ISI
Salam
Kuliah
Buku
Esai
Cerpen
Makalah
Berita

Links

 

Makalah Mahasiswa

Media

Pengajaran Sastra

 

ESAI

Kalimantan, Kapitalisme, dan Cerpen “Galuh”

Oleh Sainul Hermawan

 

Cerpen “Galuh” yang menjadi judul buku antologi sepuluh cerpen karya Jamal T. Suryanata (Jamaluddin) adalah judul cerpen ke-10 atau terakhir dalam antologi ini. Pada awalnya antologi yang diluncurkan sambil berdiskusi pada 16 Mei 2005 di Taman Budaya, Kayutangi, Banjarmasin, tidak sedikitpun menarik perhatian saya yang baru (sekitar dua bulan) bersentuhan dengan bahasa dan budaya Banjar. Tetapi ketika mencoba membaca Sahibar Catatan antologi ini, literary sensitivity saya jadi tergoda juga. Paragraf yang mendorong pembacaan yang kemudian diupayakan untuk diulas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: Bubuhan pembaca nang “baiman”...liati haja nang kaya apa aku malanah teori-teori nangitu dalam kisdap-kisdap “Galuh”, “Pambatangan”, “Banjarsari”, ..., atawa nang lain-lainnya (Suryanata, Galuh, 2005: xv).

Setelah itu saya tak terlalu percaya pada kabar angin bahwa Jamal sebenarnya kurang baik dalam menulis prosa. Pernyataannya dalam paragraf di atas secara tidak langsung menyatakan bahwa Jamal tidak main-main dalam menulis kisah-kisah dalam antologinya. Ia sangat serius menekuni bidang ini sebagai media untuk mengungkap rahasia-rahasia manusia yang dibawakannya dengan cara rahasia pula. Cara ini pasti diyakininya sebagai jalan paling efektif untuk menggugah kesadaran menjadi manusia banua yang kritis. Di balik sejumlah prosanya dalam antologi Sakindit Kisdap Banjar ada sejumlah teori yang mendasarinya, meskipun dia tidak mau jika disebut prosais yang berkiblat pada teori semata. Jamal menulis: ... aku manulis kisdap tu sabujurnya sama lawan bajajak di babun—artinya jua, karancakan wayah aku mangarang tu kada talapas pada teori-teori nang sudah kukulum. Tagal, jangan pulang mun dipadahakan aku bakiblat lawan teori-lah (Suryanata, Galuh, 2005: xii-xiii).

Sebenarnya secara alamiah urang Banjar sangat memahami hakikat intertekstualitas yang dimaksudkan oleh M. Riffaterre. Kata Riffaterre (1978:11) tanda-tanda dalam teks sastra (begitu pula dalam semua kisdap Jamal) selalu dan akan terus mengalami proses semiosis. Oleh karena itu, untuk memahami proses semiosis itu, tanda-tanda itu harus diletakkan sebagai bagian dari sistem yang lebih besar dan kompleks.

Istilah kisah (kesah) yang secara luas digunakan oleh urang Banjar juga membawa potensi konotatif sebagaimana hakikat tanda dalam kisah-kisah handap. Dalam istilah “kisah” atau “kesah” ada permainan nilai-nilai ambivalen yang sangat kuat. Pemahaman pragmatik urang Banjar terhadap hakikatnya sebenarnya adalah potensi urang Banjar memaknai “kisah” sebagai dunia yang mungkin (possible world).

Artinya, kisah itu bisa cerita yang memang benar-benar terjadi, baru dibayangkan akan terjadi, atau bualan kosong dan gombal semata. Dalam bahasa Riffaterre (1978: 10),  hubungan kisah dan kenyataan yang diacunya bersifat simbolik atau tidak langsung. Maknanya tidak hanya di kepala penulis, tetapi juga ada dalam kisah itu sendiri dalam kaitannya dengan kisah-kisah lain, dan juga ada dalam pikiran pendengar atau pembaca. Jadi, makna-makna kisdap Jamal pun bercabang tiga yang secara diakronis akan terus berdialog dengan kenyataan baru urang Banjar. Sehingga maknanya pun dapat berlipat ganda melebihi jumlah makna awalnya.

Demikianlah hakikat karya sastra yang bertujuan agar pembacanya tidak sekedar jadi konsumen teks, tetapi jadi produsen teks. Memaknai teks dalam kerangka ini bukan sekedar memberikan sebuah makna bagi teks tersebut, tetapi berusaha mengapresiasi pluralitas makna yang mungkin menyusunnya menjadi karya seni yang multi-interpretatif (Roland Barthes, S/Z, 1974: 5)

 

Konotasi Sosialis Galuh

Galuh sebagai tanda secara semiotik merupakan interaksi antara penanda (signifier) dan petanda (signified), yang berpotensi membentuk jaringan tanda-tanda baru. Oleh karena itu, ia dapat dimasuki melalui bermacam-macam pintu. Dalam konteks ini Galuh dapat dimasuki dari pintu mitos (seperti pernah dilakukan oleh budayawan Jarkasi), pintu intertekstualitas, pintu feminitas, pintu Marxisme, dan sebagainya.

