ISI
Salam
Kuliah
Buku
Esai
Cerpen
Makalah
Berita

Links

 

Makalah Mahasiswa

Media

Pengajaran Sastra

 

ESAI

Liminalitas Surealisme Solipsis

(Tanggapan untuk Rain Fajar)

Oleh Sainul Hermawan

 

Untuk kedua kalinya saya berkesempatan membaca kritik sastra Rain Fajar di Cakrawala. Kritik itu ditujukan untuk cerpen surealisme magis “Tapal Adam” (“TA”) karya Esa S. Soemarno di Cakrawala (Radar Banjarmasin, 03/07/2005). Sebagai orang sesivitas, saya merasa bangga punya mitra yang selalu mengasah pikirannya dan mengajak orang lain berpikir. Dengan kritiknya yang, untuk sementara ini, cenderung religius, fanatis, dan eksklusif, tulisannya setidaknya mampu mengisi salah satu spektrum penafsiran teks sastra. Ya, hanya salah satu dan mustahil untuk menjadi satu-satunya tafsir yang paling benar untuk teks cerpen yang telah dibacanya karena setiap tindak pembacaan adalah peristiwa yang unik dan tidak otonom atau selalu dan pasti dipengaruhi oleh beragam faktor sosial: usia, keluarga, masyarakat, kelas sosial, sumber bacaan, afiliasi politik, pengalaman masa lalu, tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, jenis pendidikan, dan sebagainya.

Tulisan ini dimaksudkan bukan untuk menyalahkan persepsinya tentang sastra dan bukan pula untuk membela cerpen surealis Era S. Soemarno, tetapi mencoba menunjukkan betapa sastra olehnya dipandang terlalu sederhana dengan melandaskan gagasannya pada asumsi-asumsi teoretis yang masih penuh masalah. Sebagai mitra berpikir, saya berharap R. Fajar dapat menulis kritik yang lebih dahsyat lagi dengan pijakan teori yang lebih kuat dan tak mudah dijatuhkan oleh argumen-argumen lain setelah dia melihat uraian ini yang berusaha menunjukkan di mana letak masalah-masalah dalam tulisannya.

Masalah pertama adalah pengutipan gagasan AN Nabhani yang mengatakan bahwa teks sastra ditulis untuk membangkitkan kenikmatan, perasaan, dan kesan. Kebenaran dan ketepatan pemikiran dalam teks sastra tidak menentu dan tergantung kesan. Teori ini tak sepenuhnya benar karena teks sastra tak selalu nikmat (seperti halnya R. Fajar yang merasa terganggu perasaan dan pikirannya saat baca “TA”), dan teks sastra tak hanya mengusik perasaan pembaca yang sejak awal berniat membaca teks sastra dengan akal, rasio, pikiran.

Teori ini benar karena teks sastra bukan klaim tentang kebenaran tetapi konstruksi tentang kebenaran yang relatif. Maka nabi, tuhan, setan, malaikat, yesus, dewa, dan hantu-hantu klenik dalam teks sastra tidak bersifat referensial dan denotatif, tetapi bersifat tekstual dan konotatif. Jika teks sastra mendekonstruksikan tanda-tanda itu, pembaca sastra yang arif dan bijak, yang paham hakikat polisemi bahasa, tak perlu lantas naik darah, merah, marah, dan kesetanan.

Masalah kedua adalah pengutipan gagasan Kutha yang mengesensialkan status imajinasi dalam struktur karya sastra sehingga terkesan teks sastra sepenuhnya berisi imajinasi yang berkonotasi negatif, manipulatif, dan dekonstruktif. Saya yakin Anda akan segara tahu bahwa imajinasi bukan hanya bagian esensial teks sastra tetapi juga bagian dari kegiatan berpikir yang lain, bahkan menuju tuhan juga perlu imajinasi, merancang teori ilmu pengetahuan apapun juga melibatkan imajinasi. Bedanya, imajinasi dalam sastra adalah imajinasi untuk seni yang dapat mengarah keberbagai kemungkinan arah yang luas, meski pasti selalu terbatas karena di baliknya ada struktur yang masih dapat kita lacak pola-polanya. Pola-pola itu, menurut Levi-Strauss, adalah mitos.

Masalah ketiga, Anda ambigu atau ambivalen dalam melihat hubungan antara sastra, agama, dan kebenaran. Secara eksplisit Anda mengatakan setuju dengan gagasan bahwa sastra bukan panduan agama dan karenanya tak perlu mencari agama dalam sastra. Tetapi, secara keseluruhan tulisan Anda bertolak belakang dengan sikap setuju Anda karena Anda tetap mencari agama (akidah-akidah agama) di tempat yang keliru. Jadi, mengharapkan teks sastra yang bersinggungan dengan persoalan agama agar selurus dan selaras dengan pemahaman keagamaan tertentu bukan keinginan yang harus dituruti oleh teks sastra karena persoalan keagamaan yang ada dan diselewengkan di dalam teks sastra tak perlu dipandang semata sebagai pelecehan keimanan kelompok agama tertentu.

