ISI
Salam
Kuliah
Buku
Esai
Cerpen
Makalah
Berita

Links

 

Media

Pengajaran Sastra

 

CERITA PENDEK

Baby Blues

Cerpen Sainul Hermawan

 

Akhirnya Angga kembali lagi ke kota bunga tanpa sebuah rencana mau apa di sana. Keinginanya saat ini hanya satu: menjauhi gaduh yang menuduhnya sakit jiwa. Sendiri sejenak dia berdiri di ruang tamu kontrakannya. Ruang yang mulai kosong dari deretan buku. Ruang yang telah mengantar keempat kakaknya dan adik bungsunya menjadi sarjana. Sarjana. Bibirnya berat melafalkannya. Sarjana. Dia mengulanginya lalu berfikir: mengapa tak mudah kuraih? Ah, sarjana.

Dia kemudian mengabaikan kata itu, masuk kamar setelah menyalakan TV hitam putih di saluran tak beriklan dan penuh bintik-bintik elektron. Suaranya tak cukup mampu mengusir kata sarjana di kepalanya, entah di mana. Dia selalu perlu menyetel radio untuk menambah meriah suasana. Barulah dia memutar roda dengan tambang penarik timba, sampai tercipta paduan suara TV, radio, dan kerekan sumur. Musik latar untuk setiap galau batinnya. Kadang dia sampai lupa kalau air bak mandi itu meluap. Di rumah ini kerekan, tambang, dan timba abadi. Mereka tak perlu reformasi.

Orkestrasi bunyi-bunyi itu membuatnya tak mendengar dengan jelas ketukan pintu seorang tamu. Seorang kawan yang sudah paham kalau harus menunggu dia menyelesaikan mandinya, dan mencegatnya pada saat dia melintas menuju kamarnya.

“Assalamu’alaikum,….”.

“Kum salam. Eh, Mir masuk. Nggak dikunci, kok,” dia langsung masuk kamar. Amir tak berhasil membuka pintu sampai dia datang membukanya.

“Masuk. Sudah lama di sini?”.

“Aku nggak pulang. Teman kosan belum ada yang balik. Jadi aku tak punya teman ngobrol. Untung kamu datang.”.

“Aku baru saja tiba. Gimana, nanti malam nginap sini, ya? Toh, di kosan kamu sendirian.”.

“Gantianlah, sekali-kali kamu temani aku di kosan. Masa aku terus yang bermalam di sini.”.

“Aku bisa, tapi tidak untuk malam ini.”.

Amir sepakat. Seperti biasa, dia lebih suka tidur di ruang tamu, sambil memelototi TV sampai acara paling akhir. Angga, karena lelah, telah pulas lebih awal. Sampai jam satu dini hari, Amir susah tidur. Kantuknya tak jadi datang ketika TV itu padam seketika. Sayup-sayup dari lantai beralas karpet yang dia tiduri, terdengar tangis bayi. Amir berusaha mengusir suara itu dengan nalar: ah, paling-paling bayi tetangga. Udara malam memang gampang mengantarkan suara tetangga yang jauh sekalipun.

Tapi dia masih belum bisa lelap sempurna. Ketika kantuk menyelinap ke kelopak matanya, dia melihat darah. Darah segar menggenang di hadapannya. Pelan-pelan bergerak ke arahnya, seakan ingin menenggelamkan Amir. Hah!

Keringat tak pantas membanjiri sekujur tubuh Amir, sebab malam di kota ini tak pernah panas. Dia terbelalak. Angga sudah duduk di depannya, nonton berita TV paling pagi. Amir masih malas duduk dan tetap berbaring.

“Ngga,” katanya. Yang dipanggil cuma mengernyitkan dahi dan bertanya dengan kata apa.

“Kamu yang nyalakan TV?”.

“Kamu lupa matikan. TV-nya hidup semaleman. Suaranya sampai ke kamarku. Makanya aku bangun lebih pagi.”.

