Diskusi Narnia dan Sepotong Senja dengan Akmal
Permulaannya 29 November lalu. Saya menerima telepon dari pria yang memperkenalkan diri sebagai Rukky Santoso, dari
Get the Book. Ia mengenal saya melalui buku Let's Go Into Narnia, menganggap buku itu bagus, namun ikut prihatin ketika tahu penjualannya seret. Ia tertarik untuk memperkenalkannya kepada publik yang lebih luas melalui acara diskusi buku, dan mengundang saya menjadi salah satu pembicara. Merasa tersanjung, dan tersentuh oleh niat baiknya, saya menyetujuinya.
Ketika kemudian, melalui penerbit, saya diberitahu mesti menanggung ongkos perjalanan sendiri, tekad saya sudah bulat: tetap berangkat. Sudah suatu kehormatan ada orang yang mau peduli dengan buku saya. Saya menganggapnya sebagai investasi, yang kelak akan saya petik hasilnya.
Tentu saja saya berharap, acara ini bisa sedikit mendongkrak penjualan buku saya dan, hehe, membikin saya lebih kondang. Selain itu, saya sendiri berniat untuk meluaskan jaringan, memperkaya pengalaman, dan mengasah kecakapan berbicara di muka umum. Yang tak kalah penting, saya ingin bertatap muka dengan beberapa sahabat dari dunia maya, yang berjanji akan hadir dalam acara tersebut.
Begitulah, diantar oleh Herry, petang 18 Desember saya menginjakkan kaki di TB Gramedia Mal Artha Gading. Saya disambut seorang pria berwajah ramah, usianya saya tebak 40-an, mengenakan
t-shirt kuning dan jin biru, yang mengajak saya masuk ke kantor toko. Saya sempat melayangkan pandangan ke seantero toko, tidak melihat ada poster atau spanduk yang menjelaskan akan ada diskusi Narnia. Di mana ya nanti acaranya?
Diskusi ternyata diadakan di sebuah lorong yang agak luas di antara dua rak buku. Pembicara Mbak Henny Indriati dan saya, dipandu oleh Pak Rukky. Di belakang kami dipajang
Let's Go Into Narnia, buku-buku Narnia terjemahan GPU, dan buku-buku seri
Right Brain karya Pak Rukky.
Peserta diskusi tak lebih dari sepuluh, tapi Pak Rukky piawai menghangatkan suasana, memancing saya dan Mbak Henny untuk berbagi. Topik beranjak dari Narnia, namun tanpa terasa lalu merambah dan berkelok ke daerah-daerah lain pula. Suasana akrab, diwarnai gelak tawa di sana-sini. Terlebih secara tak terduga muncul Ibu Dora, 76 tahun, warga sebuah rumah jompo di Cibubur.
Walaupun acaranya ternyata tak seakbar yang saya bayangkan, saya merasa puas. Inilah jatah dan pintu kesempatan yang Tuhan izinkan untuk saya masuki. Inilah yang terbaik untuk
saya saat ini. Saya bertambah kenalan, dan belajar beberapa hal baru. Senangnya, di antara hadiri, ada Mbak Poppy,
penggemar dan penulis kisah fantasi, yang saya kenal dari milis dunianarnia. Kemudian, muncul pula Kang Akmal, yang sebenarnya saya harap ikut angkat suara.
Rupanya Kang Akmal malah mengamati jalannya diskusi dengan begitu cermat (maklumlah, wartawan!). Dalam kesempatan makan bareng di Solaria, dia menyodorkan sudut pandang yang berbeda atas diskusi tadi. Kalau saya memandangnya sebagai bagian dari pembelajaran pribadi, dia membidiknya dari sudut dunia perbukuan itu sendiri dan kepentingan peserta diskusi -- bidikan yang dibenarkan oleh Herry. Saya merasa ruang pandang saya direntangkan.
Selebihnya, kami ngobrol seputar buku, milis, film (Kurosawa! Kuingat lho Kang, letikan ide untuk menulis bareng tentang empu film satu ini), keluarga, kegiatan keseharian. Dia juga sempat memperlihatkan SMS dari Eric Sasono yang dikirim pada malam penutupan FFI 2005. Ah, peraih Citra untuk Kritik Film Terbaik itu terinspirasi giat menulis resensi oleh Akang satu ini pula rupanya!
Begitulah, malam itu saya pulang dengan lega dan bahagia, merasa lebih kaya.
***
Di Jogja, esok petangnya saya menemukan posting Kang Akmal tentang diskusi Narnia, termuat di milis Apresiasi-Sastra. Merasa pandangannya dapat melengkapi catatan perjalanan ini, saya meminta izinnya untuk memuatnya di sini. Silakan menyimaknya!
sepotong senja dengan arie saptaji
akhirnya!
setelah pagi dan siang hari saya disibukkan dengan sejumlah urusan keluarga di sejumlah tempat di ibukota, menjelang senja saya bisa meluncur ke mal artha gading, tempat kang arie saptaji sedang melakukan promo bukunya 'let's go into narnia'. acara berlangsung mulai jam 15.00, tapi saya baru datang pukul 16.00
buku tulisan kang arie sendiri sudah saya baca sekitar 3-4 bulan silam, ketika diadakan diskusi oleh klab ruangbaca (koran tempo) di gunung agung, jakarta. meski tema waktu itu tentang harry potter, tapi buku kang arie termasuk yang dipajang, sehingga menarik minat saya.
