ISI
Salam
Kuliah
Buku
Esai
Cerpen
Makalah
Berita

Links

 
 
 

RESENSI BUKU

Ketika Tionghoa Angkat Bicara

 

Oleh Moh. Yamin

(Pemerhati Sosial-Pendidikan & Pegiat Perbukuan FKIP Unisma Malang)

 

Judul        : Tionghoa dalam Sastra Indonesia

Penulis    : Sainul Hermawan

Penerbit  : IRCiSoD

Terbitan  : September 2005

Tebal       : 180 Halaman

 

Membincang bangsa Indonesia sama dengan mengulas ragam etnis di negeri ini. Masyarakat Tionghoa sebagai entitas dari sebuah komunitas kecil di bumi pertiwi ini menjadi satu menu perbincangan hangat dan menarik dari buku yang ditulis oleh Sainul Hermawan ini dengan berpijak pada novel Cau-Ba-Kau (CBK) karya Remi Sylado. Pendapat umum mengatakan bahwa komunitas Tionghoa merupakan satu kelompok manusia yang hadir bersama kediriannya untuk menetapkan diri selaku segolongan orang yang bermartabat, superior, berdaulat, memiliki kebebasan penuh terhadap nasibnya sendiri, tanpa adanya intervensi pihak luar, tidak pernah mau diperintah melainkan memerintah, dan seterusnya. Mereka adalah satu umat manusia kecil di negeri ini yang, secara tegas, tampil sebagai bangsa yang mandiri, otonom, independen, dan memiliki satu prinsip hidup, yakni selalu menatap arah masa depan, tanpa harus toleh kanan maupun toleh kiri. Artinya, mereka tak peduli terhadap hal-hal yang ada sekitarnya selama hal semacam tersebut tidak megganggu langkah perjalanan hidupnya ke depan. Diakui maupun tidak, Tionghoa, dalam konteks Indonesia, yang sering lebih dikenal dengan Cina tak pernah luput dari pandangan miring, liar, buruk, dan jelek bahwa mereka menginjakkan kakinya di nusantara ini sebagai bangsa yang eksploitatif, pelit, tidak pernah toleran, tidak bersolidaritas terhadap orang pribumi asli. Lebih runyam lagi, mereka suka memeras kepada bangsa manusia yang bukan rasnya. Oleh sebab itu, menjadi tidak asing lagi apabila mereka dikena stempel sebagai sosok-sosok manusia yang terkadang bisa dibilang tidak manusiawi, dan bahkan menyenangi sifat serta karakter buruk lainnya, seperti menipu, mengadu domba demi sebuah identitas kemenangan dari kelompok mereka sendiri.

Untuk itu pula, Sainul lewat buku ini mencoba menyerukan bahwa tidak semua orang Tionghoa itu adalah bejat, dan tidak bermoral. Akan tetapi, banyak pula diantara mereka yang juga berhati nurani, suka menolong, memberikan uluran tangan kepada antar sesama manusia selaku mahluk ciptaan Tuhan. Selain itu, Tionghoa juga familiar, populis, memiliki patriotisme tinggi terhadap sebuah kemerdekaan bangsa dari tangan kolonialisme dan imperalisme, sebagaimana yang terjadi pada Indonesia di masa lampau. Diatikan bahwa pada saat negeri ini dalam keadaan genting, sedang dirongrong kedaulatannya oleh Jepang. Maka, Tionghoa ikut trelibat dalam proses kemerdekaan bumi pertiwi ini menuju gerbang yang memerdekakan dan merdeka. Dibuktikan bahwa tokoh yang diketengah-tuliskan dalam buku ini adalah Tan Peng Liang. Ia adalah figur representatif dari masyarakat Tionghoa yang benar-benar berkomitmen dengan begitu maha hebatnya untuk membebaskan tanah pertiwi ini dari penjajahan Jepang. Sekali lagi, Tan Peng Liang, kendatipun bukan suku asli di negeri ini, namun ia dengan sebegitu rela dan ikhlasnya mengorbankan dan kemudian menyisihkan sebagian besar hartanya untuk pengadaan amunisi militer Indonesia melawan Jepang. Disadari maupun tidak, Tang Peng Liang ini berusaha melakukan counter-attack terhadap satu stigma buruk yang ditohokkan kepada warga Tinghoa.