Angga cuma bengong. Dia bercerita tentang darah. Keesokan malamnya Amir tidak mau lagi diajak Angga bermalam dikontrakannya. Jam dua dini hari, tangis bayi itu terdengar di telinga Angga. Dia mencoba menyikapinya seperti Amir. Tetapi gagal setelah darah yang sama jatuh setetes, dua tetes, sampai seperti gerimis dari langit-langit kamarnya. Akhirnya dia bangun dan melihat jam weker di pojok kamar: jam dua?

Bagi Angga mimpi buruk tengah malam bukan mimpi main-main. Dia bangun untuk ber-wudhu lalu sholat. Guru spiritualnya seakan hadir setelah hitungan zikirnya mencapai hitungan seratus, lalu lenyap bersama suara: bacalah dinding yang tak pernah bicara …. bacalah dinding …. tak pernah bicara. Angga berhenti membaca mantra. Tangis bayi terdengar lagi. Tak jelas dari arah mana, tapi seperti dekat sekali. Rambut-rambut halus di lehernya mulai berdiri. Perasaan takut mau menahan langkahnya untuk mencari sumber suara itu. Tapi bukan kebiasaan Angga berhenti sebelum ketemu dengan yang dicari.

Dia masuk kamar Anggi, kamar adiknya. Adik yang mendahuluinya menjadi sarjana. Tangis bayi itu berhenti. Tak terdengar lagi. Tapi tangis itu terdengar lagi jika Angga berdiri di ruang tamu dan kamarnya. Bulu kaki Angga ikut-ikutan berdiri. Tangis bayi itu nyata. Dia bergumam sendiri. Tangis bayi itu pergi bersama adzan subuh.

* * *

 

Pagi-pagi Angga pergi ke wartel, sebelum pulsa bertarif ganda. Dia menghubungi rumahnya di seberang pelabuhan Tanjung Perak. Maksudnya ingin bicara dengan adiknya, tapi sial, yang menyambut bapaknya. Satu-satunya suara yang menurutnya paling bising di dunia. Sebelum gagang itu pindah ke tangan Anggi, Angga menerima serangkaian pertanyaan interogasi bapaknya yang selalu dijawabnya dengan kebohongan: sudah mengisi KRS, SPP-nya sudah dibayar, sudah daftar ulang, kapan ikut KKN, dan lain-lain. Jawabannya selalu mantap. Tapi bohong!

“Ada apa Ngga?” suara Anggi menyapa.

“Malam ini aku diganggu, Nggi.”.

Angga menceritakan kejadian dini hari ini dengan rinci. Adiknya Cuma diam. Di ujung percakapan dia menjanjikan jawaban.

“Aku nggak bisa cerita sekarang, Ngga. Minggu aku ke sana untuk melegalisir ijasah. Nanti aku ceritakan semuanya.”.

Telepon putus. Seperti diputus gangguan yang sering dibuat-buat Telkom. Padahal Angga menyengajanya. Dia tak kuasa menahan amarah, karena selama Anggi sekontrakan dengannya diam-diam menyimpan rahasia. Rahasia misteri ngeri: tangis bayi.

Setiap tengah malam selama menunggu Anggi datang, tangis itu semakin akrab di telinga Angga. Dia tak lagi ingin mencari sumber suara itu, meskipun dia tahu suara itu ada di rumah ini. Sambil berbaring Angga selalu berdoa agar arwah bayi itu damai di alamnya. Tapi, suara itu terus hadir tepat waktu. Sampai-sampai Angga bertanya pada dinding yang tak mau bicara, apa yang diinginkan suara itu darinya.

“Bicaralah dengan bayi itu!”.

Angga terperanjat, bangkit dari dipan kayu, menjauhi dinding di sampingnya.

“Kau, dinding, kau yang ngomong itu? Sungguh?” Mata Angga melebar. Keringat dingin mulai terasa mengalir di lehernya.