diskusi di toko buku gramedia, mal artha gading, kemarin dihadiri tak terlalu banyak peserta, meski suasana toko buku sendiri cukup ramai. meski begitu, dari 5-6 peserta yang hadir, ada sejumlah pembaca serius narnia (cs lewis) yang datang langsung dari malang untuk mengikuti diskusi!
sepanjang diskusi yang saya ikuti, dan dipandu oleh am rukky santoso (penulis buku motivasional serial 'right brain') dan henny indriati, psikolog anak-anak bermasalah, suasana berlangsung gayeng dan akrab, terutama dengan hadirnya seorang 'pembicara' tak diundang, ibu dora, 76 tahun, yang sore itu sedang mencari buku, tapi ternyata sudah membaca semua serial 'right brain'. menariknya, ibu dora adalah penghuni rumah jompo di cibubur.
namun sebagai sebuah 'diskusi buku' (yang akan mengupas narnia), menurut saya merupakan diskusi yang tidak fokus, dan ngalor-ngidul nggak keruan. kedua pembicara terlihat sama sekali tidak menguasai topik yang dibicarakan sore itu. bahkan, kedua pembicara saya perkirakan juga tidak membaca buku kang arie dengan baik. (meski rukky mengaku 'sempat' membaca buku itu secara singkat, pagi harinya).
akibatnya, rukky santoso selalu menarik pembicaraan ke arah buku-bukunya sendiri, dan henny sang psikolog bercerita tentang pengalaman-pengalamannya sendiri pula, sembari dengan jelas sekali berucap, "saya sudah tidak punya waktu untuk membaca buku-buku seperti narnia yang merupakan cemilan." (lha, kenapa mau jadi pembicara/pembahas?)
henny punya pengalaman banyak dengan menangani anak-anak autis dan pengidap tantrum lainnya. tapi apakah hal itu relevan dengan pokok diskusi petang itu?
akibatnya, hak kang arie sebagai pembicara utama, dan bukunya yang menjadi fokus pembahasan sore itu, dibajak oleh kedua pembicara tersebut, yang menurut hemat saya, tidak layak menjadi pembicara sore itu (keduanya mungkin memiliki kompetensi di bidang masing-masing, tapi seharusnya bisa bersabar untuk mempertunjukkan kebolehan mereka lain waktu, karena sore itu mestinya milik kang arie yang datang jauh-jauh dari yogyakarta).
bahkan ketika ada pertanyaan dari floor (yang sudah sedikit itu), kang arie masih tak segera diberikan waktu untuk menjawab, tapi langsung dikooptasi dan diambil alih oleh moderator (rukky santoso) dengan jawaban yang berbelit-belit dan berputar-putar. sungguh, kalau tak didasari oleh keinginan untuk bertemu muka dengan kang arie, saya ingin secepatnya meninggalkan diskusi seperti itu. [apalagi kedua anak saya yang ikut juga sudah mulai rewel].
setelah acara selesai sekitar jam 17.45 saya sekeluarga dan kang arie (bersama seorang kawannya di jakarta) sempat makan malam bersama. ternyata kawan kang arie pun punya kesan yang sama dengan sama soal diskusi narnia yang dibajak untuk kepentingan promosi... buku-buku lain!
jika dihitung berdasarkan persentase waktu (yang saya hadiri sekitar 105 menit itu), total waktu bagi kang arie untuk bicara mungkin tak lebih dari 20 menit! ... believe it or not!
bagi saya, hal seperti ini menjadi tragedi setidaknya untuk dua hal:
(1) diskusi buku masih merupakan kemewahan bagi publik pembaca indonesia, terutama diskusi yang berlangsung di luar wilayah kampus, atau kantong-kantong budaya. karena itu setiap orang yang datang ke diskusi (dari berbagai daerah yang jauh-jauh) pastilah menginginkan sebuah diskusi yang spesifik sesuai dengan topik yang diinginkan. jika ternyata suasana diskusi jauh panggang dari api, tak heran jika upaya lebih mendekatkan buku kepada masyarakat, terbajak oleh keinginan sesaat para pelaku industri perbukuan sendiri.
(2) hemat saya, para pembahas, moderator, pembicara yang diminta untuk membahas satu buku tertentu di depan publik, harus jujur kepada masyarakat dan dirinya sendiri. kalau memang tidak menguasai bahan, mundur saja. kalau memang menguasai sedikit bahan, tapi tak sempat membaca serius buku yang akan dibedah, juga mundur saja. simpan saja kepandaian dan kompetensi masing-masing untuk diskusi berbeda di waktu yang berbeda.
simpati saya untuk kang arie, yang sudah menyempatkan (dan mengorbankan waktu) datang dari jauh, tapi malah menjadi 'orang asing' dalam diskusi yang harusnya membahas bukunya sendiri.
tabah ya kang. lain kali ada waktu di mana narnia dibahas lebih patut, oleh orang-orang yang lebih mengerti topik itu.
salam,
akmal n. basral
Terus terang, saya bahagia membacanya, merasakan dukungan seorang sahabat. Saya jadi ingin mendendangkan tembang Diana Ross yang lagi disukai Lesra dan Tirza:
If we hold on together / I know our dreams will never die / Dreams see us through to forever / Where clouds roll by / For you and I....
Thanks, Kang Akmal! ***
|