Mencari
Timur
Cerpen Sainul Hermawan
Dicari:
Telah meninggalkan rumah pada hari Minggu, 5 Juni 2005, seorang
gadis berusia 29 tahun, rambut hitam ikal. Tinggi sekitar 170
cm, kulit kuning langsat, muka oval, hidung mancung, alis tebal,
bibir tipis, berlesung pipi, bertahi lalat di dagu bagian kanan,
berleher jenjang, suka pakai jaket dan celana jeans. Bagi yang
menemukan harap hubungi telepon/fax 0511- 3256446, ponsel
08175409395, email: fauji@yahoo.com. Kami atas nama keluarga
yang merasa sangat kehilangan menyediakan imbalan yang layak.
Terima kasih.
Mustaqimah
tersenyum membaca iklan tentang dirinya di harian nasional itu.
Dia yakin tak akan ada orang yang akan mengenali dirinya di
tempat persembunyian. Apalagi dia telah mengubah penampilan.
Iklan itu hanya dapat menggambarkan sebagian tentang dirinya.
Kini
dia tak lagi suka pakai busana jeans. Dia kini dia suka rok mini
dan t-shirt casual dari bahan katun. Rambutnya tak lagi
ikal dan hitam legam karena telah tersentuh rebonding dan
semir pirang. Sorot matanya tak lagi tajam. Sorot yang dulu
tajam kini diredupkan oleh soft-lenses beragam warna.
Hari ini bisa coklat, esok hijau, dan lusa mungkin biru. Bahkan
tahi lalatnya sudah diangkat dengan operasi kecil meski dia tak
bisa menimbun lesung pipinya apalagi sampai nekad memperpendek
lehernya.
Melakukan
semua ini bukan sesuatu yang sulit baginya karena bunga tabungan
pribadi yang diberikan orang tuanya setiap bulan hampir mencapai
Rp 25 juta. Dalam hidupnya segala keinginan dapat dia penuhi
kecuali satu hal: bahagia. Dia dibebaskan memilih kesenangannya
kecuali dua hal: jodoh dan mati. Yang pertama wewenang ayahnya,
yang kedua bagian Tuhan.
Ayahnya
telah mempersiapkan calon suami yang pantas melalui mekanisme
seleksi warisan leluhur yang disebut jujuran. Ayahnya
adalah orang yang yang tak percaya pada cinta. Imus harus
menikah dengan calon suami pilihan ayahnya, meski dia tak cinta,
karena cinta, bagi ayahnya, hanyalah ilusi. Sebab, ketika Imus
harus menikah dengan siapa saja dalam budayanya, penghulu pasti
bertanya apa dan berapa maskawinnya. Cinta itu apa? Mungkin
sampah. Residu pelamun dari abad-abad pujangga.
Imus
harus menikah dengan pilihan ayahnya karena ayahnya yakin
kekayaan keluarganya dapat dilanggengkan lewat jalur perkawinan.
Kawin dengan orang yang tidak sederajat hanya akan membuat hidup
melarat, sekarat. Pikiran semacam itu sebagian masih bersemayam
di dalam diri Imus. Ia pernah mengiyakan, tetapi dia telah
terlanjur memilih jalan lain: melarikan diri.
***
“Ka
Imus, umpati haja kahandak
Abah. Itu hagan kabahagiaan Kaka jua?”
“Ding,
bahagia itu tidak sederhana.”
“Benar
kalu kalau Abah menghargai derajat Ka
Imus dengan jujuran nang
larang karena di sini bibinian
berharga dan pria harus perkasa dalam segalanya, termasuk
ekonominya, bukan hanya pada alat kelaminnya?”
“Itu
bagi mereka, dan mungkin juga bagi ikam.
Apakah aku tak boleh berbeda karena aku hanya merasa itu
akal-akalan orang-orang yang merasa sudah tuha?”
“Ading
balum paham, Ka ai.”