“Ajaklah bayi itu bicara!”.

Tidak. Tidak …. Ti…. Dia keluar, tak peduli jam dua dini hari. Pergi ke kosan Amir. Di sana mereka membagi cerita yang sama, tangis bayi dan darah. Angga tak berani lagi tidur sendiri di rumah kontrakannya. Secarik pesan ditempatkan agak tinggi di pintu utama: “Untuk sementara aku ngungsi ke kosan Amir…. Angga.”

Pada malam yang dijanjikan, Anggi tiba. Angga kembali berani kembali, setelah dapat kabar dari Amir kalau adiknya menunggu di depan pintu kontrakan. Anggi tak diberi kesempatan untuk cuci muka dulu. Dia langsung didaulat membuka rahasia itu. Si bungsu sedikit bingung harus mulai dari mana. Dia memulai kisah dengan kata maaf.

* * *

 

Di ruang tamu ini, di mana sekarang kakak beradik itu berbincang, Ferda dan Anton, setahun tahun yang lalu, mulai saling mengenal. Mereka sama-sama lupa kapan tepatnya. Ferda teman Anggi, Anton teman Angga. Tak lebih dari seminggu mereka telah menyatakan sebagai sepasang kekasih. Sangat instan. Seperti proses memasak mie kesukaan mereka.

“Kak Angga masih ingat kan, kepada siapa kita nitip kunci kontrakan kita ketika kita harus sama-sama pulang karena penyakit bapak kambuh?”

Yang ditanya cuma diam. Cuma memberi tanda dengan sedikit bahasa tubuhnya, dari raut wajahnya, untuk melanjutkan cerita. Kesempatan itu mereka pakai dengan baik. Mereka menyewa VCD dan nonton film biru berdua di kamar Anggi. Ferda tak tahan ingin mencoba satu pose. Setelah itu malam meremang. Mereka tak ingat apa-apa lagi dan entah telah berapa kali pose demi pose dicoba. Dan tidak selalu di kamar Anggi. Kota bunga memberi lahan subur bagi benih-benih untuk bersemi. Bahkan pada musim kemarau sekalipun.

Badai kecemasan berguncang dari rahin Ferda. Tiga bulan sudah dia telat mendapat giliran musim gugur kesuburan. Naluri keibuan pelan-pelan tumbuh. Tapi Anton berusaha meyakinkan betapa susahnya masa depan dengan satu anak, sementara negeri ini penuh ketakpastian. Seperti musim yang serba ekstrem.

Ferda lunglai. Dia terbius. Dia mencari segala jenis bius untuk benihnya.

Tak lama kemudian, dia datang dengan wajah bimbang. Akhirnya dia tahu, Anton sebenarnya tidak mencintainya. Dia tidak pernah kembali. Dia memilih berhenti kuliah. Kedua orang tuanya juga kebingungan. Entah dia melancong ke mana.

Pada hari yang sama, pada posisi matahari yang lebih tinggi, sungguh aku kaget. Dia setengah berteriak memanggil namaku dari kamar mandi.

“Anggi …. Nggi …. To… tolong, a… apa ini….” 

Kukira sejuta kecoak sedang mengerubungi kakinya. Kuminta dia buka pintu, tapi tak dilakukannya segera. Dia terus menjerit seperti anak kecil minta digendong. Untung aku ingat. Grendel pintu kamar mandi itu tidak terlalu baik lagi mengunci pintu. Dengan dobrakan pelan saja pintu itu terkuak dan,… Aku tak kuat melihat segumpal darah berayun-ayun di bawah kelaminnya.

Aku tak segera melakukan apa-apa sampai dia meminta dengan agak membentak untuk menariknya. Aku tidak bisa. Dengan was-was kulakukan juga. Dan.…

“Kenapa kamu nangis?”  tegur Angga sinis.

“Aku tidak bersalah kan, kak?”.

