FAK
|
tor |
Front Anti Kong
|
lomerat Koruptor |
http://welcome.to/faktor
http://www.egroups.com/messages/faktor
Sumber: Harian Republika , 28 & 29 Agustus 2000
Merampok Uang Rakyat
Rachmat Basoeki S.
Koordinator Front Anti Konglomerat Koruptor
Bagian Pertama dari Dua
Tulisan
Di samping mewariskan
pembangunan fisik yang bernilai positif bagi bangsa, rezim Soeharto juga
mewariskan kelemahan mentalitas bangsa, seperti tradisi korup serta hidup mewah
di kalangan elite. Untuk bisa hidup mewah, elite penguasa mempraktekkan KKN
dengan penguasa besar, melupakan kepentingan rakyat yang berakibat melebarnya
jurang antara kaya dengan rakyat jelata yang semakin hari kian bertambah miskin.
Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto memprioritaskan
pertumbuhan ekonomi nasional, economic growth, yang mengacu pada percepatan
kenaikan GNP. Soeharto menelantarkan perkembangan ekonomi nasional, economic
development, yang mengembangkan potensi ekonomi masyarakat dalam rangka
pemerataan pendapatan nasional.
Kebijakan mengejar pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi besar-besaran yang memerlukan modal besar, menyebabkan Soeharto memanjakan pengusaha-pengusaha besar (yang umumnya WNI keturunan Cina) dengan berbagai kemudahan kredit ratusan triliun rupiah dari Bank Indonesia, yang kita kenal sebagai KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia), dan juga membiarkan konglomerat itu meminjam uang besar-besaran dari luar negeri.
Kebijakan kredit besar-besaran kepada konglomerat inilah yang terbukti menghancurkan perekonomian nasional. Ketika terjadi krisis moneter, keuangan negara kosong karena dana milik negara sudah disalurkan sebagai KLBI kepada konglomerat. Para konglomerat apatriotik yang mendapat kepercayaan dana kredit raksasa justru memindahkan dana yang dikuasainya itu ke luar negeri, hal inilah yang menyebabkan krisis moneter di Indonesia menjadi paling parah.
Pada medio 1996 terjadi pemindahan lebih dari 100 miliar dolar AS milik swasta dari bank-bank di Indonesia ke bank-bank di Singapura, yang menjadi penyebab melambungnya harga dolar dan merosotnya nilai rupiah. Krisis moneter ini berlanjut menjadi krisis ekonomi dan politik yang menyebabkan rezim Soeharto runtuh.
Tapi Liem Sioe Liong, kroni Soeharto, sebelumnya sudah mengoperkan saham-saham Bogasari dan Indofood ke PT QAF. Semuanya milik Liem. Tetapi karena PT QAF berpusat di Singapura dan berbasis pada dolar, maka PT QAF terbebas dari krisis moneter yang melanda Indonesia. Ini menunjukkan bahwa Liem Sioe Liong tahu bahwa krisis akan terjadi, lalu ia memindahkan kekayaannya ke Singapura. Liem Sioe Liong telah mengkhianati Soeharto, meninggalkan Soeharto sendirian dihujat bangsanya karena selama berkuasa memanjakan konglomerat dengan memelaratkan rakyat.
Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto sebelum krisis moneter, para konglomerat Indonesia membanggakan diri sebagai motor pembangunan ekonomi nasional, tetapi ternyata pondasi ekonomi itu ternyata keropos.
Data ekonomi makro Indonesia akhir 1995 menunjukkan bahwa walaupun GNP Indonesia masih lebih baik dari Cina dan Vietnam, tetapi potensi konflik sudah terakumulasi karena kesenjangan ekonomi di berbagai komponen bangsa teramat besar, justru karena pemerintah menganakemaskan konglomerat dan tidak memberdayakan ekonomi rakyat. Kesenjangan itu terjadi antara pelaku ekonomi nasional dengan pelaku ekonomi asing. Antara golongan kaya dengan golongan miskin, teristimewa antara pribumi dengan nonpribumi.
Walaupun hasil produksi domestik kita (GDP, gross domestic product) rata-rata mencapai 3.500 dolar per orang setahunnya, tetapi yang bisa dihitung sebagai pendapatan nasional (GNP, gross national product) cuma 960 dolar per orang setahunnya. Ini berarti 2.540 dolar dinikmati investor dan kreditor asing (bandingkan Jepang yang GDP-nya 'hanya' 14.000 dolar tetapi GNP-nya mencapai 20.000 dolar berkat hasil investasinya di luar negeri).