“Pada
saatnya kamu akan mengerti kalau kamu mau buka diri pada
kenyataan-kenyataan baru di luar tempurung kita.”
“Ini
kabiasaan matan bahari, Ka
ai. Bubuhan kita kawa sanang samuaan karana kaya itu.”
“Tidak,
Ding. Kita pura-pura bahagia banarai.
Kaka mau merasakan empedu kebahagiaan semu itu meski mungkin bagi
orang lain ini sudah bukan soal baru.”
“Kanapa
Ka Pian pina aneh banar?”
***
Aku
masih balum kalumpanan lawan pamandiran kita tarakhir, Ding ai.
Aku kaganangan banar ikam. Jangan ditampai akan surat ini lawan
siapa haja, apalagi Mama. Aku kada handak maulah Sidin makin
marista. Kukirim ka sakulahan Ikam haja. Mudahan sampai. Ikam
masih sakulah di SMA 2 kalu? Mun sudah dibaca, buang haja
suratnya atawa banam atau dicarik. Kada papa. Kaka basimpan di
wadah nang aman. Kaka wayah ini kaya burung saka handak hinggap,
tapi kada tahu di mana
sarang, tapi masih ingat ampah bulik. Jadi kada usah mancari
alamat nang ada di amplok ini, sabab sabujurnya surat ini Kaka
kutilis matan surga. .
Sayang
selalu.
Ka
Imus
Sayang
aku tak bisa membalas suratnya untuk mengabarkan, entah suka
atau duka. Aku harus menggantikan posisinya sebagai calon istri
bagi lelaki yang setahun lalu adalah calon suaminya. Aku iba
melihat Abah dan Mama
murung hampir sepanjang tahun karena malu. Mungkin juga terlalu
sedih karena anak sulungnya lenyap.
Sejak
keinginannya kuiyakan, wajahnya tak lagi mendung. Kupastikan
agar lelaki itu menunggu sekolahku selesai. Dia mau. Bahkan dia
mendorongku untuk melanjutkan kuliah di universitas terbaik di
mana saja aku mau. Dia mau menanggung biayanya. Betapa baiknya.
Dia
calon orang penting di banua
ini. Dia ingin calon istri yang sederajat. Bukan hanya anak
orang kaya, tetapi yang lebih penting sang calon itu harus mau
cerdas. Setidaknya dapat diandalkan untuk menghadapi diplomasi
mulai dari tingkat RT sampai internasional. Terutama dia sangat
mengharapkan aku mampu menghadapi pertanyaan-pertanyaan bodoh
para wartawan.
Sayang
aku tak bisa mengirimkan MMS lagi kepada Ka
Imus agar dia tahu bahwa calon suamiku, yang setahun lalu calon
suaminya, tak seburuk yang dibayangkannya. Ka
Imus terlalu percaya pada pikiran-pikiran baru dari sumber
bacaan yang dipinjamnya dari dosen sastranya. Dia jadi terlalu
percaya pada cinta klasik.
Ya,
cinta klasik. Cinta yang diyakininya harus murni tumbuh dari
lubuk hati terdalam. Cinta yang harus dilukis oleh maestro
pada kanvas yang masih baru dengan semangat mencipta yang
menggetarkan. Cinta yang dilantunkan pujangga yang mengasingkan
diri dari kebisingan dunia. Bukan cinta pada lagu-lagu dangdut
atau tembang pop yang segera layu setelah ada lagu yang lebih
baru.
Cinta
semacam itu, bagi ayah, menyesatkan. Virus borjuis yang
disuntikkan kepada proletar agar lupa pada kenyataan hidupnya.
Itu aku tahu dari percekcokan terakhir antara Abah dan Ka
Imus.
“Cinta
seperti apa yang Ikam cari?” Baru kali itu aku melihat
wajah Abah begitu merah dan matanya seakan menyala.
