Reduksi
Citra dalam Iklan Calon Gubernur
Oleh
Sainul Hermawan
Iklan
politik adalah sebentuk saluran komunikasi searah yang dapat
menggunakan media lisan, tulisan, atau kombinasi keduanya
dalam beragam sarana visualisasi mutakhir.
Apresiasi
calon gubernur (cagub) Kalimantan Selatan (Kalsel) terhadap
fungsi iklan tampaknya sangat tinggi. Kita dapat membaca iklan
mereka di koran, baliho, stiker, spanduk, dan media tulisan
atau lukisan lainnya. Kita juga dapat mendengar iklan mereka
di radio dan media lisan lainnya.
Apresiasi
semacam itu tentu tidak berangkat dari kekosongan sebab,
anggapan, asumsi, dan imajinasi tentang pencitraan diri.
Bahkan, mungkin gairah mereka beriklan juga diilhami oleh cara
leluhur mereka di pusat saat mengiklankan diri pada Pemilu
langsung yang lalu.
Jejak-jejak
cara capres-cawapres beriklan pada Pemilu lalu dapat kita
rasakan dalam ekspresi iklan cagub-cawagub Kalsel tahun ini.
Saat kita membaca iklan berbunyi, “Bersama Kita Bangun Banua”,
secara spontan orang yang peka iklan politik akan segera
teringat dengan iklan pasangan SBY-Kalla, “Bersama Kita Bisa”.
Kalau kita melihat spanduk berbunyi, “Pilihlah yang Terpuji
dan Terbukti”, dalam pikiran kita terlintas iklan pasangan
Mega-Hasyim yang tak berhasil mengantarkan pasangan itu ke
kursi pelaminan kekuasaan.
Ketakberhasilan
iklan semacam itu untuk mengangkat citra Mega-Hasyim
sepenuhnya bukan kesalahan iklan. Ada banyak faktor lain yang
juga ikut menentukan. Iklan di sini hanya diupayakan dan
diyakini mampu sebagai alat penunjang.
Tetapi
karena ungkapan yang diiklankan dirasakan dan dipikirkan beda
oleh masyarakat, maka iklan itu hanya memperkuat niat
masyarakat untuk menolaknya. Iklan yang diniatkan jujur
ditanggapi sebagai kebohongan. Kenyataan ini menegaskan apa
yang pernah diungkapkan oleh penyair Rusia, Tyutcev, bahwa
pikiran yang diucapkan adalah suatu kebohongan. Mengapa?
Karena kata tak mampu menampung seluruh beban makna.
Citra
negatif produk yang diiklankan oleh ekspresi semacam itu akan
menguat jika ekspresi itu dijadikan pijakan bertanya oleh
mereka yang membaca iklan itu dengan pikiran yang terbuka.
Mereka bisa bertanya, “Apa yang terpuji dari mereka? Siapa
yang pernah memuji mereka? Seluruh masyarakatkah? Sebagian
masyaraatkah? Jujurkah?” dan sejumlah pertanyaan lain.
Dan
biasanya orang awan lebih mengenang keburukan daripada
kebaikan sehingga mengklaim diri sebagai orang yang baik dapat
dipersepsi sebagai bentuk kekurangsadaran diri bahwa
masyarakat memerlukan bukti nyata yang obyektif, bukan
pernyataan diri yang subyektif bahwa dirinya sudah terbukti
dan terpuji.
Memang
tak ada hubungan searah dan setia antara kalimat-kalimat iklan
dan pilihan konstituen politik. Cara konstituen memilih kadang
mirip dengan cara mereka
memilih pasta gigi. Secanggih apa pun kalimat iklan yang
digunakan untuk menggoda konsumen yang sudah fanatik pada
merek pasta gigi tertentu, godaan itu akan sia-sia.
Iklan
memang punya daya pukau dan goda untuk mendekatkan produk yang
diiklankan dengan sekelompok manusia yang dibayangkan sebagai
calon konsumennya. Tetapi pilihan konsumen juga dipengaruhi
oleh sentimen historis yang sering tak mampu dijangkau oleh
bahasa iklan yang serba terbatas. Akhirnya iklan bisa jadi
sebagai produk iklan semata yang hanya menguntungkan jasa
periklanan.
Iklan
bahkan bisa kontraproduktif jika cara-cara yang ditempuhnya
tidak didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan komunikasi
yang benar-benar persuasif. Iklan politik pasti benar-benar
merugikan jika sekedar menjiplak pikiran-pikiran yang sudah
usang tentang pencitraan diri.
Pengamatan
sekilas penulis terhadap beberapa iklan cagub-cawagub Kalsel
menemukan bahwa belum ada satu pun iklan yang mampu menangkap
aspirasi tersembunyi masyarakat Kalsel. Hampir semuanya
bermain-main dengan kalimat yang serba normatif. Makna yang
ingin dikomunikasikan tidak khas.
Misalnya,
iklan yang menyatakan, “Pilihan Pian Manantukan Masa Depan
Banua”, dapat menjadi iklan sukarela bagi seluruh calon yang
ada. Kalimat ini memiliki prisma makna yang beragam. Bahkan
kalimat itu dapat dimaknai, “Jangan pilih kami, jika Anda
tidak menganggap kami sebagai kandidat yang dapat menentukan
nasib wilayah ini.”
Ada
juga iklan yang sangat rasial dalam ekspresi, “Dukunglah
Putra Daerah.” Iklan ini mencitrakan calon yang beriklan itu
seolah-olah sebagai satu-satunya pasangan cagub-cawagub yang
putra daerah asli, dan secara tidak langsung menuding calon
yang lain bukan putra daerah, atau putra daerah yang palsu.
Cara
beriklan semacam ini jelas bertentangan dengan harapan
masyarakat yang mendambakan pemimpin yang mengayomi semua
lapisan masyarakat tanpa membedakan suku, agama, dan golongan;
atau pemimpin yang dapat membimbing masyarakat untuk hidup
berdampingan dalam damai dan keberagaman, bukan hidup tegang
dalam keseragaman. Bisa-bisa masyarakat Kalsel yang anti-rasialisme
menggalang massa untuk menolak pasangan ini sambil bergumam,
“Belum jadi gubernur, sudah rasial, apalagi kalau jadi. Jadi
apa banua ini.”
Demikianlah
beberapa ilustrasi bagaimana cagub-cawagub kita menampakkan
diri melalui bahasa iklan mereka. Selanjutnya terserah Anda.
Banjarmasin,
10 Maret 2005
Radar
Banjarmasin, 15/03/2005
|