Pendapatan nasional yang cuma 960 dolar itu ternyata tidak terbagi secara harmonis di antara kelompok warga negara. Karena 80 persen nilai aktivitas ekonomi nasional dilakukan 300 grup konglomerat saja, sedangkan selebihnya hampir dua ratus juta rakyat cuma kebagian 20 persen porsi ekonomi nasional. Dari 300 grup bisnis konglomerat itu, yang dimiliki nonpribumi ada 224 grup, sedangkan pribumi cuma diwakili 76 grup bisnis yang asetnya tidak sampai 10 persen aset konglomerat nonpribumi.
Ketimpangan makro-ekonomi ini berdampak pada hampir seluruh sektor ekonomi nasional yang melahirkan kemiskinan struktural rakyat pribumi, akibat terbatasnya akses di sektor ekonomi dan keuangan. Andaikan pendapatan nasional terbagi merata dan berkeadilan, seorang pejabat setidaknya bisa memperoleh gaji (penghasilan sah) yang mencukupi, sehingga bisa menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu melayani dan melindungi masyarakat.
Tapi sayang sekali, sebagian besar pendapatan nasional (GNP) masuk ke kantong konglomerat, sedangkan negara hanya mendapat porsi kecil GNP, sehingga negara tidak mampu menggaji pegawainya secara pantas, sehingga pada kenyataannya penghasilan resmi Lurah kita jauh di bawah rata-rata GNP.
Akibat ketimbangan distribusi pendapatan nasional, maka pada umumnya pejabat negara berpenghasilan di bawah rata-rata pendapatan nasional. Dalam keadaan seperti ini tidaklah heran jika pejabat negara (sipil dan militer) mudah 'dibeli' kalangan bisnis (yang punya banyak uang, umumnya nonpri keturunan Cina atau asing). Inilah penyebab utama korupsi dan solusi di negeri kita.
Sebagian elite bangsa yang demi kemewahan hidup pribadi mengkhianati bangsanya sendiri untuk kepentingan konglomerat koruptor yang membayarnya. Tindak kejahatan yang paling aman dan besar hasilnya adalah membobol uang rakyat bekerja-sama dengan para pembuat kebijakan moneter melalui sistem dan jaringan perbankan nasional. Menurut pengamatan penulis, aksi komplotan pembobol uang rakyat dapat dilihat melalui periodisasi berikut ini.
Periode pertama, 1985-1996: Penjarahan dana KLBI. Kedua, 1988-1996: Penjarahan oleh perbankan swasta via Pakto 88. Ketiga, 1998-1999: Penjarahan dana BLBI. Keempat, 1998: Utang dolar konglomerat ditanggung BPPN/rakyat. Kelima, 1998-1999: Penjarahan bunga deposito. Keenam, 1998-2000: Penjarahan dana rekapitalisasi. Ketujuh, 1998-2000: Penjarahan melalui BPPN.
Periode pertama
Penjarahan dana KLBI, yang merupakan pengurasan kantong BI
untuk mengisi kantong konglomerat, terjadi selama tahun 1985-1996. Setelah
terjadi pembantaian ratusan umat Islam di Tanjung Priok 1984 yang dilanjutkan
dengan penangkapan para muballigh yang dianggap keras, maka di kalangan
masyarakat timbul perasaan ketakutan dan tidak berani lagi mengadakan kritik
terhadap penguasa.
Dalam kemelut ketakutan masyarakat untuk mengeluarkan kritik itu, maka pada tahun 1985 dengan diam-diam Trio RMS (Radius-Mooy-Sumarlin) melalui BI meluncukan skim Kredit Pembauran untuk industri. Kredit besar untuk industri tanpa agunan tambahan karena agunannya adalah proyek industri yang dibiayai KLBI itu sendiri. Dengan alasan, mempercepat industrialisasi di Indonesia, kredit besar-besaran melalui KLBI dikucurkan.
Untuk mengikut-sertakan pribumi dalam pertumbuhan ekonomi, memang ada klausula yang menegaskan bahwa kredit diberikan hanya kepada perusahaan yang lebih 50 persen sahamnya dan lebih 50 persen pengurusnya adalah pribumi. Tapi pada kenyataannya, yang siap mengelola industri ialah nonpri keturunan Cina. Mereka merekrut pegawai-pegawai rendahan pribumi (seperti pekerja rumah tangga, sopir, pesuruh, dll) menjadi pemilik saham dan pengurus perusahaan.