“Bagi
Imus itu telalu cepat, Bah. Dia belum kenal Imus, apalagi Imus,
meski dia calon pejabat penting.” Meski dia membantah, Ka
Imus tak mau menatap wajah Abah.
“Sambil
jalan kan kalian bisa saling menjajaki, saling mengenal dalam
ikatan pernikahan. Itu lebih baik daripada saling mengenal dalam
ikatan pacaran yang kabur, ngawur, menjijikkan.”
“Dengan
segala risikonya?”
“Maksudmu?”
“Imus
harus terpaksa menerimanya meski akhirnya Imus tahu dia telah
tidur dengan banyak perempuan sebelumnya dan mungkin saat ini?
Dan apakah dia juga mau terpaksa menerima Imus kalau akhirnya
dia tahu bahwa Imus sedang pacaran dengan banyak pria?”
Ka
Imus tetap bertahan di tempatnya. Abah pergi memenuhi janji
dengan rekanannya di luar banua. Mama
tak mau mendekat. Percuma mendekati Ka
Imus dalam suasana hati seperti itu. Mama
juga tak tahu kemana pastinya Abah pergi. Kata tetangga yang
pernah menjumpai Abah, Abah pergi ke negeri di mana bule-bule
tergila-gila pada mataharinya yang akan terbit dan terbenam.
Yang Mama tahu dengan
pasti adalah Abah selalu datang dengan membawa uang yang
berlimpah dan cerita bahwa kekayaannya bertambah lagi saat itu.
Aku
baru sadar ketika Ka
Imus telah pergi. Ternyata bisikan pelannya di telinga kiriku
malam itu adalah isyarat: akan kuselesaikan persoalan ini dengan
caraku.
***
<imus>
namaku imus
<imus>
aku datang dari negeri tanpa selokan
<imus>
dulu negeri seribu sungai
<imus>
kini negeri seribu jamban
Lincah
sepuluh jarinya bersemangat menari di atas tuts-tuts
papan ketik di Warnet Melasti Kuta. Dia sedang melakukan
provokasi di channel Denpasar. Jemari itu seperti
mewakili hatinya yang rindu pada sesuatu yang hilang.
<izul>
Itu negeriku juga, kenalan dong
<izul>
asl plis
<imus>
kamu?
<izul>
30, m, kuta
<imus>
29, f, kuta
<imus>
mau apa?
Di
tempat lain, lelaki di ruang manajer hotel berbintang mulai
mengira inilah perempuan yang dia inginkan. Perempuan yang
berkata-kata tiga kali lebih banyak daripada dirinya. Keinginan
yang kandas setahun silam dan masih diperam bersama dendam
sampai saat itu.
<imus>
aku mencari lelaki yang percaya
<imus>
bahwa cinta itu masih ada
<imus>
cinta yang berani berkata tidak pada
<imus>
harta!
<izul>
mungkin bukan aku
<izul>
bolehkan aku mencoba?
<imus>
aku serius
<imus>
ini emailku imus@yahoo.com
<izul>
telah kukirim keinginanku
<izul>
ke emailmu, semenit yang lalu
***
Date:Tue,
09 Jun 2006 19:03:54
From:
"Jazuli" <izul@yahoo.com>
Subject:
menikahlah denganku
To:
imus@yahoo.com
Jazuli
namaku. Aku lahir dari ibu yang tak pernah lama berkumpul dengan
suaminya karena dia telah merelakan dirinya jadi istri yang
entah ke berapa. Suaminya, mungkin juga ayahku, selalu datang
menjelang subuh dari negeri seribu singai ke negeri seribu pura
untuk menemukan impian yang lain. Mungkin cinta. Mungkin pula
tinja. Pernah aku beberapa saat ke negerinya, tanpa
sepengetahuan keluarganya, dan aku jatuh cinta pada sekuntum
bunga nang bungas. Tapi kandas. Aku tak sanggup penuhi jujuran.
Rindu itu kupendam, kuperam, untah untuk siapa yang akan datang
dari negeri yang sama, dengan kekhasan yang sulit kulupakan.
