Oleh
Sainul Hermawan
Ada
dua cerpen yang terbit di Radar Banjarmasin pada waktu yang
berbeda dianggap sebagai cerpen yang berbenturan. Cerpen pertama
karya Jamal T. Suryanata (JTS), berjudul “Tsunami” (Radar
Banjarmasin, 30/01/05) dan yang kedua karya M. Fitran Salam (MFS),
berjudul “Apologia Wina”
(Radar Banjarmasin, 13/03/05). Cerpen kedua
dipandang sebagai respons terhadap yang pertama, dan yang pertama
dinilai sebagai respon negatif terhadap peristiwa bencana alam di
Aceh oleh cerpen yang kedua. Tetapi bagi saya keduanya adalah
dunia tekstual yang mempermainkan Wina.
Wina
dalam keduanya adalah perempuan yang disikapi beda oleh
pengarangnya yang kebetulan laki-laki. Wina dalam cerpen Jamal
adalah perempuan yang dipandang sebagai pencari jalan kebenaran
dengan cara asusila, dan Wina dalam cerpen Fitran mencari keadilan
untuk memulihkan nama baiknya yang telah dicemarkan. Siapa yang
mencemarkan? Menurut keyakinan beberapa pihak, cerpen pertamalah
pelakunya. Diskusi yang diselenggarakan oleh Loewen Production,
Radar Banjarmasin, dan FKIP Unlam, dengan tema “Pengadilan di
Dunia Fiksi”, ditujukan untuk menyikapi persoalan ini. Apakah
cerpen Jamal yang bersalah karena terlalu merendahkan nasib atau
martabat perempuan dari negeri yang tertimpa musibah secara khusus,
dan korban tsunami secara umum di Aceh? Atau apakah cerpen Fitran
dapat dibenarkan menghakimi sikap cerpen yang pertama?
Kebenaran
dan kesalahan keduanya ditentukan oleh paradigma kritik apa yang
kita gunakan sebagai pembaca dan konvensi sastra apa yang dianut
oleh Fitran yang Jamal sehingga kebenaran keduanya menjadi relatif.
Dalam bingkai kritik sastra ekspresif, keduanya bisa dinilai benar
dan perlu dihargai sebagai respons spontan terhadap segala sesuatu
yang mungkin terjadi. Dalam bingkai kritik sastra feminis kedua
bisa dinilai sebagai karya yang tak berpihak bagi pewacanaan
perempuan yang positif.
Dalam
cerpen “Tsunami”, Wina (yang barangkali juga dapat
dibaca sebagai singkatan arbitrer dari frase “Wanita
Indonesia”) diperlakukan sebagai objek yang mengalami tiga macam
opresi. Pertama dari ayahnya. Ayahnya membuatnya tak punya banyak
pilihan hidup lain selain jadi dokter. Kedua dari para lelaki yang
membelinya ketika dia jadi pelacur. Lelaki itu menjadi semacam
perpanjangan tangan ayahnya yang telah tiada untuk mewujudkan
cita-citanya. Ketiga dari pengarang sendiri yang memposisikan Wina
sedemikian rupa sehingga meskipun Wina dapat bersuara sendiri,
suaranya tak sepenuhnya dapat dibaca sebagai representasi dari
wanita dalam kompleksitas yang belum terjamah oleh cerpen ini.
Gejala
pemosisian perempuan yang penuh dengan simbolic annihilition
(pembantaian simbolik) semacam ini dapat mengundang reaksi keras
pihak-pihak yang punya kepekaan feminis dan kepekaan musibah.
Terlepas dari persoalan itu, cerpen Jamal tetap lebih dari segi
simbolisasi daripada cerpen Fitran karena dalam ruang yang
terbatas dan ekspresi yang masih sederhana, Jamal sempat menyerang
tiga dimensi persoalan: musibah di Aceh, musibah dunia akademik,
dan musibah agama. Ketiga dimensi dapat menjadi pemicu perdebatan
yang ramai. Dengan demikian, cerpennya tetap memiliki sisi
kompleksitas ambivalensinya sendiri.
Dua
cerpen yang saling bersambut tersebut (dalam bahasa M. Rifani
Djamhari “fiksi dibalas fiksi”) mungkin merupakan gejala baru
dalam dunia sastra di Kalimantan Selatan tetapi ini sudah sangat
lazim terjadi dalam sastra Indonesia dan dunia. Persoalan ini
secara umum menjadi bahan perbincangan dalam kajian
intertekstualitas karya sastra.