Setelah ratusan miliar rupiah kredit pembauran dicairkan, maka para pegawai pribumi itu mendapat 'hadiah' ratusan juta rupiah dengan syarat 'menjual sahamnya' dan menarik diri dari perusahaan. Para pribumi yang tidak tahu masalah ini tentu kegirangan mendapat 'rezeki nomplok dari bos', dan selanjutnya 100 persen perusahaan jatuh ke tangan nonpri keturunan Cina.
Sudah menjadi pembicaraan umum bahwa mulai tahun 1985 di bawah kepemimpinan dewan moneter RMS (Radius-Mooy-Sumarlin) dengan operator Deputi Gubernur BI (d/h Direktur BI) Hendrobudiyanto, bermunculanlah konglomerat baru di Indonesia, akibat dikucurkannya KLBI. Presiden Soeharto yang tidak punya visi pembangunan ekonomi rakyat dan hidupnya dikelilingi para pedagang yang cuma memikirkan keuntungan materi, setuju saja pada kebijakan moneter itu, karena anak-anaknya juga mendapat kucuran KLBI.
Dalam periode 1985-1988 KLBI yang dikucurkan tidak kurang dari Rp 100 triliun, jumlah yang pasti sulit dilacak karena terbakarnya gedung tinggi BI (Jl Thamrin, Jakarta) yang penuh berisi dokumen pada Desember 1997. Sebagian besar dokumen milik 15 bank yang dilikuidasi pada November 1997 ludes dilalap api, yang menyebabkan Tim Investigasi BPK dan BPKP mengalami kesulitan menelusuri pengucuran dan penggunaan KLBI/BLBI 15 bank tersebut. Jumlah Rp 100 triliun itu amat besar, mengingat waktu itu kurs dolar Amerika 'cuma' berkisar pada angka Rp 1.000. Dengan demikian dana dari kantong negara terkuras masuk kantong konglomerat.
Periode kedua
Penjarahan dana rakyat oleh perbankan swasta akibat Pakto
88 terjadi selama 1988-1996. Setelah uang BI terkuras oleh KLBI masuk ke kantong
konglomerat, maka perlu diberikan jalan agar konglomerat bisa lebih kaya lagi.
Maka pada tanggal 27 Oktober 1988, Menteri Keuangan JB Sumarlin mengeluarkan
Pakto 88, suatu peraturan yang memberi kemudahan kepada masyarakat yang ingin
membuka dan mengembangkan bank dengan modal sangat ringan (hanya Rp 10 miliar),
dan syarat personalia yang ringan pula, sehingga kelak terbukti orang bermental
rampok bisa menjadi komisaris dan direktur bank swasta nasional.
Para pedagang dan konglomerat yang berkat Pakto 88 mendadak menjadi bankir yang tidak berjiwa prudent (bijaksana dan berhati-hati), kemudian terbukti berperan besar dalam menghancurkan fondasi ekonomi nasional dan moneter.
Rakyat ditipu untuk menyimpan uang di berbagai bank swasta dengan iming-iming bunga menarik, ditambah hadiah, tetapi sedikit sekali rakyat yang memperoleh kredit bagi usahanya yang produktif. Setelah berhasil menghimpun dana yang amat besar dari masyarakat, sebagian besar dananya disalurkan ke grup perusahaan sendiri. Praktek jahat melanggar BMPK ini di negara maju merupakan suatu kejahatan besar yang dihukum pidana dan bankirnya menjadi bahan cemoohan masyarakat, sedangkan di Indonesia cukup dengan KUHP: Kasih Uang Habis Perkara.
Dengan cara kedua ini akhirnya bukan hanya kantong BI yang dikuras, tapi juga kantong rakyat diperas ke kantong konglomerat melalui jalur perbankan.
Penulis:
Rachmat Basoeki Soeropranoto
Koordinator Front Anti Konglomerat Koruptor Jakarta
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan
Periode ketiga
Penjarahan dana BLBI, yang merupakan pengurasan kantong BI
sampai bangkrut oleh konglomerat berlangsung selama 1998-1999. Pemilik bank
swasta yang berdiri akibat dilonggarkannya peraturan pendirian bank melalui
Pakto 88, memanfaatkan bank miliknya itu justru untuk menghimpun dana masyarakat
untuk disalurkan kepada grup usahanya sendiri. Ketika kreditnya macet (atau
sengaja dibikin macet), maka terjadilah rush, pengambilan besar-besaran dana
simpanan oleh para nasabahnya.