Tapi aku bukan sang aloerotis. Meski ayahku orang kaya, aku tak
mau merepotkannya untuk soal ini karena ibuku hanya istrinya
yang kesekian, persinggahan bagi kesepian batin pejantan yang
rapuh. Aku kini salah
satu manajer hotel berbintang di Nusa Dua. Sebenarnya bisa saja
nikah dengan siapa saja. Tetapi aku terlanjur percaya pada cinta,
sesuatu yang kukenal bukan lantaran aku jebolan sastra udayana.
Sayang dia telah memilih orang lain. Siapakah yang akan datang
sebagai dirinya yang lain, seperti pertama kali hati ini
digetarkan. Kamukah?
Izul
Dalam
attachment dia menyelipkan foto. Imus langsung mendowloadnya
ke flashdisk. Cakep
sekali orang ini. Banjar banget!
Dia berbisik kepada batinnya sendiri. Sambil membaca email dalam
jendela yang kecil di monitor komputer, di jendela mIRC dia
dapat membaca ekspresi Izul yang gelisah dan berteriak, takut
ditinggalkan. Imus tersenyum.
<imus>
aku masih di sini
<imus>
lagi baca emailmu
<imus>
kayaknya kita harus ketemu
<izul>
malam ini?
<imus>
besok sore
<izul>
dmn?
<imus>
kuta square
<izul>
dmn?
<imus>
coffee shop
<izul>
bukankah kamu perempuan?
<imus>
bukankah kamu laki-laki?
<izul>
maksudnya?
<imus>
kamu duluan di sana
<imus>
pakai busana seperti di fotomu
<imus>
hanya dengan cara itu
<imus>
aku bisa mengenalmu
<izul>
jam?
<imus>
kamu manajer
<imus>
kamu yang atur
<izul>
3 sore wita
<izul>
wita bali bukan wita banjar
<izul>
ok?
<imus>
ok, bye.
***
Dia
adalah orang kita yang lain di tengah para bule yang angkuh:
seorang manajer, bukan pengasong yang berjualan dengan gaya
preman dan pengemis. Dia begitu elegan. Dia tak tahu aku telah
datang lebih awal ke toko di seberang coffee
shop itu. Aku menyeberang, dia tampak tak menggubris. Begitu
tiba waktunya, kuhampiri ia. Dia seperti tercekat.
“Saya
Imus. Perempuan yang kamu tunggu.”
Dia
melongo. Kali ini dia layak dipecat sebagai manajer hotel
berbintang. Dia kehilangan dimensi soknya sebagai orang penting.
“Kenapa?
Ada setan?”
“Sejak
kapan Barat masuk Banjar?”
“Sejak
tinja lebih berharga daripada hutan, permata, dan batu bara.”
Rupanya,
di matanya, aku lebih Barat daripada orang Barat bahkan lebih
Barat lagi daripada orang-orang Banjarmasin Barat.
“Tinggal
di mana?”
“Di
hotel ini.” Aku tunjukkan tas souvenir berlogo hotel
berbintang.
“Itu
hotelku. Kamar berapa?”
“103.
Lantai dua. Agar aku bisa leluasa memandang sun raise.”
“Kenapa
jauh-jauh kita ketemu di sini. Di hotelku kamu bisa merasakan
masakan koki-koki hotelku.”
“Di
bawah kekuasaanmu?”
Dia
diam.
“Ini
tempat netral, meski aku yang harus bayar karena ini pilihanku.”
“Ikam
begitu serius.”
“Bukankah
ikam manajer?”
