ISI
Salam
Kuliah
Buku
Esai
Cerpen
Makalah
Berita

Links

 
 
 
 

ESAI

Ambiguitas Kritik “Ya” atau “Tidak”

(Menanggapi Kritik Rain Fajar)

Oleh Sainul Hermawan

 

Saya sangat senang sekaligus sedih membaca tanggapan R. Fajar atas penjelasan saya terhadap kritik R. Ayuningrum mengenai inkonsistensi cerpen “MuM”. Senang karena penjelasan itu ada yang membaca, meski mungkin juga banyak yang tak peduli. 

Senang karena pembacaan itu tak hanya berakhir di ujung manggut-manggut pembacanya yang dapat berarti macam-macam (paham, tak paham, salah paham, pura-pura paham, pura-pura tak paham, dan sebagainya).

Senang karena, dengan caranya sendiri, R. Fajar telah berusaha mengajak saya untuk memberikan penjelasan baru bukan atas nama cerpen “MuM” yang bebas dari kepentingan penulisnya, tetapi atas nama penjelasan saya di Radar Banjarmasin (27/05)  tentang cerpen multisudut pandang yang mungkin kurang jelas.

Sedih karena ada nuansa “pemaksaan” terhadap proses kreatif penulis “MuM” yang menyatakan dapat inspirasi dari novel. Pernyataan R. Fajar yang berbunyi: ... saya tidak ingin mempermasalahkan pendapat Martin dan Hill. Akan tetapi yang ingin saya ungkapkan adalah ketidakmengertian saya akan argumen...bahwa penyudutpandangan cerpen “MuM” dipengaruhi oleh novel Saman dan The Collector. Bukankah keduanya adalah novel? Sedangkan MuM adalah cerpen. Saya tahu Saudara Sainul pasti lebih paham perbedaan ruang gerak antara cerpen dan novel  (paragraf ke-5). 

Dalam paragraf itu dan beberapa paragraf yang mengikutinya (6 sampai 8) secara tak langsung R. Fajar telah “memdakwa” penulis “MuM” sebagai penulis yang tidak “taat” asas. Seperti ada suara teriakan yang sangat keras: “Beri batas yang jelas dong, seperti yang telah dilakukan oleh Saman dan cerpen lain yang telah melakukan teknik yang sama, kalau mau ganti sudut pandang biar pembaca Anda tak bingung!”

Mungkin dia pun ingin mengatakan, “karena dimensi ruang novel dan cerpen beda, maka “haram” bagi keduanya untuk saling mengilhami”. Mungkin sebaiknya saya melakukan apa yang Anda sarankan tetapi mungkin juga tidak perlu sebab batas yang tak jelas tersebut sengaja dihadirkan dengan cara demikian dalam cerpen “MuM” sebagai salah satu ruang penandaan yang bebas ditafsirkan dengan cara apapun, termasuk dengan cara Anda.

Kok begitu? Alasannya sederhana: ruang gerak dalam dunia sastra adalah wilayah penciptaan yang dinamis. Setiap karya senantiasa berupaya keluar dari belenggu tradisi. Ruang gerak biasanya disikapi oleh sastrawan bukan sebagai “asas” melainkan “kanvas”.

Soal inspirasi. Kesedihan saya mungkin terobati jika kelak ada dalih-dalih yang lebih mengesankan dan meyakinkan bahwa memang “haram” bagi penyair menulis puisi yang diilhami oleh lagu pop, film porno, atau adegan syur di Pantai Jodoh; atau bahwa memang haram bagi cerpenis menulis cerita yang diilhami oleh puisinya sendiri; atau juga bahwa haram bagi sutradara untuk bikin film yang diilhami oleh puisi, cerpen, atau novel hanya karena alasan ruang gerak yang berbeda.

Sedih, karena penutup tulisan R. Fajar cukup menyulitkan saya. Mengapa? Saya ditanya apakah saya setuju dengan pendapatnya bahwa:  kebenaran absolut ... hanya dapat diperoleh dari Yang Maha Tahu hakikat segala sesuatu, Dialah Allah!... Saudara Sainul, sepakat dengan pernyataan saya?... Dijawabnya di dalam hati saja (paragraf terakhir). Dia hanya menawarkan dua opsi jawaban: ya atau tidak.

Permintaan untuk menjawabnya dalam hati seperti ini sungguh merepotkan. Suruh menjawab tetapi dilarang menjawab. Artinya, dia butuh jawaban sekaligus tak butuh jawaban karena jawaban dalam hati mustahil untuk diketahui sampai jawaban itu dituliskan atau diucapkan.