Pintu mitos dapat mengarahkan pembaca pada serangkaian aktivitas pendulang intan di Martapura, Kalimantan Selatan (Kalsel) dengan seperangkat mitos yang melingkupinya. Pada tataran tertentu cerpen ini dapat dilihat sebagai refleksi statis mitos dan refleksi dinamis mitos Galuh. Pintu intertekstualitas dapat menunjukkan kepada pembaca bagaimana teks Galuh menyerap hipogram atau teks-teks acuan (baik tertulis atau tidak) yang ada, baik secara mikro (dalam lingkup sistem sastra Banjar) maupun secara makro (dalam lingkup sistem sastra nasional atau yang lebih besar lagi).

Pintu feminitas dapat dibuka oleh mereka yang tertarik membaca cerpen ini dari sudut pandang kajian gender untuk menelaah bagaimana Galuh sebagai perempuan dan tokoh perempuan lain diposisikan dalam cerpen ini. Semua ini bukan tugas tulisan ini mengupas tuntas dalam ruang yang terbatas ini. Ada pembaca lain, seperti para mahasiswa pemerhati bahasa dan sastra Banjar, yang dapat ikut berbagi gagasan melalui penelitian yang serius.

Tulisan ini hanya hendak menunjudkan bagaimana Galuh membangun hubungan simbolik dengan dunia kapitalisme dan kemiskinan di Kalsel. Secara sintagmatik, atau berdasarkan jalinan tanda yang hadir dalam teks, Galuh adalah seorang ratu yang ingin menikah dengan Ancah, seorang pendulang intan yang miskin. Keinginan itu tidak terjadi di dunia nyata, tetapi dalam dunia gaib. Tetapi rencana pernikahan mereka gagal dan sekaligus berarti Ancah urung jadi raja karena tiba-tiba ada seseorang yang tidak setuju dengan rencana pernikahan itu. Orang yang tidak setuju itu membunuh Ancah yang telah terbunuh. Ancah mengalami dua kematian. Pertama ia mati tertimbun tanah terowongan tempat ia mengejar-ngejar intan ajaib yang disebutnya Galuh, dan kedua mati dibunuh dalam kematiannya.

Struktur penceritaan ini sangat menarik. Secara pragmatik, atau jika tanda-tanda yang pada tataran teks itu dikaitkan dengan konteks yang mungkin, tampak ada isyarat yang sangat kuat menegaskan hubungan konflik yang samar antara tokoh yang berbeda kelas sosial. Ancah adalah simbol kemiskinan dan Galuh adalah simbol glamoritas kelas sosial atas. Signifikasi itu dapat kita tarik pada signifikansi relasi sosial yang terjadi antara para pekerja pendulang di PT Galuh Permata. Dalam hubungan kapitalistik antara pekerja pendulang di PT Galuh, kaya hanyalah impian. Impian yang tak mungkin terjadi nyata karena kapitalisme senantiasa terus berusaha melanggengkan struktur eksploratifnya untuk membuat orang-orang miskin di Kalimantan terus miskin dan akhirnya mati. Demikian juga alamnya, karena yang penting bagi kapitalis hanyalah uang. Kapitalis tidak peduli pada arti penting lingkungan hidup dan filosofi bahwa pada akhirnya manusia tidak bisa makan uang.

Secara tidak langsung, cerpen “Galuh” sebagai fakta semiotik dalam konsep Riffaterre, menyentil pemikiran kritis orang-orang Kalimantan terhadap keberadaan penambangan intan, secara khusus, dan eksplotasi tambang yang lain, secara umum, dalam hubungannya dengan pengentasan kemiskinan dan lingkungan hidup. Apakah hasil eksplotasi tambang di banua ini sepenuhnya dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Kalsel? Atau hasilnya hanya dinikmati oleh segelintir orang saja? Jadi cukup beralasan mengapa sampul antologi cerpen ini didominasi oleh warna hitam dan merah. Ada semangat untuk menyuarakan nilai-nilai kiri: nilai-nilai sosialis untuk melawan dominasi kapitalis di banua ini. Tetapi nilai-nilai itu sangat samar.

Cerpen “Galuh”, dalam hal ini, cukup memadai sebagai dokumen estetis yang menggambarkan konflik sosial orang miskin di sekitar wilayah ekplorasi tambang. Setidaknya cerpen ini secara semiosis dapat membawa pikiran pada hubungan disharmoni antara masyarakat petani  Palam, Banjarbaru, dan PT Galuh Cempaka (perusahaan swasta asing) yang pernah gencar diberitakan koran ini tahun lalu (sekitar Juni-November 2004). Dari berita-berita itu dan cerpen ini kita dapat mendapatkan kabar sedih tentang kekalahan urang-urang miskin di hadapan para kapitalis. Ini adalah salah satu bentuk kisah silent take over. Kapitalis asing bersekongkol dengan penguasa dan “urang-urang miskin” mengeruk habis-habisan alam Kalimantan dan sebagian besar orang yang tak berkepentingan dengannya hanya dapat limbahnya karena rendahnya mental, moral, dan sikap pemimpin terhadap arti penting lingkungan hidup.

Bahkan mungkin juga pembaca menarik hubungan simbolik cerpen “Galuh” dengan konteks kontes Nanang-Galuh yang cenderung bernuansa kapitalis. Semiosis karya sastra dan realitas memfaktualkan aktualitas. Aktulitas yang serba melintas sekilas disergap menjadi struktur abadi oleh sastra sehingga yang buru-buru mau lewat dicegat, lalu dirawat. Karenanya, sastra sering jadi inspirasi untuk mengkaji segala hal di sekitarnya.

 

Banjarmasin, Mei 2005

 

SKR Radar Banjarmasin, 11 Desember 2005