Penelitian
Burhan Nurgiyantoro (Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi
Indonesia, 1998) terhadap lima novel dan
delapan cerpen membuktikan bagaimana cara karya sastra
Indonesia modern merespons fenomena sastra yang lain, yaitu cerita
wayang. Menurutnya, sikap pengarang fiksi yang ditelitinya dapat
dikategorikan menjadi tiga kelompok.
Kelompok
pertama (Y.B. Mangunwijaya, Umar Kayam, dan Bakdi Soemanto)
menyikapi dan memperlakukan wayang sebagai bentuk budaya yang
bernilai tinggi, bersifat “sakral”, serta dapat diaktualkan
secara kontekstual, mencerminkan pandangan perenialistik karena
memandang penting nilai-nilai konservatif.
Kelompok kedua (Putu Wijaya, Yudhistira ANM Massardi, Seno
Gumira Adjidarma, Pipit RK, Yanusa Nugroho) menyikapi wayang
secara main-main seenaknya, secara parodial dan mendesakralkan
karena yang ditekankan adalah nilai-nilai aktual yang mencerminkan
pandangan progresivisme. Kelompok ketiga (Jajak MD, dan karya
Yudhistira dan Seno yang lain) menyikapi dan memperlakukan wayang
secara apa adanya, tidak menyakralkan dan juga tidak
mendesakralkan.
Kasus fiksi direspons fiksi juga
terjadi dalam puisi. Sajak “Nuh”
karya Sutardji Calzoum Bachri (1981), “Perahu
Kertas” Sapardi Djoko Damono (1983), “Nuh” karya Goenawan Mohamad (1998), dan “Numpang Perahu Nuh” karya Dorothea Rosa Herliany (1999) adalah
sajak-sajak yang secara tidak langsung saling berbalas dan secara
bersama-sama mentransformasikan (baca: merespons atau membalas)
Nuh dalam teks kanoniknya, yaitu Nuh dalam wacana agama.
Nuh yang kalut dalam puisi
Sutardji tidak lagi berseru memohon kepada Tuhan dalam menghadapi
kekalutannya. Dia memohon pada tanah tempatnya berpijak karena
segala solusi untuk persoalan hidup ada di bumi, bukan di langit: tanah
tanah tanah/ beri aku puncak/ untuk mulai lagi berpijak!
Nuh dalam
sajak Sapardi dipandang dari mata anak-anak. Nuh bukan pemilik
perahu yang dinaikinya, bahkan perahu Nuh itu bukan anugerah dari
Tuhan. Perahu Nuh itu buatan generasi mudanya, anak-anaknya
sendiri, yang kemudian disalahgunakan olehnya. “Telah
kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini
terdampar di sebuah bukit.” Dalam konteks dialektika
interteks sajak ini dengan hipogram kanoniknya, sajak ini tampak
memberikan klarifikasi bahwa misteri dikotomik Nuh versus umat
yang tidak mematuhinya harus dipertimbangkan lebih jauh dan jernih.
Bisa saja kesalahan ada pada Nuh, bukan pada kaumnya yang
ditenggelamkan banjir.
Generasi Nuh
hanya korban kelalaian Nuh dalam menggunakan perahu yang
dipinjamnya dari generasinya. Kaum yang ditenggelamkan dalam
banjir kitab suci ditampilkan sebagai sosok sial sekaligus
terhormat dalam puisi Damono. Puisi ini memandang Nuh tidak lebih
dari seorang lelaki tua, renta, dan gombal yang mementingkan
dirinya sendiri dan melupakan masa depan generasi dan perahu yang
dipinjamnya.
Dengan
menggunakan metafora Nuh sajak Nuh
karya Goenawan Mohamad memasuki wilayah keagamaan dengan
memberikan penafsiran yang mengedepankan social
conscience of man-nya terhadap linearitas wacana Nuh dalam
kitab suci, yang cenderung bermakna tunggal dan bersifat dikotomis
superior, dimana umat Nuh diposisikan secara imperior dalam wacana
tersebut.
Puisi Nuh
Goenawan mengapropriasi metafora Nuh untuk konteks pergolakan
politik. Nuh dalam sajaknya siposisikan sebagai oportunis
kekuasaan yang membenarkan pemusnahan kaum yang dianggap musyrik. Di
permukaan air itu bahkan hutan-hutn takluk dan senja akan terbalik,
seperti pagi. Nuh pun berbisik,”Kaum yang musyrik, yang tak
dikehendaki…..” Dengan dalih atas nama Tuhan, Nuh tidak
mengakui fakta kemanusiaan. Ia
berkata.”Keadilan, perkara besar itu, telah dibereskan Tuhan.”
