Kota
dalam Puisi Penyair Banjarbaru
Oleh
Sainul Hermawan
Dewan Kesenian Daerah Banjarbaru bekerjasama dengan Kilang
Sastra Batu Karaha Banjarbaru, pada 1997 menerbitkan antologi
puisi tujuh penyair Banjarbaru, berjudul Gerbang Pemukiman.
Antologi tersebut menghimpun 5 puisi karya Aria Patrajaya, 5
puisi Ariffin Noor Hasby, 6 puisi Arsyad Indradi, 6 puisi Eza
Thabry Husano, 6 sajak Fakhruddin, 3 puisi M. Rifani Djamhari,
dan 5 puisi M. Syarkawi Mar’ie. Semua puisi itu merenungkan
beragam tema, tetapi tulisan ini hanya ingin membahas
bagaimana beberapa puisi dari antologi tersebut merenungkan
kota.
Sajak-sajak yang membicarakan kota adalah sajak Syair
Musim, dan Guman Banjarbaru karya A. Patrajaya (hlm.
6, 7); Syair Manusia karya Ariffin Noor Hasby (hlm.
12); Syair Kota, dan Taman di Tengah Kota karya
Arsyad Indradi (hlm. 13, 16);
Sebelum Kota-kota Padam karya Eza Thabry Husano
(hlm. 22); Catatan Kota ke-22 karya Fakhruddin (hlm.
28); Ninabobo karya M. Rifani Djamhari (hlm. 34), dan Lukisan
Sebuah Kota karya M. Syarkawi Mar’ie (hlm. 41).
Karya-karya yang belum terlalu lama itu tetap penting untuk
kita baca karena secara estetis karya-karya ini telah berupaya
mendokumentasikan dinamika mentalitas masyarakatnya. Setiap
pembacaan yang dilakukan oleh siapa pun adalah sumber
kehidupan bagi karya sastra karena tanpa pembaca karya sastra
tidak berarti apa-apa. Sastra yang menyejarah, yang hidup,
adalah karya sastra yang dibaca.
Kota dalam sajak Syair Musim adalah tempat yang tidak
menyenangkan, tidak sehat: Musim yang jatuh di balik kotaku/menimpa
rumah-rumah,....[..]/ Debu menyapa dengan ganas/Luka. Aku
lirik dalam sajak ini menyadari bahwa kegerahan kota adalah
hasil negatif dari perwujudan nafsu destruktif
manusia-manusianya. Kegerahan kota akan terus diwariskan dari
satu generasi ke generasi selanjutnya: [...] Gerbang tahun
menghamili waktu. Dan panas musim ini adalah anak nakal yang
lahir dari waktu.
Dalam
sajak berikutnya, Guman Banjarbaru, kita dapat mengenal
siapa “aku” lirik yang memandang kotanya, Banjarbaru. Aku
lirik adalah sesorang dari kelas sosial menengah atas yang
kritis pada sekitarnya. Ini terlihat dari selera atau
pengetahuannya tentang musik jazz, dan cara ia memposisikan
diri dari manusia lain dalam sajak itu: Duduk di pelataran
sore mendengarkan ‘Havana’-nya Kenny G., Banjarbaru,
teringat aku akan pembersih jalanan. Dengan
mempersonifikasikan Banjarbaru, dia menyapa kota itu dan
secara tak langsung mengeritik dan mengingatkan betapa buruk
rupa kotanya, dan betapa penting arti mereka bagi kebersihan
wajahnya: Debu yang beterbangan, daun angsana yang mengisi
selokan berpacu dengan denyut nadi mereka/ [...] mereka
sudahkan tubuhmu yang kotor dari tangan runcing dan kusamnya
wajah kota. Sunyi nafas mereka memberi harum pada bunga.//
Mereka sihir dengan serpihan kaki. Guman: !!?!!.... Ada
semacam pembelaan dan penghargaan terhadap jasa pembersih kota
yang kurang dihargai oleh masyarakat dan aparat yang
seharusnya menghargai perannya. Pembersih jalanan bisa siapa
saja yang berupaya membuat Banjarbaru tidak kotor secara fisik
dan psikis.
Dalam
sajak Syair Manusia, kota diibaratkan seorang yang
kehilangan cahaya karena hidup di dalamnya penuh sandiwara,
penuh kebohongan: Kota-kota bergerak mencari lentera
manusia/ lewat pintu yang kau ucapkan dalam bahasa musim/ tapi
orang-orang masih menjadi jam/ bersandiwara dengan ruang//[...]
Masyarakat kota berkata-kata penuh spontanitas, serba
tiba-tiba, tak perlu dipikir dalam-dalam. Manusia kota mudah
kehilangan arah: [...] Kota-kota melewati beribu dalil
percakapan/ tapi adakah kita sempat mengatur ruang pikiran/
dalam gerak cepat ataupun lambat/ tanpa kehilangan kodrat
tanpa kehilangan kiblat?
Ungkapan
estetik sajak ini mengingatkan bahwa mereka telah
tercabik-cabik sebagai manusia karena kata dan perbuatan
mereka tak pernah menyatu, tak pernah utuh, hanya meruang dan
mewaktu. Kenyataan inilah yang seharusnya jadi pintu masuk
untuk menemukan penyelesaian bagi persoalan-persoalan kota
yang penting.
