjadi lemah, sementara dengan spirit menegakkan kebenaran dan keadilan, umat Kristen bisa menegakkan demokrasi yang adil dengan pimpinan roh kudus, mengembalikan harmonisasi agama berdasarkan kasih tanpa pandang suku, agama, atau ras. Veldy Umbas


Kongres Minahasa ultimatum MPR
Piagam Jakarta Diterima, Minahasa Merdeka

Senin, 7 Agustus 2000

TOMOHON-Manado Post

Kongres Minahasa memberi ultimatum kepada MPR dalam ST (sidang tahunan) yang akan dimulai hari ini (7/8). Forum Kongres Minahasa Raya yang berlangsung Sabtu (5/8) lalu itu sepakat mengultimatum MPR bahwa jika ST itu mengamandemen UUD '45 dengan memasukan Piagam Jakarta ke dalamnya, tanah Toar Lumimuut akan merdeka.

Jika keinginan untuk membatalkan komitmen Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus dan UUD 1945 diluluskan atau bahkan dikompromikan sedikit pun, maka pada saat yang sama eksistensi NKRI (Negera Kesatuan Republik Indonesia) berakhir.

Pada saat itu juga rakyat Minahasa terlepas dari seluruh ikatan dengan ke-Indonesia-an dan berhak membatalkan komitmen ke-Minahasa-an dalam ke-Indonesia-an. Dengan demikian, maka rakyat Minahasa berhak menentukan nasibnya sendiri untuk masa depannya.

Demikian antara lain bunyi deklarasi yang dihasilkan dalam Kongres Minahasa Raya yang berlangsung di Auditorium Bukit Inspirasi Tomohon Kabupaten Minahasa, Sulut, Sabtu (5/8) akhir pekan lalu. Hadir pada kongres yang menghasilkan tiga butir deklarasi tersebut sedikitnya 2000 rakyat Minahasa dari berbagai kalangan. Mereka adalah kalangan tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, tua-tua adat, tua-tua kampung dari 7 pakasaan sub etnis di Minahasa, generasi muda dan masyarakat Minahasa baik yang tinggal di daerah ini, maupun yang tingal di luar daerah. Forum Kongres Minahasa itu turut dihadiri Wakil Gubernur FH Sualang, Bupati Minahasa Drs Dolvie Tanor, mantan walikota dan walikota Manado Ir LH Korah dan Wempy Fredrik, pejabat sementara Walikota Bitung Drs L Gobel, dan pejabat penting lainnya.

Kongres yang berlagsung hampir sembilan jam itu dipandu tujuh tokoh pemuda dari Minahasa. Mereka itu, Ke Pnt Hanny VP Pua, Pdt David Tulaar, Pdt Feybe Lumanauw, Ir Vicktor Rompas, Pstr DR John Montolalu, Pdt Narwasty Karundeng dan Pdt Wempy Kumendong. Tim ini didampingi utusan-utusan mewakili 7 sub-etnis yang ada di Minahasa.

Ke tujuh utusan itu adalah Tombulu, Tonsea, Tolour, Tonsawang, Tontemboan,, Ratahan dan Bantik. Mereka itu yakni Pdt Prof DR WA Roeroe, Mayjen Pur CJ Rantung, Prof DR EA Sinolungan, Jotje Koapaha, Drs Freddy Rorimpandey serta Dolfie Maringka.

Setelah menampung saran dan masukan seluruh rakyat Minahasa yang hadir pada kongres itu, pimpinan sidang, mengkristalkan pada tiga poin. Tiga poin itulah yang menjadi butir deklarasi Kongres Minahasa Raya. Bunyinya, pertama, Mempertegas kembali komitmen ke-Minahasaan dalam ke-ndonesiaan, di dalam NKRI sebagaimana yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 berdasarkan UUD 1945.

Penegasan ini bersumber dari kesadaran bahwa sejak berdirinya republik ini, komponen-komponen rakyat Minahasa sudah terlibat dan berperan aktif tanpa pamrih. Bahkan di dalam sejarah republik ini, tidak sedikit jiwa dan raga rakyat Minahasa yang telah dipersembahkan bagi tegaknya negara RI.

Butir kedua, menolak segala kecenderungan dan usaha yang hendak memecah-belah keutuhan dan kebersamaan bangsa Indonesia di dalam NRI dengan cara memasukan gagasan Piagam Jakarta dan bentuk-bentuk sejenisnya dalam bentuk apa pun ke dalam UUD 1945 - Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan. Keinginan politik sektarian berbasis agama seperti ini hanya akan membatalkan seluruh komitmen kebangsaan Indonesia yang telah melahirkan NKRI bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu.