Sebagai teks yang multitafsir, keadaan menyimpangkan unsur-unsur keimanan dalam agama yang dilakukan teks sastra mungkin dapat dilihat sebagai “godaan setan” yang harus disikapi secara arif oleh orang beriman. Mungkin juga, ia tak harus dipandang demikian, dan sangat tergantung dengan mediasi teoretis yang dipakai pembaca untuk melihatnya. Apakah salah Anda mempersepsikan demikian? Tidak, hanya saja argumen Anda secara eksplisit sangat kontradiktif.

Masalah keempat, Anda mereduksi pengertian agnostik sebagai sikap atau orang yang tak percaya pada (tak meyakini keberadaan) tuhan. Secara umum orang agnostik bukan orang yang tak percaya pada tuhan, tetapi orang yang percaya bahwa realitas tuhan yang sesungguhnya tak dapat diketahui kecuali representasi wujud ketuhanan yang dapat diindera oleh manusia (lihat pengertian agnostic dalam A.S Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, 1974: 18). Artinya, tuhan itu berada di luar jangkauan kata-kata yang digunakan oleh manusia. Arti lainnya adalah kata-kata manusia terlalu terbatas untuk memaknai hakikat tuhan.

Bahkan tanda-tanda keberadaan pandangan agnostistik dapat juga kita baca dalam hadits yang diriwayatkan Abu Na’im dan Tirmidzi yang berbunyi: tafakkaru fi khalqillah, wa la tafakkaru fi dzatillah, fainnakum la taqdurunna qudratahu (lihat di kitab Bulughul Marom atau kitab Mukhtar Ahadits, hlm. 62). Artinya, renungkanlah ciptaan Allah, jangan pikirkan dzat-Nya, karena sesungguhnya kamu tak akan mampu mengukur kekuasaan-Nya. Dengan kata lain, dzat tuhan itu sulit dijangkau dengan pikiran manusia yang serba terbatas. Alam semesta inilah yang merepresentasikan kekuasaan-Nya. Alam ciptaan-Nya inilah mediasi pikiran manusia untuk terus dan terus merenungkan hakikat keberadaan-Nya. Makanya kita tak patut mengganggap diri kita sebagai orang yang memiliki keyakinan yang paling benar, karena ilmu kita hanya setetes air di lautan, sebutir pasir di padang pasir, sepatah kata dalam triliunan teks. Kita harus senantiasa menjaga dan merendahkan hati.

Uraian ini akan semakin jelas jika kita mau membaca buku Aqidah Empat Imam: Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal yang ditulis oleh Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais (2003) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari versi aslinya berjudul I’tiqad al-A’immah al-Arba’ah dan diterbitkan oleh Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta. Ungkapan agnostistik tentang eksistensi Allah dapat dengan mudah kita temukan dalam buku tersebut, misalnya pada halaman 12, 14, 15, dan 59-62. Tatkala Imam Syafi’i menegaskan makna Surah Al-Baqarah: 163-164 dengan menyatakan, “Jadikanlah makhluk itu sebagai bukti atas kekuasaan Allah, dan janganlah kamu memaksa-maksa diri untuk mengetahui hal-hal yang tidak dapat dicapai oleh akalmu” jelas ini adalah penyataan yang bersifat agnostistik.

Jadi agnostistik itu bukan anti tuhan melainkan bentuk pemahaman terhadap fenomena keberadaan Tuhan yang kompleks karena tuhan adalah realitas yang berada di luar jangkauan akal, jangkauan kata-kata, dan abadi dalam kegaiban yang misterius. Agnostik itu sama sekali tak sama dengan atheis. Pengertian agnostik dalam konteks agama juga beda dengan yang dalam konteks sastra.

Dalam konteks hermeneutik teks sastra, pengertian agnostisisme dapat kita baca dalam buku Semiotics and Thematics in Hermeneutics karya T.K. Seung (1982: 3). Dalam buku itu dinyatakan bahwa agnostisisme tekstual menempatkan teks secara empatik di luar jangkauan kesadaran subyektif pembacanya. Oleh karena itu, salah tafsir merupakan keniscayaan yang tak terelakkan. Agnostisisme tekstual, dalam konteks ini, sering dipertentangkan dengan solipsisme tekstual yang mengakui eksistensi teks hanya berada dalam kesadaran subyektif dan tidak mengakui adanya kemungkinan salah tafsir. Keduanya punya dilemanya masing-masing.

