Tanggapan Berita Hujat Kekejian dengan Cara Keji

Oleh Lion

Related article : Jawa Pos: Berita Demonstrasi di AS

Selama ini menurut pengamatan saya, Harian Jawa Pos, yang saya baca baik lewat Jawa Pos Cetak, maupun Jawa Pos On Line, cukup proporsional dalam memberitakan tentang peristiwa-peristiwa kerusuhan berbau SARA. Khususnya kerusuhan Mei baru lalu. Lebih spesifik lagi adalah yang menyangkut kasus penjarahan, pembakaran, penganiayaan, dan pemerkosaan yang dialami etnis Cina. Di bandingkan dengan beberapa media di Indonesia, termasuk Kompas dan Suara Pembaruan, Jawa Pos terasa lebih menyuarakan jeritan kepedihan hati kaum minoritas Cina yang sudah tak terbilang berapa kali menjadi sasaran amuk massa. Berita-beritanya selama ini cukup membuat kasus penjarahan dan pemerkorsaan terhadap etnis Cina-Indonesia di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya menjadi cukup transparan, sehingga membuat orang lain dapat merasakan bagaimana perih dan ketakutannya etnis Cina tersebut. Orang pun menjadi mafhum mengapa banyak etnis Cina yang kemudian lari ke luar negeri, atau ke tempat lain yang masih wilayah Indonesia (misalnya Bali).

Media lain bahkan seolah-olah hendak menetralisir berita-berita pemerkosaan tersebut. Misalnya majalah Harian Waspada dari Medan yang membuat head-line pernyataan dua anggota MPR, bahwa kasus pemerkosaan itu hanya berita yang dibesar-besarkan untuk maksud-maksud politik tertentu dan menjelek-jelekkan nama Indonesia di luar negeri. Atau majalah Forum Keadilan, yang "aneh"-nya sampai nomor terakhirnya tak satu kali pun memberitakan kasus pemerkosaan tersebut. Bahkan nyaris satu kalimat pun tak menyinggung kasus tersebut. Termasuk di rubrik "Catatan Hukum"-nya Karni Ilyas. Seolah-olah kasus-kasus pemerkosaan tersebut memang tak ada sama sekali. Sedangkan Majalah Gatra, hanya rajin memuat surat pembaca yang pada intinya menyanyangkan berita-berita minor yang katanya -- lucunya -- mengkambinghitamkan pribumi, atau semuanya itu ujung-ujungnya salah etnis Cina sendiri yang tak mau berbaur, angkuh, dan segala macam tudingan lainnya.

Kembali kepada masalah pemberitaan Jawa Pos ini. Seperti kita ketahui dalam satu harian, tentu tak hanya mempunyai satu-dua wartawan/koresponden, tetapi banyak. Apalagi harian yang tergolong besar, seperti Jawa Pos. Dalam keadaan ini adalah wajar kalau ada beberapa wartawan/koresponden/staf redaksi yang mempunyai pandangan lain dalam menghadapi suatu persoalan. Termasuk masalah pemerkosaan, atau kasus demonstrasi etnis Cina di lluar negeri yang tergolong besar yang telah dilakukan di New York dan beberapa kota besar lainnya di AS.

Saya tidak tahu bagaimana sebenarnya pandangan "resmi" dari Jawa Pos dalam kasus demo ini. Biasanya pandangan/opini suatu media cetak dianggap terwakili dalam rubrik semacam Tajuk Rencana.

Membaca isi berita Jawa Pos edisi hari Minggu, 09 Agustus 1998 ini, terasa bahwa sang wartawan rupanya merasa tak rela kalau Indonesia dimaki-maki seperti itu. Hal ini sebenarnya juga merupakan suatu hal yang cukup wajar. Yakni manakala ada pihak lain yang mengecam keras, apalagi dengan cara-cara yang dianggap kasar, muncul perasaan nasionalisme dari seseorang untuk membelanya.

Tetapi tidak bijaksana apabila sikap nasionalisme itu dipraktekkan secara "membabibuta"; apapun yang terjadi, apapun yang dilakukan oleh negaraku -- apakah salah atau benar -- saya tetap akan membelanya mati-matian dengan cara apapun. Sehingga muncul kesan kesalahan sebagaimana besar pun yang dilakukan pemerintah (sebagai alat penyelenggara kebijakan negara) akan dibela mati-matian, atau terkesan ditutup-nutupi.

Dalam kaitannya dengan ini kita melihat apakah sebenarnya yang telah terjadi sehingga muncul aksi demo-demo tersebut? Apakah yang menyebabkan sampai para demonstran itu menggunakan kata-kata yang menurut wartawan Jawa Pos itu (Ramadhan Pohan) sebagai "keji." Apakah benar tulisan-tulisan dan teriakan para demonstran itu layak disebut sebagai "keji."? Sebatas mana sesuatu itu bisa dikatakan "keji"?