Dengan dalih mencegah hancurnya sistem perbankan dan perekonomian nasional, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sangat melindungi dan menguntungkan para bankir jahat. Kebijakan tersebut adalah Keppres No 24 dan No 26 tahun 1998 tentang jaminan pemerintah atas uang masyarakat yang disimpan di bank-bank pemerintah maupun swasta serta pemberian jaminan atas kewajiban bank di dalam negeri kepada nasabah maupun kepada kreditor di luar negeri berdasarkan Frankfurt Agreement. Pada bulan Juni 1998, pemerintah membayar utang bank swasta nasional dengan dana segar 1 miliar dolar kepada bankir luar negeri tanpa verifikasi BPK/BPKP.
Dalam memenuhi kewajiban pemerintah tersebut, maka BI menyediakan dana talangan yang direalisasikan dalam bentuk fasilitas BI yang lebih dikenal dengan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). BLBI ini dikucurkan kepada bank-bank nasional dengan syarat yang sangat ringan dan prosedur yang mudah.
Peluang emas ini dimanfaatkan secara optimal oleh para bankir jahat yang memang sudah ikut membidani (kolusi dengan berbagai pejabat negara) lahirnya kebijakan ini, sehingga dalam waktu yang relatif singkat terkucurkan dana BLBI sebesar Rp 164,54 triliun hanya untuk 54 bank nasional pada posisi 29 Januari 1999. Utang pokok BLBI itu antara lain diterima Syamsul Nursalim (BDNI) sebesar Rp 37,040 triliun, Soedono Salim alias Liem Sioe Liong (BCA) Rp 26,596 triliun, Usman Admajaya (Bank Danamon) Rp 23,050 triliun, Bob Hasan (BUN) Rp 12,068 triliun, dan Hendra Rahardja (BHS) Rp 3,866 triliun.
Sejak 29 Januari 1999 dari jumlah BLBI sebesar Rp 164,54 triliun tersebut, sebesar Rp 144,54 triliun di antaranya dialihkan oleh BI kepada pemerintah dalam hal ini BPPN. Sedangkan Rp 20 triliun lainnya menjadi penyertaan modal pemerintah (PMP) pada PT BEII (Persero). Dengan demikian sejak tanggal tersebut dana BLBI beserta bunganya menjadi beban dan tanggung jawab pemerintah, berarti beban rakyat.
Hasil audit investigasi BPK menunjukkan bahwa potensi kerugian negara mencapai 138,4 triliun atau 95,8 persen dari total BLBI sebesar Rp 144,5 triliun yang dikucurkan per 29 Januari 1999. Sebesar Rp 138 triliun adalah BLBI yang disalurkan menyimpang, lalai, dan sistemnya lemah.
Total BLBI yang diselewengkan bankir nakal, konglomerat korupto, mencapai Rp 84,5 triliun atau 58,7 persen dari Rp 144,5 triliun BLBI. Jenis penyimpangannya meliputi penggunaan BLBI untuk kepentingan grup sendiri, melunasi pinjaman, membiayai kontrak derivatif baru, ekspansi kredit, dan investasi seperti membuka cabang baru.
Harus dicatat bahwa kecuali pemerintah Indonesia, tidak ada pemerintah di seluruh dunia pun yang berani mengambil-alih utang bank swasta. Di luar negeri kalau terjadi rush yang mengakibatkan suatu bank menjadi bangkrut, maka pemerintah tidak campur tangan. Pemilik bank yang bangkrut harus mengembalikan semua simpanan nasabah dan semua utangnya. Kalau tidak sanggup, maka pemerintah akan melakukan tindakan hukum.
Periode keempat
Akibat krisis moneter sejak tahun 1997, karena tidak mampu
menanggulangi krisis ekonomi yang melanda tanah air, akhirnya pada tahun 1998
Soeharto menyerahkan penyelesaian krisis ekonomi kepada Dana Moneter
Internasional (IMF). Di depan 'dokter' IMF terbongkarlah borok-borok
perekonomian Indonesia yang selama ini ditutup-tutupi. Ternyata pemerintah punya
utang luar negeri sebesar 60 miliar dolar. Yang lebih hebat lagi, para
konglomerat Indonesia punya utang di luar negeri yang lebih besar dari
pemerintah yaitu sebesar 75 miliar dolar.
