Ziarah
ke Sajak-sajak Eza Thabry Husano
Oleh
Sainul Hermawan
Eza
Thabry Husano
telah banyak menebarkan sajak-sajaknya di berbagai antologi
puisi dan media massa cetak tetapi dalam salah satu sajaknya
dia mengakui betapa jerih payahnya menjadi sia-sia ketika
sajak-sajak yang telah ditulisnya “tidak dibaca” dalam
pengertian tak disambut layaknya sesosok figur terhormat atau
bersahaja yang setiap kali hadir mendapat kalung bunga dari
para penyambutnya. Husano akhirnya merasa sajaknya bagai
kuburan tak berharga bagi kamatian yang sangat diharapkan:
.... sajakku adalah kuburan/ tak pernah diziarahi sampeyan/
menabur kembang wewangian/ selain karak-karak sunyi/ yang
mengheningkan ruh sajakku/ ....(“BA”: 22)
Dalam
kultur yang memandang ziarah kubur itu sesuatu yang panting
untuk menjalin komunikasi abstrak antara yang hidup dan mati,
tak berziarah dapat dipandang sebagai sesuatu yang “murtad
ritus.” Demikian pula dalam kultur yang memandang bahwa
sajak ditulis untuk dibaca, diapresiasi, dan dikritisi, tak
peduli pada puisi dapat disebut sebagai “ingkar seni”.
Setiap pengingkaran dalam konteksnya masing-masing tentu
berimplikasi secara langsung atau tak langsung terhadap kultur
yang melingkupinya.
Oleh
karena itu, tulisan ini mencoba menziarahi sajak-sajak yang
telah ditulis Husano di beberapa antologi puisi dalam rangka
menghormati ruh yang ada di dalamnya karena ruh puisi kadang
tak dapat bicara langsung dengan pembacanya yang belum
memiliki sarana untuk menangkapnya. Ruh puisi seringkali
bersembunyi di balik kata-kata yang telah mati di dalam kamus
dan oleh Husano dicoba dihidupkan kembali dalam sajak-sajaknya.
Ruh sajaknya pun pasti tak akan bicara sama dalam media bantu
yang berbeda. Bahkan bagi orang yang ahli menangkap ruh sajak,
sarana bisa tak diperlukan lagi karena ruh dan mereka tak
berjarak.
Tulisan
ini mencoba membaca 25 sajak Husano dalam 5 antologi kolektif
penyair Kalsel yang terbit dalam kurun waktu yang berbeda,
yaitu sajak “Maha (M),” “Sepatu Kapal (SK),” “Bunga
Api (BA),” dan “Zat (Z)” dalam antologi
Bunga Api (1994); “Improvisasi Abad-abad
Kehidupan (IAK),” “Sebelum Kota-kota Padam (SKP),”
“Abad-abad Mengulum Musim (AMM),” “Bayang-bayang Jemuran
(BJ),” “Rumah Ramadhan (RR),” “Sketsa Wajah (SW)”
dalam antologi Gerbang Pemukiman (1997); “Obsesi
Monumen Retak (OMR),” “Episode Embun (EE),” “Bahana
(B),” “Khalwat Percintaan (KP),” “Aransemen Kematian
Saudaraku Bernama Api (AKSBA)” dalam antologi Bahana
(2001); “Nyanyian Duka Pendulang (NDP),” “Tafsir Kebun
24 Jam,” “Sirkuit Kabut,” “Jendela di Seberang Airmata,”
“Lukisan Dzikir” dalam antologi Notasi Kota 24 Jam
(2003); dan “Membayangkan Baitullah,” “Membayangkan
Arafah,” “Jejak Liang Penghabisanmu,” “Tangis Berisik
di Ujung Tidurku,” “Surat dari Duri Bukit” dalam
antologi Anak Zaman (2004). Dari kelima antologi ini
sajak-sajak Husano tampak menjadi ruh karena judul sajak atau
frase dari salah satu sajaknya menjadi judul atau inspirasi
judul antologi-antologi tersebut.
Ruh
sajak Husano antara lain terletak pada kemampuan, kemauan, dan
kecenderungan dalam merayakan personifikasi atau memberikan
nafas bagi yang mati. Dalam antologi Bunga Api (1994),
kita dapat menemukan matahari yang berwasiat kepada lautan,
dan sajak yang mendirikan sungai dan perahu (“M”: 22). Di
samping itu kita juga bisa menjumpai senja yang memasukkan
kabut ke dalam sepatu, dan laut yang menghentikan kapal
(“SK”: 23). Dalam sajak “Bunga Api” (hlm. 24), pembaca
dapat menemukan bunga api yang menyalakan dinamit, dan
matahari yang melukai sunyi. Tetapi kecenderungan semacam ini
tak berlanjut pada sajaknya yang terakhir, “Zat”.