Peserta kongres juga menentang dan mengutuk segala bentuk yang dijadikan alat politik untuk mempertentangkan komponen-komponen bangsa Indonesia, serta mendesak seluruh unsur pimpinan negara di Jakarta (eksekutif, legislatif dan judikatif serta militer) untuk menyelesaikan konflik-konflik dan kerusuhan-kerusuhan yang telah dijadikan bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan), serta menutup segala kemungkinan munculnya konflik-konflik dan kerusuhan- kerusuhan serupa yang baru.

REKOMENDASI

Selain deklarasi yang telah dihasilkan, rumusan 7 orang pimpinan sidang bersamah ke-7 tua-tua kampung mewakili sub-etnis di Minahasa, kongres tersebut juga menghasilakn rekomendasi yang disusun oleh tim perumus kecil yang beranggotakan 12 orang. Rekomendasi itu akan menjadi lampiran dari deklarasi yang telah dihasilkan terlebi dahulu.

Rekomendasi itu berisikan 11 butir yang bunyinya, butir pertama, menolak adanya kelompok-kelompok tertentu yang merongrong persatuan dan kesatuan bangsa dan negara RI dan mempertahankan Pancasila dan UUD 1945.

Kedua, menolak segala bentuk keinginan untuk mendirikan negara agama yang bertentangan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Butir ketiga, menuntut agar pemerintah mampu menjamin kebebasan beragama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia.

Empat, meminta pemerintah RI untuk segera menarik laskar Jihad dan oknum-oknum TNI/Polri yang terlibat kerusuhan di Maluku, Poso dan daerah-daerah lai di indonesia. Serta menuntut para pelaku pembantai umat Kristen beserta para aktor intelektualnya sesuai hukum yang berlaku.

Kelima, PBB harus masuk ke Maluku, karena upaya penyelesaian konflik di Maluku tidak berhasil diselesaikan oleh pemerintah Indonesia.

Enam, meminta kepada panglima TNI/Kapolri untuk bertanggung jawab terhadap tindakan laskar jihad yang didukung oleh TNI/Polri serta lolosnya laskar jihad ke wilayah kerusuhan.

Butir ketuju, menuntut penghapusan daerah khusus dan daerah istimewa, karena setiap daerah mempunyai hak dan kedudukan yang sama dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Delapan, mengembalikan citra perjuangan semesta (Permesta) bukan sebagai gerakan pemberontakan, tetapi merupakan perjuangan luhur dari rakyat Minahasa untuk diperlakukan adil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Butir sembilan, mendukung pemerintah yang sah dibawah kepemimpinan presiden Abdulrahman Wahid dan wakil presiden Megawati Soekarno Putri selama masih konsisten dengan Pancasila dan UUD 1945.

Kesepuluh, mendesak pemerintah RI untuk segera mencairkan dana bantuan kemanusiaan bagi para pengungsi yang ada di Sulut.

Butirnya yang terakhir, mereka meminta dengan tegas kepada pemerintah RI dan PBB (UNHCR) untuk mengembalikan para pengungsi ke tempat- tempat asal masing-masing dengan menjamin kesejahteraan dan keamanannya sebagai amanat Pembukaan UUD 1945, yaitu pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia.

LOBI TIM

Deklarasi Kongres Minahasa Raya yang dihasilkan lebih dahulu dan dibacakan Pdt David Tulaar dihadapan ribuan rakyat Minahasa yang mengikuti kongres tersebut, nantinya akan dibawa langsung oleh tim ke Jakarta pada Sidang Tahunan MPR RI dengan melampirkan juga hasil rekomendasi. Namun informasi dari panita, untuk meloloskan deklarasi KMR di gedung MPR RI nanti, kemungkinan mereka tidak hanya akan menggunakan para utusan daerah yang duduk di MPR dan DPR RI.

Lantas siapa yang akan dipergunakan tim untuk menyampaikan hasil kongres tersebut? Diperoleh informasi kemungkinan ada sejumlah tokoh vokal nasional yang antara lainnya dari Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa Prof DR Phil Astrit Susanto, FKKI (Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia) Sutradara Ginting serta juga Yakob Tobing dan lainnya.

Mereka itulah menurut panitia yang akan menjadi sasaran lobi tim untuk menyuarakan aspirasi rakyat Minahasa.