Dengan kata lain, Tan Peng liang, dalam konteks ini, memerankan diri selaku mahluk bersih dan suci dari komunitas Tinghoa bahwa image buruk sejenis yang dolontarkan masyarakat itu tidak selalu benar. Lebih dari itu, ia juga mengajak masyarakat di bumi nusantara ini untuk melakukan satu refleksi bersama demi sebuah makna kemanusiaan bahwa Tionghoa bukan lagi warga masyarakat yang rakus akan sebuah harta kekayaan, yang selanjutnya selalu merajai lini perekonomian di negeri ini, suka menghalalkan segala cara demi sebuah keuntungan bisnisnya, yang bertabiat suap menyuap demi sebuah tujuan final, yakni keberhasilan dan kemenagan tertentu atas nama kelompok maupun golongan tertentu. Secara sederhananya, perbincangan-perbincangan yang kerap mendiskreditkan sekaligus memojokkan orang-orang Tionghoa ingin digeser dari peredaran pikiran dan pemikiran di republik ini. Tak kurang dari itu, upaya ini diselenggarakan dalam tingkat wacana semacam ini untuk mereduksi dan meminimalisasi sebuah opini publik yang kurang memberi ruang bagi masyarakat Tionghoa untuk menggarap satu interaksi sosial yang simbiosis-mutualistik sebagai bentuk implementasi dari sosial kemasyarakatan humanis. Dikarenakan muncul wacana meresehkan bahwa mereka tidak pernah toleran pada masyarakat yang lain. Sehingga menjadi satu keniscayaan apabila garapan-garapan konstruktif semacam ini dengan berparadigma humanitas yang bernafaskan humanisme selalu didendangkan oleh Tang Peng Liang.

Aktivitas pewacanaan semacam itu oleh Tan Peng Liang tidak hanya berhenti pada wilayah tersebut an sich. Artinya, ranah agama dan kebudayaan juga dimasukinya. Dengan perkataan lain dalam buku ini pula, digambarkan bagaimana Tang Peng Liang pada saat bersembahyang di Kalenteng sebagai ritual suci keyakinannya untuk memuja pada Sang Tuhan masih menyempatkan diri membagi-bagikan uang pada kepada sesama warga Tionghoa temasuk non-Tinghoa di luar tempat peribadatannya sebagai bentuk ikatan interrelasi sosial. Lebih dari itu, kegiatan semacam itu dilakukan untuk menanamkan satu kesan baik di tengah masyarakat bahwa Tionghoa juga merupakan golongan masyarakat yang pluralistik, inkulisif, memiliki satu keyakinan diri demi sebuah terbangunnya masyarakat madani (civil society) dengan tetap berlandaskan pada nilai hakiki ketuhanan kemanusiaan. Dengan kata lain, perbuatan baik itu merupakan sebuah pengejewatahan dari ajaran theo-anthroposentrisme. Di samping itu, sebagai masyarakat pendatang di negeri orang, Tionghoa, dalam kaca mata budaya, juga memiliki komitmen diri untuk selalu mengibarkan satu ajaran konfusianisme yang antara lain menegaskan satu hidup kebersamaan di atas rel kebenaran untuk saling memiliki, serta mengukuhkan sebuah ajaran ekonomi humanis bahwa peradaban kamanusiaan akan terbangun dengan sangat megahnya selama mereka menghadirkan diri sebagai sosok-sosok yang berbudaya, mengutip pendapat Spangler. Selain itu, mereka mengedepankan sebuah nilai keuntungan baik material maupun immaterial dalam konteks sama rata sama rasa. Untuk itu, Tionghoa menegaskan sebuah identitas diri dan kedirian sebagai bagian kecil masyarakat di negeri ini untuk menggapai sebuah cita-cita yang ber-humanistic-prospect-oriented. Dengan kata lain, profit-oriented dan value-oriented yang berasaskan pada keadilan sosial merupakan tujuan hidup yang hakiki dalam rangka memperjuangkan dan mempertahankan eksistensi sebuah bangsa, seperti Indonesia termasuk bangsa Tionghoa yang berhuni di pertiwi ini.

Harian Duta Masyarakat, 12 September 2005.

 
ANDA PUNYA RESENSI BUKU INI? KIRIMKAN KE EMAIL: sainulh@yahoo.com