Kreditor swasta luar negeri meminta bantuan dari pemerintah negaranya masing-masing untuk menagih piutang mereka yang macet pada konglomerat Indonesia. Pemerintah asing kemudian menalangi uang pinjaman para kreditor swasta, warga negaranya. Selanjutnya pemerintah negara asing itu menekan Indonesia untuk dapat mengambil alih utang swasta.
Demikianlah akhirnya pemerintah mengalih-alih utang konglomerat kepada kreditor luar negeri. Pemerintah mengambil alih tanggung jawab utang kepada luar negeri, sedangkan konglomerat yang punya utang ke luar negeri mengalihkan utangnya kepada pemerintah -- BPPN. Berdasarkan Frankfurt Agreement, pada bulan Juni 1998, pemerintah membayar utang bank swasta nasional dengan dana segar 1 miliar kepada bankir luar negeri tanpa verifikasi BPK/BPKP.
Pemerintah Indonesia yang begitu santun kepada para konglomerat yang sebelumnya sudah menerima 'seabreg' fasilitas dari rezim Soeharto. Mereka berutang ke luar negeri tanpa minta persetujuan lebih dulu dari pemerintah, tetapi ketika utangnya macet, kewajibannya kemudian diambilalih pemerintah, tentunya dengan uang milik rakyat yang semakin miskin dan sengsara.
Utang konglomerat kepada luar negeri yaitu sebesar 75 miliar dolar. Dengan kurs Rp 8.000, jumlah itu mencapai Rp 600 triliun. Utang sebesar itulah yang harus ditanggung rakyat, padahal dengan biaya beberapa triliun rupiah saja krisis Aceh, Ambon-Maluku, Poso, Irian Jaya dan daerah-daerah lain bisa diselesaikan dengan pembangunan proyek-proyek sosial ekonomi yang memberdayakan rakyat.
Periode kelima
Penjarahan dana rakyat melalui rekapitalisasi berlangsung
selama 1998-1999. Adalah penting jika bank-bank BUMN milik pemerintah
direkapitalisasi alias diberi suntikan tambahan modal untuk bisa melakukan
aktivitas perbankan dengan normal. Tetapi bank-bank nasional swasta yang sudah
menyelewengkan dana KLBI dan BLBI maupun melanggar BMPK untuk kepentingan
usahanya sendiri kemudian direkapitalisasi. Apa gunanya bagi rakyat?
Soal rekapitalisasi bank-bank swasta nasional, pemerintah sudah terjebak Keppres No 24 dan No 26 Tahun 1998. Lang kah apapun yang akan dipilih, pemerintah harus memikul beban yang berat. Bila dilikuidasi, pemerintah harus menyediakan (mengeluarkan) biaya lebih dari Rp 600 triliun. Bila direkapitalisasi harus menyediakan biaya lebih dsari Rp 400 triliun.
Untuk membiayai dana rekapitalisasi tersebut, pemerintah telah (dan akan) menerbitkan obligasi seluruhnya senilai Rp 430 triliun. Dari obligasi yang sudah diterbitkan dan sudah dimasukkan sebagai aset produktif bank-bank yang sakit -- sebagaimana tercantum dalam penjelasan APBN tahun 2000 -- bunga obligasi yang akan dibayar oleh pemerintah dan telah dibebankan pada APBN tahun 2000 tercatat sebesar 42 triliun. Dan yang akan dibebankan pada APBN tahun 2001 berjumlah Rp 80 triliun.
Tapi ternyata Menko Ekuin Kwik Kian Gie di SCTV 4 Agustus 2000 pukul 22.30 WIB menyatakan bahwa pemerintah dalam rangka rekapitalisasi sudah menerbitkan obligasi sebesar Rp 650 triliun dengan bunga atas beban APBN 2000 sebesar Rp 42 triliun.
Program rekapitalisasi melalui penerbitan obligasi ini ternyata tidak mampu menggerakkan roda perekonomian nasional yang sudah lama lumpuh, hanya mampu memperbaiki posisi CAR-nya. Hal ini karena obligasinya tidak (atau kurang) likuid sehingga sulit dicairkan (dijual) di pasar modal. Sementara itu negara (rakyat) tetap harus menanggung beban bunganya.