Gairah
memberikan ruh pada kolokasi wajar yang sering terkapar dalam
persepsi kita yang serba otomatis semakin diintensifkan oleh
Husano dalam beberapa sajak dalam antologi Gerbang
Pemukiman (1997). Ada rumah yang mengantung cakrawala
dalam vas bunga, ada ribuan serangga yang membangun jembatan
(“IAK”: 20), ada kota yang mengusir masa kecil (“SKP”:
22), ada kemarau yang diragukan mampu menajamkan taji-taji
hujan, ada angin
hujan yang melantunkan gerimis kerinduan, ada kamar-kamar
sejarah yang menghukum abad-abad kemanusiaan (“AMM”:
23-24), ada kamar yang menidurkan rumah (“BJ”: 25), ada
kapal merindukan pelabuhan, ada rambut rembulan yang tergerai
di trotoar (“RR”: 26), dan ada surat-surat yang pingsan
karena kehilangan alamat, ada sajak yang menggendong luka,
serta ada matahari yang melirik ke barat (“SW”: 27).
Segala yang biasanya wajar menjadi segar, bergerak karena ada
permainan kolokasi yang unik.
Segala
yang segar dalam puisi Husano bisa saja ditepis oleh naluri
yang setia pada rasionalitas tata bahasa yang otomatis dan
familiar. Kesegaran bahasa yang dikelolanya dalam
ketaktertataan semacam itu cenderung berangkat dari kemauan
untuk menghadirkan fantasi. Dalam sajak “IAK,” Husano
berfantasi tentang tubuh kontemporer yang mati. Kematian tubuh
kontemporerlah yang menjadi kegelisahan sajak-sajaknya: jika
kau ziarahi tubuhku, di situ pun ada darah/ mengalirkan ribuan
komputer, ribuan buku-buku, ribuan cerobong asap, jutaan rumah
para pemukim yang menyusui sajak-sajakku. jika kau melayat
airmataku, disitu pun ada darah/ mengalirkan ribuan botol
vodka, ribuan minuman lainnya, menyumbat anak-anak sendiri
jadi jutaan busa kegelisahan sajak-sajakku (“IAK”: 20)
Darah
dalam tubuh yang mati tak dialiri zat-zat bergizi tetapi penuh
dengan sampah-sampah industri, atau segala sesuatu yang
berpotensi membuat generasi yang stagnan, macet, malas.
Fantasi yang lain disuguhkan Husano dalam sajak “SKP” yang
melukiskan lanskap kota dalam perut dan mata yang dialiri
sesuap nasi: akankah sungai diseberangkan pula oleh perahu
pengembara ke kota-kota. Sesuap nasi mengalir di matamu,
sebagian perahu masa kecilku juga yang lapar sungai kerinduan.
Namun dalam perutku berdiri kota-kota pendakian yang kesekian (“SKP”:
22)
Ungkapan
fantastis ini sangat bernuansa sebagai sebentuk transformasi
tekstual dunia pepatah yang banyak dikenal: dari mata turun
ke hati. Akan tetapi SKP mencoba memahami ide
romantis itu dalam bingkai ironis dan materialistis sehingga
terciptalah dunia baru: dari mata turun ke perut.
Kembali romantis atau kembali ke masa kecil, masa yang jujur,
menjadi persoalan hidup kontemporer yang mustahil. Romantis
menjadi dunia utopis, mudah dibicarakan tetap susah diwujudkan
dalam kenyataan, di tengah kecenderungan populer membangun
kota di dalam perut. Gayutan referensial dari dunia tekstual
yang ditawarkan sajak ini bukan dunia yang sangat jauh. Dunia
fantasi itu dunia kita sehari-hari.
