Home | Kabar & Jurnal

Berburu Buah Tangan: Turkish Delight ala Jogja

Pagi itu aku ke BRI, hendak "menguras" tabungan untuk tambahan uang saku ke Jakarta. Setiba di sana, antrean lumayan ramai. Kuputuskan cari tiket dan oleh-oleh dulu.

Di Tugu, dengan pe-de aku mengisi "Taksaka" di form pesanan. Akhir November lalu, saat Mama pulang balik Jakarta-Jogja, tiket kereta eksekutif itu hanya 88 ribu. Di daftar harga yang tertempel di dinding tertulis "Diatur Tersendiri". Selesai mengisi form pesanan, seorang petugas menyodoriku daftar harga kereta eksekutif khusus bulan Desember. Untuk Taksaka tanggal 17 dan 19, harganya... alamak, Rp 250 ribu!

Aku sempat berpikir, wah pesawat ada yang lebih murah! Untunglah, pikiran waras segera muncul: Mau pakai duitnya pakdhe, ya? Aku pun mengalah, menulis ulang form pesanan untuk dua tiket Fajar Utama, kereta bisnis. Oh, demi Narnia....

Malioboro Mal tujuan berikutnya. Aku langsung ke lantai bawah, ke tempat penjualan kaus khas Jogja. Lho, kok kosong? Diganti dengan deretan gajah tunggang. Yang ada tinggal kios Dagadu. Wah, terlalu "muda" buat Akmal. Tapi, lihat-lihat sebentar tidak apa-apa 'kan? Dan, betul saja, aku tidak menemukan desain, warna, dan ukuran yang berkenan di hati.

Kembali ke lantai dasar, eh, di kanan tangga ada penjual kaus yang kumaksud. Aku tertarik pada kaus bergambar Tin Tin di Jogja dengan mengenakan kain, beskap dan blangkon. Hm, ini kayaknya cocok untuk Mas Wartawan.

"Mbak, ada yang XL?" tanyaku (atau 3L sekalian, batinku, mengingat sosok Akmal yang kubayangkan gedhe dhuwur, besar dan tinggi).

Sayang, kaus ukuran gede lagi absen.

Segera aku meluncur ke Mirota Batik. Hehe, jangan salah sangka. Bukan mau memborong batik atau cendera mata. Aku kepingin mengoleh-olehi Herry sekeluarga, tempatku menginap nanti, permen jahe dan permen asem kesukaanku.

Ternyata, ada camilan baru: enting-enting jahe. Wadahnya brongsong kecil. Tahu brongsong kan? Itu, keranjang anyaman bambu yang digunakan untuk membungkus buah kelengkeng di pohon menunggu dipetik.

Ya, sudahlah, Akmal dan Herry kuoleh-olehi makanan semua saja. Token of friendship kan nggak mesti berupa barang. Lewat kampung tengah juga bisa mengesankan. Jadilah, oleh-olehnya paket Turkish Delight (eh, Jogja Delight!): permen asem, permen jahe dan enting-enting jahe. Cocok untuk musim hujan. Dan semoga bisa menggembirakan dua malaikat kecil Akmal (hehe, baru lihat fotonya di blog).

Urusan berikutnya: BCA. Ini gara-gara Irfan. Kemarin kuminta tolong memeriksa saldo (hehe, kalau-kalau royalti sudah ditransfer), dia salah PIN. Diblokir jadinya kartu ATM-ku.

Antrean lumayan panjang lagi. Namun, karena tidak ada pilihan lain, aku pun duduk manis dan melanjutkan pembacaan Stephen King On Writing. Sampai di bagian sekitar waktu King menjual Carrie ke Double Day. Aku mesem. Rupanya pengarang jempolan ini mengalami masa-masa sulit juga ya. Sempat kerja di binatu. Jadi guru. Sudah punya dua anak, tinggal di rumah kontrakan. Anaknya yang satu sakit-sakitan. Dan ia mengenang masa susahnya dengan sense of humor yang kentara.

Dan Carrie pun mengubah segalanya. Untuk edisi paperback-nya, ia akan diberi uang muka empat ratus ribu dolar. "Empat puluh?" tanyanya linglung tak percaya. "Empat ratus!" jawab agennya.

Beres urusan di BCA, kutengok penunjuk waktu di handphone. Setengah dua belas. Tanggung. Sebentar lagi BRI tutup, istirahat Jumatan, dan baru buka lagi setengah dua.

Mampirlah aku ke Gramedia. Biasa. Menengok perkembangan penjualan Let's Go Into Narnia. Sudah sebulan, barangkali, buku itu dipajang khusus bersama terjemahan Narnia dan buku-buku Harry Potter. Tampaknya lumayan. Setelah selama lima bulan baru terjual 3 (tiga!) eksemplar, tadi kutemukan buku itu sudah terjual empat lagi. Lumayan kan? Yap, meski ambang best seller masih melambai-lambai. Setelah menerbitkan lima buku, Denmas Marto masih juga menunggu Carrie-nya.

Dari Gramedia, perut sudah merintih. Kuarahkan motor ke Pakuningratan, mampir ke warung penjual ayam bakar, membeli dua potong untuk dibawa pulang. Ke BRI-nya nanti saja setelah makan siang, setelah kenyang. Ugh! ***

Jogja, 16 Desember 2005

Home | Kabar & Jurnal | Email