DEMOKRATIS

Kongres Minahasa Raya yang berlangsung sehari sejak sekitar pukul 10.00 dan baru berakhir sekitar pukul 18.30, betul-betul mencerminkan ciri karakter orang Minahasa yang demokratis. Ribuan orang yang hadir memadati Auditorium Bukit Inspirasi, semuannya ingin mengutarakan pendapat dan masukannya kepada pimpinan sidang.

Akibatnya, pimpinan sidang dan panitia pelaksana kawalahan mengatur mereka yang saling berebutan ingin memegang pengeras suara.

Kelihatannya ibarat ikan mas di kolam yang berebutan ketika dilemparkan makanan. ''Ini orang Minahasa memang nimbole lia mike,'' kata Welly Rompas, salah seorang di antara ribuan warga Minahasa yang hadir dalam kongres itu.

Suasana dalam kongres itu benar-benar menjadi pesta interupsi. Mulanya kongres itu dibuka dengan ibadah yang dipimpin Pdt Prof DR WA Roeroe, yang dilanjutkan dengan sambutan yang sengaja didaulat-kan kepada tiga pemimpin. Mereka adalah mewakili pemimpin Sulut Wakil Gubernur FH Sualang, sebagai pemimpin Minahasa Bupati Drs Dolfie Tanor dan sebagai perwakilan orang Minahasa di perantauan baik Pulau Jawa maupun Amerika Serikat disampaikan oleh Benny Tengker.

Usai itu pimpinan sidang mengambil alih jalannya kongres yang dilanjutkan dengan memberi kesempatan peserta untuk menyampaikan semua masukan-masukan. Namun didahului juga dengan pengantar yang menjadi maksud dan tujuan dilaksanakan kongres yang disampaikan ketua panitia Ir Marhany V Pua.

Ketika panitia membuka setiap sesi babakan untuk diberi kesempatan berbicara, hampir seluruh di dalam ruangan mengangkat tangan. Di situlah mereka saling berebutan mike. Ketika pimpinan sidang menunjuk siapa-siapa yang diberi kesempatan lebih dulu berbicara, yang lainnya malah naik ke podium menghampiri meja pimpinan sidang meminta dirinya juga diberi kesempatan. ''Kita ley-kita ley satu pimpinan sidang,'' pinta seorang peserta memohon.

Untung panitia menyediakan satgas 'Brigade Manguni.' Satgas pun menertibkan setiap orang yang ingin menyampaikan masukannya. Sekitar 4 orang anggota Brigade Manguni yang dipimpin John Kalangi ini pun menjaga mike tersebut dan berdiri di belakang setiap ada yang menyampaikan argumennya.

INGIN MERDEKA

Namun umumnya mereka yang menyampaikan masukannya, menginginkan Minahasa agar mendirikan negara yang merdeka sendiri terlepas dari NKRI. Pekikan-pekikan merdeka dan semboyan perang rakyat Minahasa 'Iyat U Santi' selalu mengawali dan mengakhiri setiap orang yang menyampaikan tanggapannya pada pimpinan sidang. Pekikan itu pun selalu disambut oleh ribuan rakyat Minahasa yang hadir dengan berteriak merdeka atau bakukuk.

Seorang peserta Erik Mingkit mengatakan, bila betul-betul Piagam Jakarta akan kembali di terima pada ST MPR RI, maka tak ada pilihan lain selain pisahkan diri dari NKRI. ''Apa betul Piagam Jakarta itu akan diberlakukan lagi, bila betul maka tak ada pilihan lain selain kita bersiap-siap angkat senjata dan kembali masuk hutan,'' teriaknya yang langsung disambut ribuan rakyat Minahasa yang hadir dalam ruangan kongres.

Sama halnya disampaikan Dolvie Maringka dalam kongres itu.

Dikatakannya, bila ST MPR tidak menerima rekomendasi Kongres Minahasa Raya dan menerima kembali Piagam Jakarta, hari itu juga Minahasa dinyatakan berpisah dengan NKRI. ''Kita berdiri negara sendiri dengan tetap berasaskan Pancasila,'' katanya. Sempat dikisahkan-nya juga bagaimana diskriminasi orang Minahasa yang identik dengan kepercayaannya selama ia bekerja di kantor sekretariat negara di Jakarta. Menurutnya sudah cukup orang minahasa keluar dari tekanan itu. Demikian seterusnya pembicara-pembicara lainnya yang menginginkan agar Minahasa ini memisahkan diri.***

Received via email from: Ambon@yahoogroups.com

Copyright © 1999-2001  - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML pages designed and maintained by Alifuru67 * http://www.oocities.org/baguala67
Send your comments to alifuru67@egroups.com