ISI
Salam
Kuliah
Buku
Esai
Cerpen
Makalah
Berita

Links

 

Makalah Mahasiswa

Media

Pengajaran Sastra

 

ESAI

Jungkir Balik Realitas dan Keterbatasan Bahasa

(Memahami Lebih Jauh R. Fajar dan Jamal T, Suryanata)

Oleh Sainul Hermawan

 

Minggu, 4 September 2005, yang lalu adalah hari yang sangat istimewa bagi saya karena saat itu ada dua tulisan berat yang ditujukan untuk saya dalam rangka memikirkan kebenaran. Satu berasal dari Rain Fajar (RF) dan yang lain dari Jamal T. Suryanata (JTS). Keduanya bukan nama sebenarnya. Tulisan ini adalah respons bagi mereka berdua.

 

R. Fajar dan Bahasanya

Terus terang saya tergelitik untuk berbincang lebih jauh ketika Anda menulis begini dalam paragraf menjelang akhir dalam tulisan Anda di Cakrawala (4/9/2005), “…Terkadang tulisan-tulisan Anda memaksa realitas mengikuti teori yang Anda pilih. Padahal seharusnya teori harus sesuai dengan realitas.” Dengan kehadiran kata seharusnya (bukan harus), ada kesan lunak bahwa teori yang tak sesuai realitas tak dapat sepenuhnya disalahkan.

Dalam hal ini Anda terkesan bimbang antara mau sepenuhnya menyalahkan dan mau sepenuhnya membenarkan. Kehadiran seharusnya mengakibatkan komentar Anda bersifat tanggung: liminal lagi, ambigu lagi. Jadi, dalam hal tertentu sikap kita kadang tak jauh beda menyikapi persoalan: tanggung. Secara implisit Anda menyalahkan teori yang tidak sesuai dengan realitas, tetapi apakah Anda benar-benar paham hakikat teori dan realitas?

Saya bertanya begini bukan berarti saya sangat paham, tetapi apa yang saya pahami dengan baik tentang keduanya adalah adanya kenyataan bahwa teori dan realitas begitu berwarna, luas seluas samudera atau padang pasir. Sedangkan realitas dan teori yang sering kita perbincangkan adalah setitik noktah dari jutaan spektrum warna, setetes air dari samudera, dan sebutir pasir dari padang pasir tersebut (Mungkin JTS berkata dalam hati, “Nah ini dia ramuan gembrot yang pas untuk kontes Miss Impian).

Tetapi, kalau saya menyatakan demikian apakah realitas kita memang demikian adanya padahal saya sangat yakin bahwa bahasa, kata-kata, punya kemampuan terbatas untuk menjelaskan realitas. Sikap tanggung adalah sikap yang dapat dimaklumi, wajar, manusiawi karena unsur-unsur di luar diri kita juga tanggung, bahasa tanggung, keyakinan tanggung, pemahaman tanggung, dan sebagainya, dan seterusnya.

Kualitas akhir sikap tanggung itu mungkin ditentukan oleh cara menempatkannya: apakah ia ditempatkan sebagai sesuatu yang berakhir dan mati atau sudah dititiki, atau ia sebagai sesuatu yang terus berproses untuk mencapai derajat ketanggungan yang relatif tidak terlalu tanggung? (berputar-putar begini bukan bermaksud untuk mencari pembenaran, tetapi untuk menjelaskan duduk persoalan bagaimana bahasa yang Anda gunakan untuk menyampaikan gagasan sebenarnya telah memangsa dirinya sendiri. Hal serupa mungkin juga bisa terjadi dengan tulisan ini. Tetapi, saya sudah waspada dan siap menerima bantahan apapun.)

Teori dan realitas adalah dua wilayah yang sebenarnya tak bertepi, tetapi kemudian untuk kepentingan manusia yang serba terbatas keduanya dibatasi, diberi tepi, misalnya dengan menyatakan, “Seharusnya ini begini dan tidak begitu,” meskipun yang begituan alias tidak beginian menjadi realitas kaprah. Jadi, siapa sebenarnya yang memaksa realitas mengikuti teori? Saya, Anda, atau kita?

Ketika Anda menulis tanggapan untuk tulisan saya dan cerpen Tapal Adam apakah Anda tidak berteori? Ketika Anda berteori apakah Anda tak memaksa realitas mengikuti teori Anda? Saya kira tidak, sehingga sebenarnya Anda mengomentari nada tulisan Anda sendiri yang juga cenderung memaksa realitas ikut teori yang Anda pilih. Jadi, Anda tak sepenuhnya mengomentari tulisan saya. Misalnya, pada tulisan Anda yang lalu tentang cerpen Tapal Adam, Anda “memaksa” realitas sastra untuk menyesuaikan diri dengan realitas agama.