Akhirnya, saya ingin mengingatkan bahwa teks surealistik bukan semata dan selalu berada dalam ranah teks sastra. Ketika Anda menyebut diri Anda sebagai Rain Fajar, mahasiswa angkatan 2002 di PBSID FKIP Unlam, maka sebenarnya Anda sedang berpikir dan bertindak surealistik dan agnostistik karena siapa pun yang mencari nama itu di daftar mahasiswa PBSID FKIP pada angkatan tahun itu tidak akan menemukannya. Karena nama itu adalah nama samaran dari seseorang yang tidak ingin diketahui, ingin bersembunyi, akhirnya menjadi gaib, jadi misterius. Anda ada tetapi tidak ada. Nama itu tak dapat membantu pembacanya menemukan realitas atau referensi Rain Fajar.

Jadi, tulisan siapapun yang ditulis dengan menyamarkan nama adalah tulisan agnostistik dan surealistik. Fiksi dan fakta bercampur sehingga realitas faktual tulisan itu sebagian menjadi kabur. Nama faktual dan nama samaran tak pernah benar-benar menjadi sinonim yang absolut. Ada aroma split personality di dalam penyamaran itu karena ketika diri sendiri ingin mengaktualisasikan diri, sang diri pertama dibebani perasaan tertentu untuk tidak menjadi dirinya sendiri, melainkan ingin menjadi diri yang lain, diri kedua, dengan memilih nama lain sebagai representasi diri yang pertama.

Nama samaran yang misterius itu bersama tulisannya menjadi satu kesatuan agnostistik: ada sekaligus tidak ada. Jadi, sebagai bagian dari sistem komunikasi dua arah yang tak sepenuhnya bersifat sama, maka apa yang ditanggapi di sini bisa juga berada dalam kondisi yang kabur itu: bisa sampai sekaligus tidak sampai karena hakikat tulisan yang ingin direspons tulisan ini berada dalam konotasi dan denotasi. Realitas Rain Fajar tak terjamah: Apa gendernya? Tunggal atau jamak? Serius atau iseng? Apa agamanya karena nama Fajar bisa saja dijadikan nama oleh kelompok agama apa saja (Misalnya, Putu Fajar Arcana itu Hindu, meski Fajar atau Fajri bisa berasosiasi dengan nama Islam)? Apakah kata “Rain” dalam namanya berarti Timur atau Barat? Nah, inilah yang dimaksud dengan realitas agnostik yang kecil-kecilan.

Kalau sastrawan yang menyamarkan diri, itu wajar karena sastra identik dengan dunia agnostistik dalam pengertian dunia yang diciptakannya di atas teks itu ada sekaligus tidak ada dan sebaliknya, dan seterusnya. Kenyataan semacam inilah yang sering dimaksud dengan sastra sebagai the possible world atau dunia yang mungkin: mungkin ada, mungkin pula tidak ada. Dengan kata lain, realitas sastra serba tak tentu. Tetapi, kalau orang bersifat agnostistik dengan menyamarkan nama di atas teks yang bersifat referensial dan denotatif itu berarti apa? Bagi saya itu berarti naif. Entah sengaja atau tidak, Anda dan teks Anda saling bersekutu dan masuk wilayah liminal pertemuan antara denotatif dan konotasi sehingga terciptalah surealisme di wilayah yang tidak seharusnya demikian alias surealisme solipsis yang penuh dilema.

Last but not least, jangan tergesa-gesa mengharamkan sesuatu. Sempatkanlah baca buku As-Sunnah An-Nabawiyyah: Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadist karya Syaikh Muhammad Al-Ghazali (1989) yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Penerbit Mizan dengan judul Studi Kritis Atas Hadis Nabi SAW: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (cetakan I, 1991). Pada halaman 89 dia menunjukkan Surah Al-An’am: 119 yang menyatakan, “Dan sesungguhnya Ia (Allah) telah merinci apa saja yang diharamkan-Nya atas kamu.” Dengan demikian, menurutnya, hukum asal segala sesuatu adalah mubah (tidak terlarang). Tidak ada pengharaman sesuatu kecuali dengan nash. Bahkan di halaman berikutnya (hlm. 90), dia mengingatkan bahwa penetapan suatu hukum agama tidak boleh dilakukan berdasarkan dugaan semata-mata. Adakah nash-nash yang sangat meyakinkan untuk melarang penggunaan nama malaikat, setan, nabi, surga, neraka dalam puisi, cerpen, atau novel? Waspadalah, waspadalah!