Ketika Nuh berkuasa, siapa saja harus patuh. “ya,
Maha Dasar, tak ada lagi yang bisa keluar,” begitulah sembah
yang diucapkan, ketika hari jadi terang dan jemaat berdoa untuk
kota-kota yang akan datang, yang kukuh, patuh. Kota-kota Nuh.
Karena kata-katanya dianggap bertuah. Dalam kekuasaan
seperti itu Nuh menjadi diktator yang menunggalkan penafsiran
terhadap segala peristiwa.
Puisi Dorothea
mempermainkan Nuh dari sudut pandang perempuan dan umat. Nuh yang
agung, bijak dan baik pada sesama manusia, justru
dijungkirbalikkan menjadi sosok yang mematikan peran sosial
perempuan dalam puisinya. Perempuan di atas perahu Nuh tidak lebih
dari sekedar tubuh-tubuh tanpa otak hingga dia tidak kuasa
terhadap keselamatan dan harapannya sendiri yang dinasehati agar
begini dan begitu. Nuh itu laki-laki yang meletakkan hirarki
perempuan di bawah kekuasaannya.
Setiap sajak
di atas mencoba meniadakan oposisi biner hierarkis metafora Nuh
pada teks kanoniknya dengan menawarkan hierarki lain dari
perspektif feminisme, politik, dan sosial. Nuh kanonik bukan Nuh
superior. Nuh sang penyelamat, penyabar, dan penuh dengan sifat
kemuliaan, dalam teks kanonik, bergeser menjadi sang oportunis dan
pengutuk dalam wacana perebutan kekuasaan (seperti tampak pada
sajak Nuh Goenawan). Nuh
sang pengemban amanat juga seorang pengkhianat terhadap
generasinya (seperti ditunjukkan oleh sajak Damono), Nuh adalah
lelaki yang membunuh peran perempuan (pada sajak Dorothea), dan ia
pun menjelma sebagai mahluk yang tidak perlu terus-terusan
merengek manja kepada Tuhan, tetapi harus berpijak kuat di bumi (pada
sajak Sutardji).
Tak ada yang
kaget dengan gejala puisi yang saling berbalas itu karena mungkin
memang benar bahwa sastra kita adalah sastra komunitas minor yang
belum mampu menjadi trend setter pemikiran. Tak ada yang
terusik ulah sajak yang mengusik bingkai baku tanda-tanda dalam
cerita keagamaan. Sajak-sajak itu begitu cepat jadi usang sebelum
sempat diadili. Tetapi, apakah pengadilan bagi sajak-sajak memang
itu perlu? Demikian juga dengan keinginan untuk mengadili dua
cerpen JTS dan MFS, pentingkah?
Mendiskusikan
dua cerpen itu jauh lebih penting daripada mengadili. Yang
diperlukan barangkali bukan pengadilan yang menghasilkan vonis
mati bagi teks atau pengarang yang dianggap bersalah. Yang kita
perlukan adalah cara mendudukkan kedua cerpen ini secara
proporsional sebagai fiksi atau sebagai bentuk dunia yang mungkin.
Fiksi sebagai dunia yang mungkin memiliki keterbatasan dalam
merefleksikan atau menampung realitas (Brian McHale, Postmodernist
Fiction, 1987: 33). Ke-Wina-an dalam kedua cerpen itu
sama-sama berpeluang untuk merefleksikan kemungkinan realitas
parsial yang ada dalam bencana yang hanya dikenal, dipersepsi
melalui media atau bencana hanya sebagai pengetahuan, bukan
pengalaman.
Semoga gejala
ini dapat menjadi trend kretivitas baru dalam dunia cipta
cerpen Kalsel, sambil mematangkan kemampuan eksplorasi tekstual
dan berani merambah topik yang lebih menantang.
Acuan
Damono, Sapardi Djoko 1983. Perahu
Kertas. Cet. Ke-1. Jakarta:
PN Balai Pustaka.
Herliany, Dorothea Rosa. 1999. Mimpi
Gugur Daun Zaitun. Cet. I. Jakarta: Grasindo.
Nurgiyantoro,
Burhan. 1998. Transformasi
Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia. Cet. I. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Worton,
Michael dan Still Judith (eds.). 1990. Intertextuality;
Theories and Practices. Manchester dan New York: Manchester
University Press.