Kemudian jika Anda bertanya apakah tulisan Anda menghukumi haram cerpen yang memberi sifat-sifat manusia kepada malaikat yang gaib, memang secara eksplisit tidak, tetapi secara implisit “kesan pengharaman” itu dapat menjadi konklusi yang tak terelakkan. Tetapi kembali lagi pada hakikat bahasa yang terbatas, Anda boleh menyatakan tidak bermaksud demikian tetapi pembaca Anda bukan tak boleh memahaminya dengan cara berbeda.

Semoga dengan penjelasan ini Anda semakin paham dengan pernyataan “kita tak patut menganggap keyakinan diri kita sorangan, sebubuhan, dan sebagainya sebagai keyakinan yang paling benar. Artinya, di samping kebenaran yang kita yakini ada kebenaran lain yang diyakini orang lain yang mungkin juga benar. Meskipun kita tak mau menyakini karena kita setia pada keyakinan yang “asli” (meski juga tak lepas dari spekulasi-spekulasi) kebenaran tetaplah kebenaran. Semua orang berlomba mencapainya dengan caranya masing-masing. Ada yang melakukannya dengan cara introvert, dan ada pula yang mengejarnya dengan cara extrovert. Kubu mana yang paling benar? Kata ustad-ustad TV, “Wallahua’lam bissawab.”

Kalau membaca teladan pertahanan keyakinan yang Anda sebutkan saya dapat berkesimpulan bahwa keyakinan yang paling benar harus dipertahankan dalam rangka menangkal serangan dari luar yang hendak mengikisnya. Ketahanan keyakinan bukan untuk menyerang keyakinan orang lain yang berbeda. Nash-nya jelas, “lakum diinukum waliadiin.(QS. Alkafirun: 6).

Maka setiap apropriasi (merebut makna sesuatu untuk kepentingan sepihak) tentang kebenaran tetap harus diwaspadai. Argumentasi-argumentasi dalam Open Mind ataupun Supernova 3 juga harus diwaspadai karena realitas itu sesungguhnya tak bertepi. Realitas dalam keduanya bukan satu-satunya realitas yang tervalid apalagi dalam memaknai agnostik yang telah banyak bergeser pengertiannya mengikuti sejarah perkembangan maknanya. Apalagi keduanya juga tetap tak lepas dari motivasi politik bahasanya yang dibatasi, membatasi, dan sudah tak asli lagi meski lagaknya saja asli.

Bahkan ketika Divan (sumber yang Anda kutip) menulis, “Jadi, orang agnostis akan mengatakan daripada berspekulasi lebih baik tidak usah berpikir Tuhan itu ada atau tidak, toh keberadaan-Nya tidak memiliki relevansi dengan kehidupan,” ini jelas-jelas interpretasi subyektif yang didasarkan pada salah satu makna agnostik. Kesimpulan sepihak semacam ini pun harus diwaspadai karena mungkin tujuannya tidak untuk menjelaskan makna agnostik secara berimbang, tetapi secara timpang, untuk menghasut kelompok-kelompok manusia yang senang dihasut. Apropriasi semacam ini pun bisa jadi sumber penyebab carut-marut pemahaman istilah agnostik. Tetapi, kita bisa kembali menemukan alasannya yang mendasar: Kata-kata, bahasa, adalah media manusia yang terbatas.

Meski demikian, keseluruhan tulisan Anda menyiratkan keyakinan yang luar biasa pada kemampuan kata-kata untuk memagari perbedaan antara berpikir dan berimajinasi. Secara teoretis berpikir dan berimajinasi memang dapat dibatasi. Buktinya, baca saja buku-buku yang telah Anda sebut, tetapi pada realitasnya berpikir dan berimajinasi nyaris berhimpitan. Ketika saya berpikir, saya berimajinasi  tentang apa yang akan saya katakan, yang saya buktikan (kata imagine dalam American Heritage Dictionary (1997)  juga memiliki sinonim yang banyak mengarah ke aktivitas mental berpikir, seperti  conceptualize, conceive, infer, reason, presume,  speculate, think, calculate, reckon, theorize, hypothesize, presuppose). Dari sisi ini lagi-lagi tampak siapa sebenarnya yang suka memaksa realitas mengikuti teori yang dipilih? Anda, saya, atau kita?