Jika
pembacaan terhadap sajak-sajak Husano kita teruskan sampai ke
antologi Bahana, mungkin ada satu kesan yang sangat
dominan: sajak-sajak Husano terlalu berfoya-foya dengan
kata-kata. Fantasi atau imajinasi tekstual yang ditawarkan
kurang terkendali sehingga seringkali sulit mencari pijakan
yang cukup kuat untuk memahami ide yang mau disampaikan oleh
sajak-sajaknya. Dalam sajak “OMR,” misalnya, imajinasi
pembaca diayun tanpa simpul bandul yang kokoh dan dapat
dipakai untuk merunut sumber persoalan yang ada di balik sajak
ini. Inilah sebagian kutipannya: .... jalan ditempuh
melintas jembatan runtuh/ seperti untaian tasbih butiran luruh/
di deraian kelam nasib/ sayatan demi sayatan menumbuhkan darah
dan mawar/ dalam vas matahari dan kelelawar/ di rajutan jaring
laba-laba kelalaian/ keranda dilayarkan akar-akar tanah/
senyap dan dingin, sesenyap dan sedingin buah jeruk dalam
sebuah kulkas/ di antara sekeranjang buah-buahan penderitaan/
yang diperam musim demi musim kesunyian (“OMR”: 27)
Bait
ini tampak ingin bicara tentang kesedihan dan kesunyian. Namun,
pencitraan inderawi yang digunakannya lebih dominan bersifat
visual dan audial daripada sensual. Akibatnya, aura kesedihan
dan kesunyian kurang intensif, kurang menggidikkan bulu kuduk,
atau kurang mampu membawa pembaca ke dalam suasana sedih dan
sepi yang menyakitkan. Dengan kata lain, bait ini cukup lemah
untuk membuat pembacanya mengalami, merasakan situasi yang mau
ditawarkan. Pembaca hanya mampu diantarkan pada situasi
mengetahui bahwa sepi dan sunyi itu sakit. Keretakan semacam
inilah yang juga perlu ditambal pada sajak-sajak Husano yang
monumental.
Menulis
sajak dengan kata-kata yang “besar” tentu bukan hanya
kecenderungan Husano. Tetapi siapapun penyairnya perlu
menyadari apa yang pernah disampaikan almarhum Linus Suryadi,
bahwa sajak-sajak dengan kata-kata besar tak menjamin sajak
itu menjadi sajak besar. Bacalah, misalnya, nukilan sajak
Chairil Anwar “Kawanku dan Aku” yang menarik perhatian A.
Teeuw (Membaca dan Menilai Sastra, 1991: 38). Sajak ini
begitu sederhana tetapi tidak kehilangan ruh kebersahajaannya
karena ada bagian di dalamnya yang bersinggungan dengan
universalitas dan partikularitas, yaitu pertanyaan tentang
waktu: Kawanku hanya rangka saja/ Karena dera mengelucak
tenaga/ Dia bertanya jam berapa!
Dari
kelima sajak dalam antologi Bahana, hanya dua sajak
yang berhasil menjadi sajak yang tidak kausalistis. Memang hak
kreatif pengarang untuk membentuk sajaknya menjadi sedemikian
rupa, tetapi Husano adalah penyair yang menyadari bahwa
sajaknya perlu pembaca. Pembaca juga memiliki kepentingan
untuk tidak dibuat bosan oleh kehadiran leksem yang kurang
bermakna dan mengganggu intensitas bunyi sajaknya. Kata sebab
dan padanannya yang hadir dalam sajak “EE” (hlm. 28),
“KP” (hlm. 31), dan “AKSBA” (hlm. 34) menyiratkan
kehadiran jawaban yang pasti bagi setiap keadaan yang
diresponnya. Imajinasi yang dibuka ditutup kembali.
Sajak-sajak
Husano dalam kelima antologi tersebut menegaskan bahwa Husano
pernah mencoba untuk melepaskan diri dari kecenderungan
menulis puisi lirik, tetapi dia tak mampu. Sajak-sajak non-liriknya
seperti “OMR” dan “KP” dalam Bahana, sajak
“NDP” dalam Notasi Kota 24 Jam, dan sajak “AMM”
dalam Gerbang Pemukiman tampak kurang bergairah. Ada
diri yang mencoba ambil jarak dengan realitas yang dilihatnya
tetapi belum total. Jadilah ketiga puisi tersebut seolah-olah
liris.
Selain
itu intensitas personifikasi, metafora, dan kolokasi dalam
sajak Husano kurang diimbangi dengan keberagaman tema sehingga
sajak-sajaknya terkesan mengalami keterbatasan pandang.
Konsekuensi konvensi puisi lirik semacam ini perlu disiasati
agar sajak-sajak Husano yang akan datang tak melulu berkutat
dalam kubangan perasaan dan alam. Ada wilayah tema yang sangat
luas yang juga perlu dirambah, misalnya soal etnisitas,
seksualitas, modernitas, dan sebagainya.
Banjarmasin,
4 April 2005
Koran
Radar Banjarmasin, 1 Mei
2005
URL:
http://www.oocities.org/ejabudaya/esai_ziarah.html
|