Kebijaksanaan pemerintah mensubsidi para konglomerat lewat program kekapitalisasi perbankan sangat tidak adil dan melukai hati rakyat bila mereka tahu. Para konglomerat yang sudah terbukti membuat ekonomi Indonesia berantakan malah mendapat suntikan modal ratusan triliun rupiah (yang sebelumnya telah berhasil membobol uang rakyat melalui BLBI sebsear Rp 164,54 triliun). Sementara subsidi untuk perekonomian rakyat banyak, seperti pengadaan pupuk untuk puluhan juta petani sebesar Rp 3 triliun saja malah dicabut.
Seharusnya pemerintah tidak boleh begitu saja mengalokasikan pengeluaran sejumlah dana sebagai biaya bunga obligasi pada APBN guna menyuntik bank-bank yang bermodal minus. Ini harus ada batasan karena ini menggunakan uang rakyat. DPR juga harus secara tegas menolak kebijakan pemerintah ini. Ketua BPK Satrio B Joedono dalam laporan investigasi BPK atas BLBI menyatakan bahwa negara terancam rugi Rp 138 triliun akibat dana BLBI yang disalurkan secara ngawur -- baik oleh BI maupun bank swasta penerima BLBI.
Di republik ini memang aneh. Banyak bank-bank yang dilikuidasi, di-BBO-kan, di-BTO-kan, atau di-BBKU-kan atau artinya bangkrut, tapi para bankir (pemilik dan pengelolanya) hidup supermewah, bebas berkeliaran berpesta-ria.
Kalau keadaan ini dibiarkan, bukan hal yang musthail para bankir nakal, para pejabat BI, dan para oknum penegak hukum ber-KKN dalam merampok uang rakyat melalui sistem dan jaringan perbankan nasional ini akan ramai-ramai diseret, dikeroyok, dan dibakar massa. Sekarang ini itu belum terjadi, karena sebagian besar rakyat tidak tahu besarnya uang yang dirampok oleh para konglomerat dengan cara tindak kejahatan melalui sistem dan jaringan perbankan.
Periode keenam
Penjarahan melalui BPPN -- dengan korting besar-besaran
utang konglomerat -- berlangsung selama 1998-2000. Dalam upaya penyehatan
perbankan nasional, BPPN mengelola aset pemerintah pada perbankan. Ini mencakup
tagihan BLBK/BLBI (Rp 217,53 triliun), tagihan pada BBO, BTO, bank rekap, dan
bank BUMN (Rp 194,66 triliun), aset eks pemegang saham BBO dan BTO (Rp 112,02
triliun), dan aset pemerintah di bank-bank rekap (Rp 103,70 triliun). Total aset
yang dikelola BPPN Rp 618,13 triliun.
Kinerja BPPN yang dibentuk berdasarkan Keppres No 26 Tahun 1998 perlu dipertanyakan, lebih-lebih setelah di bawah kepemimpinan Cacuk Sudarijanto (mantan Dirut PT Telkom). Walaupun menghabiskan biaya negara yang amat besar, tampaknya BPPN bekerja bukan untuk kepentingan negara tetapi untuk kepentingan konglomerat yang telah mencuri ratusan triliun rupiah uang rakyat.
Keberpihakan BPPN pada kepentingan konglomerat tampak jelas dalam materi Master Settlement of Acquisition Agreement (MSAA) antara bankir dengan BPPN. Itu merupakan langkah-langkah yang sangat merugikan rakyat dan menguntungkan konglomerat, antara lain disepakati ''bila aset yang dijual tidak cukup untuk melunasi utang konglomerat maka BPPN atau negara yang akan menanggung kekurangannya''.
Berdasarkan MSAA itu, Presiden Gus Dur menyetujui usul rencana Kepala BPPN Cacuk Sudarijanto untuk menjual PT Holdiko Perkasa (HP) dengan harga paket Rp 20 triliun. Padahal PT HP adalah aset eks Salim Group yang sudah diserahkan kepada BPPN sebagai jaminan utang mereka kepada negara. Ketika MSAA ditandatangani keselurhan aset eks Salim Group itu dinyatakan bernilai Rp 51 triliun. Ini berarti negara (dan rakyat) akan mengalami kerugian sebesar Rp 31 triliun. Apalagi kemudian diketahui pula bahwa calon pembeli PT HP dengan harga murah itu ternyata keluarga Salim (Liem Sioe Liong) sendiri.