Dalam mengargumentasikan soal nama dengan membawa-bawa pesan Ali bin Abi Talib pun Anda kurang menyadari konsekuensi jungkir balik realitas yang dapat ditimbulkannya. Kalau Anda setuju dengan pernyataan, “Janganlah engkau menilai kebenaran itu dari orangnya, tetapi kenalilah kebenaran itu, maka engkau akan mengenal orang yang mengembannya,” tetapi kenapa harus menyamarkan nama? Kalau nama yang disembunyikan, berarti ia lebih penting daripada yang lain-lain.

Sebaliknya, jika kebenaran yang disembunyikan, berarti ia lebih penting dari hal lain pula. Kalau keduanya yang disembunyikan, Anda dan kebenaran yang ingin Anda sampaikan jadi tak berarti apa-apa: sia-sia. Dalam hal ini Anda berlebihan menyikapi nama. Apakah kalau Anda menuliskan nama yang sebenarnya, lantas kualitas tulisan Anda jadi berubah? Apakah sikap pembaca Anda jadi lain? Belum tentu. What is in a name, kata Shakespeare.

Sebagai sebuah aktivitas agnostik, penyamaran nama memang menyenangkan. Jadi tak perlu terlalu alergi dengan bahasa agnostik atau memuja bahasa apapun melampaui pemujaan kita terhadal Allah SWT. Disembunyikan atau tidak, nama siapapun bisa jadi agnostik dalam proses historisnya. Misalnya, namanya Furqon tapi kerjanya suka menyakiti perasaan orang, namanya Arif tetapi prilakuknya morat-marit, dan sebagainya.

Karena itu saya tak punya keinginan untuk cari tahu siapa Anda sampai Anda menuliskan sendiri pada teks yang dapat dibaca siapa saja. Seperti saya tahu Jamal T. Suryanata itu nama samaran karena dia pernah menuliskan sendiri dalam biodata yang pernah saya baca. Kalau sekedar pengakuan lisan, mungkin saya tak terlalu yakin.

Soal pertanyaan, adakah nash-nash yang membolehkan penggunaan nama malaikat, setan, dan sebagainya dalam teks sastra? Dalam hal ini saya harus angkat tangan: saya bukan spesialis nash-nash. Yang merasa ini bagiannya, saya sangat berharap bisa belajar dari siapa pun Anda. Kalau bukan Anda, lalu siapa lagi? Tetapi, jika sekian lama ditunggu tak muncul juga, silahkan kesimpulan akhirnya ditarik sendiri. Fasten your seatbelt, biar singset.

           

Jamal T, Suryanata dan Bahasanya

Setelah mengikuti uraian bersambung JTS akhirnya saya sampai pada beberapa kesimpulan bahwa dalam kesingsetannya sastra Banjar telah terjerembab pada mitos “kecantiikan”-nya, kearkaisannya, keadiluhungannya. Dalam sisi tertentu sastra Banjar ternyata juga agnostik: ada tetapi tidak ada. Dalam pengertian keberadaanya hanya dapat dirasakan dalam ungkapan-ungakapan keprihatinan atas dampak buruk invasi kultur luar ketika pada saat yang sama JTS juga pernah menganjurkan sastrawan Banjar untuk melihat ke dunia luar.

Setelah berbincang dengan B. Soebely, R. Syarifuddin, S. Firly, Jarkasi, dan mahasiswa di PBSID FKIP dalam kesempatan yang berbeda, keprihatinan mereka hampir seragam: sastra Banjar dengan bahasa Banjar sudah lama ditinggalkan banyak orang, para pembacanya, termasuk abah dan mama kandungnya sendiri yaitu para sastrawan dan pihak-pihak yang semestinya melindunginya dari kepunahan. Sastra lisannya nyaris musnah tanpa dokumentasi visual yang memadai. Apalagi tradisi sastra tulisnya yang akhir-akhir ini tak banyak terlihat medianya yang dapat dibaca setara dengan membaca tabloid gosip. Orang Banjar mungkin sangat mencintai bahasa Banjar tetapi kurang sayang pada sastranya. Jadi, sastra Banjar yang secara singset diimajinasikan oleh JTS memang ada secara teoretis, tetapi realitasnya yang ada dan mewabah akhir-akhir ini adalah sastra Banjar dalam penggertian ramuan gembrot: sastra Banjar tersebut ditulis dalam bahasa Indonesia tetapi kebanjaran titisan lisannya masih sangat kental.