Dari awal terjadinya peristiwa kerusuhan yang menimpa etnis Cina di Indonesia -- lepas dari apakah kasus ini murni masalah SARA, ataukah masalah persaingan kekuatan politik yang menggunakan etnis Cina sebagai obyek menjalankankan intriknya -- sudah terlihat beberapa hal yang janggal. Kejanggalan yang membawa orang berpikir bahwa pihak pemerintah dan aparat keamanan tak mempunyai sikap serius untuk menanggani dan melindungi warga negaranya. Khususnya dalam hal ini etnis Cina di Indonesia.

Sebelum terjadi kerusuhan Mei, suasana politik Indonesia sudah sangat panas. Suasana menjadi semakin panas begitu terjadi pembunuhan terhadap empat mahasiswa Trisaksi. Seharusnya dalam keadaan seperti ini aparat keamanan sudah harus mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerusuhan. Apalagi kasus kerusuhan Medan belum lama meletus.

Yang terjadi adalah justru keesokan harinya setelah terjadi penembakan empat mahasiswa itu, sentra-sentra bisnis yang banyak dikuasai oleh etnis Cina, justru menjadi sepi dari aparat keamanan. Padahal sebelumnya ada beberapa aparat yang disiagakan di situ lengkap dengan kendaraan militernya. Ini justru keadaan menjadi genting kok malah ditarik? Saya yang awam saja sudah menduga bahwa akan terjadi peristiwa kerusuhan, masa ABRI, maupun pihak inteljen tak bisa mengantisipasinya?

Ada sementara pihak yang mengatakan bahwa aparat keamanan ditarik untuk menjaga sentra-sentra strategis, semacam POM bensin, dan PLN. Pertanyaan yang muncul adalah; seberapa besarkah personil ABRI yang dibutuhkan untuk itu? Sementara beberapa fakta berbicara bahwa ternyata POM-POM bensin pun sepi dari penjagaan aparat sehingga pada waktu terjadinya kerusuhan dengan mudah dibakar atau dijarah.

Alasan yang dikemukakan Pangab/Menhankam, Jenderal Wiranto pun terasa kurang bisa diterima. Dia mengatakan bahwa ABRI tak dikondisikan untuk menangani kasus-kasus kerusuhan seperti itu? Lho kok begitu? Kalau "hanya" kerusuhan seperti itu tak mampu diatasi oleh ABRI. Lantas bagaimana dengan kemampuannya dalam perang yang sesungguhnya dengan pihak luar? Bagaimana kemampuan aparat militer yang berkualitas demikian dalam menghadapi penyusupan musuh dalam sebuah perang?

Apalagi kita melihat bahwa kok kerusuhan yang di dalam kota tersebut bisa terjadi begitu leluasa selama tiga hari berturut-turut? Tanpa ada aparat yang mencoba mengatasinya? Hal seperti ini bukan hanya baru terjadi di Jakarta. Tetapi pola yang sama terjadi juga dalam kasus kerusuhan anti Cina di beberapa tempat, misalnya di Ujung Pandang dan Medan. Umumnya kerusuhan telah merebak dan menghancurkan selama lebih dari satu hari (rata-rata tiga hari), baru kelihatan aparat yang turun tangan. Umumnya sang pemimpin akan membantah kalau mereka telah terlambat dengan berbagai alasan. Tetapi orang awam sekalipun tak bisa dikibuli dengan berbagai alasan tersebut dengan melihat fakta yang berbicara di depan mata, bahwa kenyataannya aparat memang bertindak terlambat. Pertanda apa ini?

Yang paling janggal terjadi di Jakarta adalah sejak hari pertama kerusuhan merebak dan disiarkan oleh seluruh televisi dan radio swasta secara langsung, dan kemudian keesokkan harinya oleh media-media cetak kok tak ada aparat yang bertindak? Aparat baru kelihatan bertindak tegas setelah kerusuhan menginjak hari ketiga! Setelah sudah jatuh begitu banyak korban, baik materi, maupun jiwa. Baik kerugian material, maupun immaterial.

Belakangan baru kita mendengar adanya permintaan maaf dari Pangab/Menhankan, Jenderal Wiranto, bahwa ABRI tak mampu mengatasi kerusuhan tersebut.

Paska kerusuhan, ternyata kemudian memunculkan fakta demi fakta bahwa selama kerusuhan berlangsung telah terjadi peristiwa-peristiwa yang teramat memilukan bagi siapa saja manusia yang masih mempunyai hati nurani, yakni kasus-kasus pemerkosaan massal yang menimpa perempuan-perempuan etnis Cina, sebagaimana telah diberitakan di internet, maupun media cetak. Walaupun mungkin ada di antaranya yang diragukan keakuratannya, tetapi tak dapat dipungkiri, bahwa peristiwa-peristiwa nan biadab itu memang terjadi.