Dia
tertawa. Aku tersenyum. Kami ngobrol sampai pagi. Hanyut terbawa
menyusuri night-life Bali sampai pagi. Sampai kami masuk
angin dan dia ambil cuti beberapa hari. Kami pelesir menyusuri
banjar-banjar pinggiran yang tenang, menghirup wewangian pulau
dewa. Sampai akhirnya dia menyatakan keputusannya. Dia
mengajakku menikah. Dia bilang tak perlu melamarku sebagai anak
dari keluarga Banjar. Dia ingin melamarku sebagai perempuan
dewasa yang matang di pelarian. Dia bilang ingin melamarku
kepada angin semata dengan maskawin yang tak kasat mata: cinta.
Tetapi kubilang aku tak dilahirkan oleh batu. Orang tuaku harus
tahu. Dia setuju.
***
Seminggu
lagi Imus akan menikah di hotel Izul. Seminggu sebelumnya Imus
mengabari orang tuanya. Adik dan ibunya terharu, menahan tangis,
dan rindu mereka belum layu. Dia hanya memberi tahu siapa
calonnya dan di mana pestanya akan berlangsung. Ayahnya gelisah.
Imus memberikan nomor ponsel barunya yang selama ini dia
rahasiakan. Ayah mengirimkan MMS buatnya, menanyakan seperti apa
calon menantunya. Imus mengirimkan foto Izul yang telah disimpan
dalam folder ponselnya. Abahnya tercekat. Jantungnya berdegub aneh, tetapi
dia tak menceritakan sebabnya kepada siapa saja. Dia sangat
kenal dengan lelaki calon menantunya itu: wajah yang sangat
akrab sekaligus jauh.
Tiga
hari menjelang 9 Juli 2006 kedua calon pengantin itu
mengasingkan diri. Imus tak lagi tinggal di hotel Izul. Dia
menyewa cottage kecil
di sekitar Pantai Benoa. Sampai waktunya tiba, Imus tak muncul.
Izul tak berani tampil ke pelaminan yang telah disiapkan.
Diutuslah beberapa panitia untuk menjemputnya. Mereka
tak melihat tanda-tanda kehidupan di cottage
itu. Mereka masuk. Kosong. Mereka menemukan ponsel Imus dalam
posisi baru saja menerima MMS. Ada suara abahnya yang marah dan
foto Izul di dalamnya. Mereka tak berani mengutak-atik posisinya,
hanya mengambil dan menyerahkan kepada Izul.
Izul
langsung mengomando seksi acara untuk merancang acara spontan
agar para undangan tak gelisah. Pada saat para undangan harus
pulang, mereka berdecak kagum dengan atraksi yang disajikan dan
memaklumi permohonan maaf panitia ynag menyatakan kalau mereka
salah menulis undangan. Panitia meralat, sebenarnya pada bagian
acara di surat undangan itu seharusnya tertulis: pemanasan
resepsi pernikahan yang akan dilaksanakan pada waktu yang belum
ditentukan.
Izul
tertegun. Dia terus menyimak suara ayah Imus yang memohon agar
dia memikirkan rencana pernikahannya karena Izul itu adalah
kakaknya dari spermatozoa yang sama tetapi dari ovum yang
berbeda. Meski Izul telah lama tak percaya bahwa ayah Imus juga
ayahnya, Imus yakin Izul adalah anak ayahnya juga.
Di
udara, dalam pesawat yang membawanya ke arah matahari terbenam,
Imus dibuai sebuah tembang dari kelompok musik idamannya. Dia
menghayati lagi perjalanannya yang kembali membentur duri. Dia
sedang mencari timur ke arah yang tak kaprah.
Bila
ada adalah tidak ada
Bila
apa yang kau tahu salah
Bila
apa yang kau dengar bohong
Apakah
langit memang ada di atas kita
Apakah
langit memang biru, biru warnanya?
Apakah
langit memang benar, benar adanya?
Tak
ada kebenaran hakiki
Yang
ada cuma khayal
Kamu
di sana dan akulah milikmu
Banjarmasin,
Juli 2005
Catatan:
Cerpen ini diilhami lagu Nonsense Dewa
19 dan Cerpen Pernikawinan Mustaqimah karya Zulfaisal
Putera.
|