Kalau ada pengamat budaya Kalimantan Selatan yang menyatakan sastra Banjar dalam bahasa Indonesia tak mengandung “pikiran” sama sekali dan tidak mampu beranjak dari persoalan kampungnya yang sangat terbatas, ini mungkin dapat disebabkan oleh dua hal: pertama, bahasa Banjar yang wilayahnya sangat terbatas, dan kedua, pikiran sastrawan Banjar yang mungkin malas membuat terobosan-terobosan kreatif yang dapat mengguncang banua ini. Syukur-syukur kalau bisa membuat gempar seperti Salman Rusdhie, asal tujuannya bukan sekedar membuat gempar, tetapi karena memang ada nilai-nilai mendasar tentang keberadaan manusia dan kehidupannya. Sekedar informasi, saya tidak tahu mengapa ada semacam keengganan mahasiswa untuk meneliti sastra Banjar dalam pengertian yang singset itu meski dorongan untuk mereka agar meneliti hal tersebut tak kurang-kurang. Dan persoalan ini bukan semata tanggungjawab PBSID FKIP UNLAM.

Tampaknya, untuk melihat realitas sastra Banjar yang jelas dalam pengertian yang singset perlu sinergi empat arah yang baik, yaitu antara sastrawan, pemerintah, pers (media massa) dan lembaga pendidikan (termasuk kampus). Ini juga sinergi gembrot. Solusi bagi sastra Banjar yang ngalih tak bisa pakai galiang singset dan menyerahkan seluruh nasibnya pada satu aparat sastra saja. Tetapi, siapa yang mau memulai? Kalau realitasnya yang kedodoran, singset atau gembrot jadi sama saja, sama-sama kabur realitasnya. Tetapi, tetap saja berguna sebagai investasi penyegaran pemikiran tentang sastra Banjar.

Keyakinan berlebihan kepada bahasa sebagai alat yang dapat menghadirkan realitas, perasaan, pengalaman, universal ataupun nasional yang utuh kepada setiap orang juga dapat kita baca ketika JTS menyatakan bahwa Banjar adalah subordinasi Indonesia, maka karenanya sastra Indonesia tak bisa jadi subordinasi sastra Banjar. Keyakinan yang singset semacam ini menutup mata bagi kemungkinan tersubordinasinya sastra Indonesia oleh sastra Banjar karena tak seluruh “diri” Banjar itu dapat disubordinasi oleh Indonesia, seperti keinginan yang ingin tetap menjadi singset adalah salah satu bagian yang ngalih untuk disubordinasi oleh Indonesia.

Bagi ramuan gembrot, Indonesia yang dipahami secara singset juga merupakan realitas yang sukar diterima. Jadi, karena Indonesia tak pernah benar-benar dapat menjadi realitas faktual yang kaffah, tapi hanya realitas imajiner yang belang-belonteng, coreng-moreng, keindonesiaan terus berada dalam aneka kemungkinan yang gembrot dan terus dibangun.

Demikian pula dengan kebanjaran. Parameter birokratis dan demografis untuk memahami konsep Indonesia dan Banjar sangat kurang tepat untuk meletakkan dasar-dasar pemikiran spekulatif untuk meraih realitas-realitas kebanjaran yang masih kabur, yang agnostik. Dengan ramuan gembrot kita dapat tertolong untuk tidak menyebut ekor gajah sebagai gajah, atau menyebut sastra Banjar sebatas berdasar pada faktor kebahasaannya.

Kalau kita baca buku La Ventre de Kandangan, Mosaik Sastra Hulu Sungai Selatan (HSS) 1937-2003 karya Burhanuddin Soebely (2004), kita bisa melihat betapa ramuan gembrot adalah ramuan impian yang mampu membuka kemungkinan bagi tersusunnya buku tersebut sehingga apa yang disebut dengan sastrawan HSS bukan saja sastrawan yang lahir di HSS tetapi juga mereka yang tak lahir di HSS namun bekerja dan tinggal lama di HSS, dan mereka tidak hanya menulis dalam bahasa Banjar tetapi juga bahasa Indonesia. Dalam buku ini Indonesia tampak menjadi subordinasi konseptual bagi Kandangan.

Kebenaran memang dapat disampaikan dengan bahasa, tetapi tak sepenuhnya. Pemahaman yang singsetlah yang mengimajinasikan bahwa ada hubungan esensialis, hakiki, dan tak dapat diganggu-gugat, antara bahasa dan kebenaran.  Pemahaman yang gembrot tidaklah demikian. Meski pemahaman semacam ini masih minoritas, akhir-akhir ini ia mulai naik daun karena ikut Miss Impian (baca: impian yang terus hilang karena “ideologi langsing” tetap menghegemoni).