Menko Ekuin Kwik Kian Gie menyatakan menolak usulan Kepala BPPN Cacuk Sudarijanto untuk menjual PT HP dengan harga murah di bawah persetujuan MSAA. Karena itu Kwik meminta agar MSAA yang menguntungkan konglomerat nakal ditinjau lagi dan diganti dengan peraturan yang lebih rasional. Bila kesepakatan ini benar-benar dilaksanakan dan tidak dibatalkan, maka menurut Menko Ekuin Kwik Kian Gie, negara akan menderita kerugian Rp 80 triliun.
Periode ketujuh
Perampokan melalui bunga deposito yang tinggi (sementara
dana KLBI dan BLBI dengan bunga rendah didepositokan oleh konglomerat)
berlangsung selama 1998-2000. Belum puas para konglomerat menguras uang
pemerintah melalui KBLI, BLBI, dan penarikan dana masyarakat melalui bank-bank
swasta, BI menaikkan suku bunga SBI hingga mencapai 58 persen. Dengan demikian
bunga simpanan deposito sangat tinggi, mencapai 60 persen.
Bukan hal yang tidak mungkin, dana BLBI yang disalurkan kepada bank-bank swasta nasional dengan bunga hanya 3 persen kemudian didepositokan dengan bunga tinggi di bank BUMN dengan menggunakan nama orang lain (karena ada jaminan bahwa simpanan deposito di bank tidak akan diusut asal-usulnya, berapa pun jumlahnya).
BI harus membayar bunga SBI dalam jumlah triliun rupiah, bank-bank utamanya bank BUMN harus membayar bunga deposito kepada para deposan dalam jumlah yang sangat besar. Sementara itu bank-bank tidak dapat menyalurkan kreditnya karena bunga kredit sangat tinggi (diselaraskan dengan bunga deposito). Akibatnya, banyak bank yang mengalami negative spread, alias mengalami kemunduran modal dan kinerja. Terutama bank-bank BUMN mengalami kerugian triliun rupiah.
Seluruh bank nasional nyaris kekurangan modal, CAR-nya banyak yang di bawah 0 persen bahkan di bawah minus 60 persen. PT Bank Mandiri perlu disuntik biaya rekapitalisasi Rp 178 triliun, Bank BNI Rp 61,8 triliun, BRI Rp 29 triliun, BTN Rp 14 triliun, dan lain-lain.
Dan yang lebih menyedihkan, para perampok duit rakyat itu ketika menyadari iklim usaha sudah tidak kondusif lagi, mereka pun memindahkan sebagian besar usahanya ke negeri seberang. Membawa lari uang dan teknologi dari Indonesia ke Cina kemudian mengekspor hasil produksinya ke Indonesia, sebagaimana dilakukan Sjamsul Nursalim (Gadjah Tunggal Group) -- yang mendirikan pabrik popok bayi di Cina dan memasarkannya di Indonesia.
Celakanya lagi, pemerintah nampaknya tidak mau (atau tidak bisa) bersikap tegas kepada mereka (para konglomerat koruptor), bahkan justru pemerintahlah yang 'disandera' oleh para pencuri uang rakyat itu. Walaupun banyak utang tetapi konglomerat koruptor punya uang tunai, sedangkan pemerintah walau punya banyak aset piutang tetapi tidak punya uang cash di kantong.
Sekarang ini pada saat rakyat banyak hidup melarat, melimpahnya pengemis dan pengamen di jalan-jalan, para perampok uang rakyat justru hidup mulia dan sejahtera dilindungi centeng-centengnya yaitu aparat pemerintah yang seharusnya menangkap mereka.
Indonesia terancam disintegrasi, padahal hanya dengan dana beberapa triliun rupiah kita bisa membangun proyek sosial ekonomi di Aceh, di Ambon-Maluku, di Poso, di Irian Jaya dan di daerah-daerah lain yang bisa meredam konflik sosial. 'Rekapitalisasi sosial ekonomi masyarakat miskin' sama sekali tidak dilakukan pemerintah, tetapi ratusan triliun rupiah dikucurkan pemerintah untuk 'rekapitalisasi dan revitalisasi konglomerat perampok' yang telah menyengsarakan rakyat. Inikah tujuan reformasi? Quo Vadis Indonesia?
Penulis:
Rachmat Basoeki Soeropranoto
Koordinator Front Anti Konglomerat Koruptor Jakarta
http://welcome.to/faktor
http://www.egroups.com/messages/faktor