Yang ditanya cuma diam. Sebentar-sebentar mengalihkan pandangan ke arah lain. Seperti membuang gelagat amarah yang tertahan.

Gumpalan  itu tak mampu kutahan dengan segala kekuatan tangan kiriku. Ia begitu licin. Lalu,… plung …. dlep …. Ia seperti lari terburu-buru masuk lobang kakus. Kami tak mampu mengejarnya. Ferda menyiramnya dengan bertimba-timba air, sambil menangis kupeluk dia. Dia terus terisak memintaku merahasiakan semua itu kepada siapa saja. Akhirnya aku juga tak bisa. Ya, rahasia itu telah berbicara sendiri dalam mimpi kak Angga.

Angga pergi setelah cerita adiknya usai. Dia pergi ke wartel. Dia tahu di mana Ferda berada. Sepuluh digit angka dalam beberapa detik menghubungkannya dengan suara yang sangat dikenalnya.

“Apa kabar, Fer?”

“Eh, Angga. Hampir setahun ya kita pisah. Tapi suara kita sama-sama belum berubah. Gimana kabar Anggi? Kamu lagi nelpon sama dia, kan? Kasih dong sebentar, aku ingin dengar suaranya.”

“Dia cuma titip salam buat kamu.”

Sesaat ada jeda. Seperti sama-sama sedang mencari kata-kata: bagaimana percakapan selanjutnya?

“Pasti ada yang penting, nih?”.

Angga masih diam. Deru angin elektron dalam kabel-kabel gagang telepon di telinganya menderu bagai badai.

“Angga, kamu masih di situ?”.

“I… I… ya… aku masih.…”

“Ada apa?”

“Aku cuma ingin tanya, em …?”

Ferda memberikan kesempatan. Dia mencoba tidak bertanya.

“Aku… eh… begini: jika kelak kami dikarunia anak, ingin kamu beri nama apa?”

“Aku belum tahu”.

“Coba bayangkan, sekarang, saat ini, sekali lagi sekarang, dalam pikiranmu, kamu sedang membayangkan anak perempuan atau laki-laki?”

“Sebentar, ya?”

“Jangan lama-lama.”

“Perempuan!”.

“Aku punya tiga opsi. Coba kamu pilih nama mana yang paling kamu suka: Baby Sylvia, Baby Blues, atau Baby Jean.”

“Aku suka yang nge-blues!”

Ferda tertawa. Angga tersenyum. Lalu Angga menutup telepon itu dengan kata yang kelak membuat Ferda kadang-kadang menangis tanpa alasan yang dapat diketahui banyak orang.

“Dah, mama Baby Blues. Selamat bersenang-senang!”

Ferda kaget. Kenapa Angga memanggilnya mama. Dia yakin rahasianya telah terungkap. Dia minta kejelasan pada Anggi. Anggi semakin heran dan mengiranya ketika dia memanggil sebuah nama sebelum dia menutup telepon: Baby Blues … oh … Baby Blues, maafkan mamamu.

Sejak itu tangis bayi tak terdengar lagi. Kakus kontrakan itu telah menjadi kubur. Hanya orang-orang yang tak pernah tahu kisahnya yang berani berak dan kencing di atasnya.

* * *

 

Angga pindah dari rumah itu. Dia memilih kos di tempat Amir. Suatu malam dia mencret setelah jor-joran menyantap jagung di Batu dari petang sampai jam sembilan malam. Mencret tengah malam memang melegakan. Tak ada perasaan was-was akan kemungkinan tersebarnya rahasia aroma kotoran kita. Tetapi tidak untuk malam itu. Angga teriak histeris ketika pantatnya terasa disentuh tangan bayi yang dingin. Sembilan belas temannya terbangun. Mereka mengedor-gedor pintu, tapi Angga tak mau membukanya. Ketika ditanya ada apa, Angga cuma minta maaf kalau cirit-cit mencretnya terlalu keras.

 

Karangwuni, Jogja, 11 Maret 2002