Home | Resensi Film

Si Doel Anak Betawi

Beratnya Bebanmu, Doel!

Entah kenapa, lumayan susah bagi saya mengulas Si Doel Anak Betawi secara objektif. Menemukan keping VCD-nya saja sudah suatu petualangan tersendiri, menimbulkan kegembiraan seperti kalau beruntung mendapatkan barang langka. Saat menikmatinya, perasaan saya campur aduk seperti kalau menyimak lagu nostalgia: bahagia, kangen, gemes.

Saat memergoki November 1828 diedarkan dalam format VCD, saya sempat berharap-harap cemas: Akankah film-film "klasik" Indonesia lainnya menyusul? Setelah sebuah diskusi di Bentara Budaya, saya mendapatkan jawaban mengenaskan: kemungkinan besar tidak. Pendokumentasian film-film Indonesia (Sinematek) memang persoalan memprihatinkan. Alasannya klasik: berat di ongkos. Salah satu tonggak perfilman kita yang sudah tak ada jejaknya adalah Apa yang Kaucari, Palupi? Dalam konteks ini, Si Doel Anak Betawi memang tergolong "barang langka", dan karenanya patut disyukuri.

Saya tidak berhasil melacak cerita di balik munculnya VCD dengan tanda lulus sensor bertitimangsa tahun 2000 ini, namun saya "mencurigai" keterlibatan Rano Karno. Pada sampul VCD terpampang dua wajahnya sekaligus: satu sebagai Si Doel kecil, satunya Rano Karno setelah gede. Bisa jadi kesuksesan sinetron Si Doel yang mencapai lima putaran itu menggerakkannya (dan memberinya dana) untuk melestarikan film yang mengilhaminya. Kalau benar, salut untuk Rano.

Petualangan menemukan VCD ini, sayangnya, juga membikin saya mengelus dada. Anda tahu di mana saya mendapatkannya? Di sebuah rental yang secara khusus memajang puluhan sampul VCD film Indonesia di dinding seluas kira-kira 1 X 3 meter. Eit, jangan bertepuk tangan dulu. Kalau Anda berharap menemukan judul-judul seperti Di Balik Kelambu, Pagar, Kawat Berduri, Rembulan dan Matahari, Taksi, Pengemis dan Tukang Becak, silakan gigit jari. Untuk menemukan Si Doel ini, kita mesti menembus belantara "sekwilda" dan "bupati" (sudah paham to kepanjangannya?) beserta judul-judul yang serba mendidih-menggelegak. Bisa dihitung dengan jari judul-judul yang sekelas dengan Si Doel. Jadilah saya terpikir-pikir: Walah, para produser VCD itu sebenarnya punya dana, namun kok ya film-film begituan yang dipilih untuk "dilestarikan"....

Begitulah, saya menikmati film ini dalam atmosfir nostalgia, sambil berharap orang-orang yang punya duit itu mau merogoh kocek untuk mengongkosi pelestarian film-film bagus.

Nonton Si Doel Anak Betawi, kalau Anda seumuran dengan atau lebih tua dari saya, tak ayal banyak kenangan akan bangkit. Masih ingat es lilin, bercukur di bawah pohon, dan penjual makanan menyunggi dagangannya di atas tampah? Ingat artis cilik Atik Pasono (di manakah dia sekarang)? Selain Rano Karno, ada pula sejumlah nama yang masih tersua sampai sekarang: Tutie Kirana (muncul di Ca-Bau-Kan), Netty Herawati (kadang-kadang nongol sebagai Bu RT di Bajaj Bajuri), dan Emak-nya Oneng saat masih belia, siapa lagi kalau bukan Nani Widjaya. Sjuman Djaya sendiri bukan cuma sibuk sebagai sutradara dan penulis skenario, namun bermain pula sebagai paman si Doel. Maka, senyum ini mengembang saat Si Doel melengking menembang (yang nyanyi: The Kids; penata musiknya: Isbandi): Anak Betawi, ketinggalan jaman, katenye....

Karena telanjur lebih kenal dengan sinetronnya, godaan untuk mencari kesejajaran lalu tak terelakkan. Yang paling mirip tidak lain adalah sosok rumah keluarga Si Doel. Tokoh-tokoh yang kita akrabi di sinetron tidak nongol di sini. Tidak ada Zaenab atau Sarah. Si Doel anak tunggal, atau bisa juga dibilang: Atun belum lahir. Ada seorang paman, yang memainkan peran penting dalam hidup Si Doel, namun namanya bukan Mandra. Dan, yang paling menyedihkan, aduh, ternyata (sori, bocoran) Babenya Si Doel di pertengahan cerita tewas gara-gara kecelakaan.

Seperti kebanyakan film-film Indonesia, tokoh-tokoh dalam Si Doel Anak Betawi adalah tokoh-tokoh yang sudah "jadi". Artinya, sepanjang film berlangsung mereka tidak mengalami pergulatan atau perubahan watak; mereka hanya mengalami perubahan nasib. Peristiwa-peristiwa yang mereka alami bukan berfungsi untuk menggarisbawahi pergumulan kejiwaan masing-masing tokoh secara pribadi, melainkan sebagai cerminan realitas sosial yang mengelilingi mereka. Dan justru di sinilah film ini memberikan sumbangan berharga: Sjuman Djaya berhasil memotret geliat masyarakat Betawi di ambang perubahan, menuju era "modern", seperti terlontar dari bibir ibu guru pada akhir film.

Sebagai potret sosial, film anak-anak ini jadi lumayan berat. Meskipun ada nyanyian, permainan dan perkelahian (adegannya lebih asyik daripada perkelahian di Mengejar Matahari) khas anak-anak, Si Doel juga "dipaksa" untuk memahami dunia orang dewasa yang mengepungnya. Bayangkan. Si kecil Doel sudah harus menguping dan bertabrakan dengan isu-isu seperti ketidaksenangan mertua terhadap menantunya, sulitnya akses pendidikan (hm, kondisi sekarang kok masih sami mawon, ya? Padahal, setting film ini jaman Londo, lho!), kematian, menyelamatkan ibu dari incaran duda gatal (si duda-cerai ini tak muncul di layar), dan sebuah adat yang, syukurlah, menjadi semacam jaringan pengaman sosial bagi dia dan ibunya. Duh, beratnya bebanmu, Doel!

Dan, seberat itukah beban melestarikan film-film bagus Indonesia? *** (13/05/2005)

SI DOEL ANAK BETAWI. Sutradara & Skenario: Sjuman Djaya, berdasarkan novel Aman Dt. Madjoindo. Pemain: Rano Karno, Tutie Kirana, Benyamin S, Fifie Young, Soekarno M. Noer, Netty Herawaty, Darussalam, Nani Widjaya, Sjuman Djaya. Asal/Tahun: Indonesia, 1972.

Home | Film | Email

© 2005 Denmas Marto