Sajak
Syair Kota karya Arsyad mempertegas hubungan antara
kota dan segala sesuatu yang mencemaskan, mematikan,
menyedihkan, dan makna yang memudar: Ada kecemasan tak
sempat/ Diungkapkan ketika gugus/ Daun berguguran/ Selaksa
duka/ Ilalang mencari makna [...]// Gedung dan rumah batu/
Dalam duabelas sulang asap/ Dunia purba [...] Kota tak
hirau lagi pada lingkungan, dan kedamaian hidup menjauhinya.
Ketentraman hidup jadi simbolisasi semata: [...] Lihat
tanda tanda kehidupan/ Ketika kaubuka/ menangkap percakapan
bunga/ burung-burung kau lepaskan/ dari tangan nestapa.
Kepedulian,
atau lebih tepatnya kerinduan, kota pada lingkungan alamiah
yang hidup, manis, indah, dan menyegarkan diwujudkan dalam
miniatur, yang serba terbatas dan hanya mampu menampung impian,
bukan kenyataan. Hal ini secara tersirat dapat dibaca dalam
sajak Taman di Tengah Kota karya Arsyad yang lain: Ada
taman di tengah kota/ Sejuta impian siapa/ yang tumbuh
di sana [...]// ... Bocah bocah melukis/ Kota idamannya/ Di
dinding menara/ Ada bocah melukis menara/ Yang kehilangan madu
lebah/ dari bungabunga/ yang susah payah ditanamnya// [...]
Dalam
imajinasi sajak Sebelum Kota-kota Padam karya Eza
Thabry Husano, kota adalah semacam pemerkosa sejarah
kemanusiaan yang merampas kenangan masa silam. Kota tak
memerlukan sejarah. Karenanya tokoh aku dalam sajaknya memilih
cara berkesenian sebagai solusi kultural agar tak digilas oleh
godaan pesona kota yang bertubi-tubi: [...] seperti
kota-kota lain, aku juga mementaskan teater, supaya bisa
pulang ke masa kecilku/ [...] kota-kota yang menghamilimu
lenyap dari sejarah kemanusiaan dan kerinduan.
Namun,
si aku dalam sajak ini juga ragu pada keampuhan solusi itu
sebab ia pun menghidupkan dan dihidupkan oleh peradaban kota: [...]
sesuap nasi mengalir di matamu, sebagian perahu masa kecilku
juga yang lapar sungai kerinduan. namun dalam perutku berdiri
kota-kota pendakian yang kesekian. Ia menjadi ambigu.
Demikian
pula tokoh yang menyaksikan kota, dalam sajak Fakhruddin, Catatan
Kota ke-22. Penyaksi itu menyadari bahwa “keindahan”
kota hanyalah dongeng atau fatamorgana. Dalam kenyataannya
kota cuma realitas yang angkuh, sumpek, ruwet, dan meresahkan:
memandang kota...burung-burung gelisah menyeberangi gairah
pada persimpangan jalan berliku [...] anak-anak berlari keluar
masuk hutan merajut kenangan dalam keangkuhan tiang-tiang
[...] dan deru mobil [...].
Dengan
cara yang berbeda M. S. Mar’ie, dalam Lukisan Sebuah
Kota, tokoh aku mendambakan kota ideal seperti dalam
sajaknya. Makna harapan di sini adalah sesuatu yang tidak
hadir di dalam teks bertolak belakang dengan yang hadir.
Akhirnya, M. Rifani Djamhari dalam sajak Ninabobo
menawarkan solusi lain, yaitu menerima kota apa adanya karena
impian untuk keluar dari kota pada akhirnya cuma jadi mimpi,
jadi puisi. Cukuplah menyadari kerusakan kota dan berusaha
untuk tidak memperparah kerusakan itu dengan cara tidur
sebagai simbolisasi perlawanan terhadap gairah kota yang
merangsang segala energi manusia yang hidup di dalamnya: [...]
tidurlah kesedihan// milik kita hanya kaki yang letih/ aspal
dan debu jalan/ pojok kota dengan taman yang rimbun/ [...]//
Tidurlah, sungai sisigan [...] sungai nini-datu yang dituba//
Tidurlah mata yang perih/ kampung halaman yang berkabut/ hutan
leluhur yang diperkosa// tidurlah, tidurlah/ sebab hanya tidur
pelipur kita.
Kota
dalam sajak-sajak di atas adalah kota ini, juga kota-kota
lain, dan mungkin juga kota yang pernah ada dan akan ada. Kota
memekanisasi segala hal di dalamnya. Rutinitas manusia di
dalamnya mengalienasi manusia dengan dirinya sendiri, dengan
sesamanya, dengan lingkungannya karena segala interaksi
reflektif dengan dirinya sendiri, dengan sesama dan
lingkungannya bersifat kontraktual, tidak emosional, apalagi
spiritual. Bahkan emosi dan spirit di kota dialienasikan
dengan beragam cara untuk mencapai nilai-nilai kontraktual
baru. Mediasi untuk segala norma itu adalah uang.
Banjarmasin, 8 Maret 2005
URL:
http://www.oocities.org/ejabudaya/esai_kota_dalam_puisi.html
|