Saya tak mau menjawabnya dalam hati, dan inilah jawaban saya. Sebagai jawaban, tulisan ini bukan dalam rangka menjawab “ya” atau “tidak” karena hidup juga penuh dengan nilai-nilai “ya” dan “tidak” absolut yang menyesatkan. Apakah memang “haram” kalau tidak menjawab “ya” atau “tidak”? Apakah “ya” pasti berarti “taat” dan “tidak” berarti “maksiat”? Saya kira “ya” juga bisa berarti maksiat dan “tidak” berarti “taat” jika oposisi tersebut tidak semata diletakkan secara sinkronis, horisontal, sintagmatik, dan tekstual.

Secara diakronis, vertikal, paradigmatik, dan kontekstual, Allah dalam imajinasi R. Fajar tak akan pernah sama dengan Allah dalam imajinasi saya. Lagi pula untuk apa sih membawa-bawa nama Tuhan hanya untuk sekedar mendiskusikan ide Plato yang sekuler tentang kebenaran jika ide tentang Allah dalam imajinasi Anda sudah selesai? Anda amini ide Plato tetapi juga menolaknya: ambigu.

Selain itu, tolong sampaikan kepada teman Anda yang muntah-muntah setelah baca “sastra bau”. Ada sistem hubungan yang kurang beres antara teman Anda dan “sastra bau” itu. Ketidakberesan itu tidak hanya ada pada teman Anda dan sastra bau, tetapi pada hubungan antara keduanya.

Kalau kita analogikan dengan mabuk laut, udara atau darat, kita jadi kurang bijaksana kalau kapal, pesawat, atau bis disalahkan hanya karena ada satu atau beberapa orang saja yang mabuk dan muntah-muntah. Cara yang saya kira cukup bijaksana adalah mencari cara bagaimana agar tidak mual menghadapinya, atau menerima “muntah” secara ikhlas sebagai bentuk kesadaran diri pada ketidakmampuan mengatasi persoalan-persoalan psikologis atau etis ketika berhadapan dengan sesuatu yang memuakkan, menjijikkan atau memualkan.

Bisa juga solusinya ikut opsi “ya” dan “tidak” yang Anda tawarkan. Takut mabuk, jangan baca. Siap muntah, baca saja. Tetapi, apakah persoalan sesederhana ini? Rasanya kok tidak. Ada banyak orang yang tidak siap muntah terpaksa harus mual-mual menghadapi hidupnya, demikian juga banyak orang “mabuk” yang tak pernah menyadari dirinya sedang “mabuk” dan “muntah” berkali-kali. Saya mungkin termasuk di dalamnya dan mungkin juga tidak sama sekali.

Terlepas dari rasa senang, sedih, dan mual di atas, saya sangat menghargai upaya R. Fajar yang mau berbagi pengetahuan tentang “sastra bau” yang malah belum sempat saya baca, dan jika kelak saya sempat membacanya, mungkin saya akan “salah baca”. Karena itu, kita selayaknya terus berdialog, bukan bermonolog, dalam rangka saling mengoreksi kesalahan bersama yang mungkin ada.

Sebab, seandainya sejak bumi ini diciptakan tak pernah ada orang salah baca, mungkin kita tak seintim ini dengan “penderitaan” dalam pengertian yang luas. Jadi, gagasan tulisan R. Fajar sesungguhnya juga berada dalam bingkai konsistensi yang inkonsisten atau dalam absolutisme yang absurd. Dan ini sesuatu yang biasa, dan sering kali terjadi, meski kadang kita sulit menyadari karena kesadaran semacam itu justru ditangkap dengan baik frekuensinya oleh orang lain. Apakah ini berharga? Itu bukan wilayah wewenang saya.

           

Meskipun demikian, saya tetap membuka diri bagi kritik-kritik selanjutnya karena saya yakin keterbukaanlah yang akan lebih mendekatkan diri dengan kebenaran. Konon semangat spiritualitas perkotaan juga dibangun dengan prinsip membuka diri seluas-luasnya, seikhlas-ikhlasnya, bagi kehadiran ruh spiritual yang mereka cari. Bahkan, kelak, jika saya sempat menulis cerpen yang lain, warna kritik Anda dapat dilihat, tetapi mungkin juga tidak. Karenanya, terima kasih juga buat “kecerdasan” itu.

 

e-mail: sainulh@yahoo.com