Yang menyakitkan adalah sikap pemerintah RI dalam menyikapi peristiwa-peristiwa yang terungkap bekas kerja keras Tim Relawan/LSM-LSM. Kesannya masa bodoh. Bahkan beberapa pejabat, termasuk beberapa menteri (tak terkecuali menteri peranan wanita), maupun aparat kepolisian yang bersikap bahwa "peristiwa-peristiwa itu sebenarnya tak ada." Misalnya mereka selalu meminta bukti dari peristiwa tersebut. Bahkan minta supaya korban pemerkosaan sendiri yang melapor ke pihak kepolisian, seperti yang pernah dilontarkan oleh pihak Polda Jawa Timur. Katanya kalau hanya Tim Relawan, atau keluarga korban yang melapor polisi masih ragu-ragu apakah itu benar terjadi.

Saya tak habis pikir kok ucapan seperti ini bisa dilontarkan oleh pihak kepolisian. Orangtua atau keluarga masih waras mana yang kalau ada anaknya tak diperkosa, kemudian datang melapor ke polisi bahwa anaknya telah diperkosa secara beramai-ramai? Seolah-olah itu merupakan sesuatu yang patut dibanggakan. Apalagi bagi korban sendiri. Pemerkosaan biasa saja sudah merupakan suatu trauma yang menakutkan. Apalagi jika dilakukan secara biadab oleh lebih dari satu orang?

Sikap dan respon aparat seperti ini membuat orang menjadi semakin takut dan tak percaya kepada mereka. Lihat saja selama ini kasus-kasus yang menginjak-injak HAM, tak ada yang dilaporkan ke kepolisian. Karena apa? Karena kepercayaan terhadap polisi berdasarkan perilaku seperti ini, sudah tak ada lagi.

Lalu bagaimana dengan sikap pemerintah Habibie sendiri?

Menurut saya tidak berbeda jauh. Sikap Habibie pun terkesan tak begitu perduli dengan berita-berita pemerkosaan itu. Lihat saja setelah sekitar dua bulan berlalu peristiwa itu diungkapkan Tim Relawan, dan setelah muncul berbagai kritikan pedas, baik dari dalam, maupun luar negeri, barulah kita mendengar Habibie bersikap, bahwa dia sudah mendengar dan mengetahui bahwa ternyata kasus-kasus pemerkosaan itu ada, dan oleh karena itu mengutuk peristiwa pemerkosaan itu.

Anehnya setelah Habibie mengeluarkan pernyataan seperti itu, kok masih ada pejabat yang nota-bene bawahannya, mengeluarkan pernyataan yang kontradiktif dengan "kutukan" Habibie itu. Yang terakhir kita dengar dari Jaksu Agung, Andi M. Ghalib, yang menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa pemerkosaan itu sebenarnya tidak ada, tetapi dibesar-besarkan oleh LSM-LSM (Tim Relawan), yang mempunyai maksud-maksud politik tertentu, dan menjelek-jelekkan nama Indonesia di luar negeri. Bahkan menghubungkan dengan dugaanya bahwa berita-berita itu sengaja dibesar-besarkan dengan tujuan akhir menggoyang kedudukan Habibie sebagai presiden.

Secara logika, berarti dia secara tak langsung mengatakan bahwa pengakuan Habibie tentang pemerkosaan yang saya sebutkan di atas adalah bohong. Habibie bohong kalau dia mengatakan telah mengetahui benar ada kasus pemerkosaan dan oleh karena itu mengutuknya (sebagaimana dinyatakan di hadapan di depan 21 aktivis perempuan, pimpinan Ny. Saparinah, 15 Juli lalu).

Lebih penting lagi, adalah bila benar Tim Relawan telah membuat berita bohong, maka ini berarti mereka telah melakukan suatu tindakan subversif, yakni secara sistematis telah menyebarkan berita-berita palsu yang menyebar ke seluruh dunia, yang membuat bangsa Indonesia merasa sangat malu (kalau memang masih ada perasaan malu), dan nama Indonesia hancur-lebur, tercemar di mata dunia internasional. Suatu "kejahatan" yang sangat serius. Tetapi kok aneh pemerintah tidak menindak mereka? Kok Kejaksaan Agung yang paling berkompeten tidak melakukan apa-apa? Sewaktu pertanyaan seperti ini diajukan wartawan kepada Jaksa Agung itu, dia tak mampu menjawab dan buru-buru menuju mobilnya.

BERSAMBUNG

IHCC - Indonesian Huaren Crisis Center Back to Opinion