Inilah tempat proyek yang akan dijadikan
Bendungan Jatigede. Terletak di Desa Jatigede Kec. Jatigede Kab.Sumedang
Jawa Barat. Proyek ini telah berlarut-larut hingga memberikan dampak
sosial yang cukup serius bagi warga di daerah Jatigede. Dampak itu
terjadi pada berbagai bidang baik sosial, ekonomi maupun psikologis
penduduk Jatigede.
Banyak sekali artikel mengenai Jatigede
yang mengulas baik dari sejarah, rencana proyek, penolakan warga,
pembayaran serta artikel lainnya. Selain itu issue mengenai peninggalan
nenek moyang Sumedang larang yang berada dikawasan Jatigede yang akan
menjadi lokasi waduk.
Dua puluh tahun sudah rencana pembangunan
Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang, terkatung-katung. Padahal persiapannya
telah berlangsung sejak tahun 1983. Tahun 1984-1985 mulai terselenggara
ganti rugi. Para pemilik tanah di tiga kecamatan (Wado, Cadasngampar,
Darmaraja) yang akan terendam jika kelak bendungan sudah terwujud,
menerima sejumlah uang dan berangkat transmigrasi ke luar Jawa. Hanya
sebagian kecil yang masih bertahan, dan sebagian lagi memilih pindah
ke desa-desa lain masih di Kabupaten Sumedang.
Jalan baru antara Tolengas-Jatigede telah terbentang, luas dan beraspal
mulus. Alat-alat berat, tenaga teknisi, pekerja lapangan dan sebagainya,
berseliweran tiap saat. Suasana sepi daerah terpencil yang berhutan
lebat itu, berubah menjadi sibuk dan ramai. Situs Marongge, yang dipercaya
sebagai pusat "ilmu pelet" (pekasihan) makin banyak dikunjungi
para peziarah, karena letaknya persis di pinggir jalan baru Tolengas-Jatigede
yang mirip tol itu.
Tapi entah mengapa, bendungan yang ditunggu-tunggu tak pernah muncul,
hingga bertahun-tahun, bahkan hingga dua puluh tahun! Jalan "tol"
Tolengas-Jatigede telah kembali rusak. Lebih rusak daripada sebelum
diperluas dan dipermulus. Bangunan-bangunan infrastruktur di sekitar
bakal bendungan pun terbuang begitu saja. Mirip rumah hantu, sebelum
roboh sendiri akibat tidak terurus. Para pemilik tanah yang sudah
menerima ganti rugi, dan sudah bertransmigrasi, banyak yang pulang
kampung.
Kabar tentang bendungan Jatigede simpang siur antara batal dan tidak.
Semua samar dan penuh tanda tanya. Yang menjadi korban langsung adalah
daerah setempat dan para penghuninya. Terkucilkan dari derap laju
pembangunan fisik rutin. Tak ada aliran "listrik masuk desa"
(LMD), sebab terhambat oleh rencana pembangunan bendungan. Tak ada
perbaikan jalan dan jembatan, karena akan sia-sia jika nanti bendungan
muncul. Salah satu contoh yang paling nyata adalah Kampung Jemah,
Desa Jatigede, Kecamatan Cadasngampar. Muram dan kusam, dengan rumah-rumah
tua dan penghuninya yang terombang-ambing dalam penantian. Jika bendungan
Jatigede selesai, Kampung Jemah merupakan kawasan yang paling dulu
tergenangi air.
Pemerintah juga ikut menanggung beban derita. Berapa juta dana yang
sudah dikeluarkan untuk ganti rugi tanah masyarakat? Hingga tahun
1990, masih banyak plang terpancang, bertuliskan "Tanah Milik
Negara", sebagai pertanda telah diberikan ganti rugi dan kepemilikannya
beralih. Sekarang semua tanda itu telah hilang, dan tak sedikit tanah
yang digarap lagi oleh bekas pemiliknya dulu.
Awal tahun 2000, isu Jatigede kembali menghangat. Konon pemerintah
telah siap untuk melanjutkan rencana yang sudah terbengkelai dua puluh
tahunan itu. Kesibukan-kesibukan mulai tampak lagi. Terutama dalam
hal saling lempar pernyataan. Di satu pihak ada yang optimis, pembangunan
bendungan Jatigede akan segera dilaksanakan karena berbagai kebutuhan
mendesak. Antara lain pencegahan banjir di wilayah Pantai Utara, penyediaan
air untuk irigasi dan bisnis, dan sebagainya. Di pihak lain, beredar
keraguan yang berkaitan dengan kemampuan anggaran, manfaat jangka
panjang, dugaan korupsi dan kolusi dalam proses ganti rugi, dan sebagainya.
Termasuk kekhawatiran mengenai kerusakan lingkungan yang akan berdampak
luas terhadap aspek ekologi dan budaya setempat.
Pendapat terakhir ini, diutarakan oleh Dewan Pengamat Kelestarian
Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), yang terjun ke lokasi Jatigede, Rabu
(10/3).Waduk Jatigede, yang akan membendung aliran air Sungai Cimanuk
di Jatigede, Kecamatan Cadasngampar, Kabupaten Sumedang, memang selalu
mengundang kontroversi. Bukan sekarang saja. Tapi sejak zaman kolonial
dulu. Berdasarkan penuturan penduduk setempat, membendung Sungai Cimanuk
sudah direncanakan pada akhir abad 19, di tiga tempat. Yaitu Bakom,
Kecamatan Selaawi, Kabupaten Garut, Beureumbeungeut Cipasang, Kecamatan
Cibugel, Kabupaten Sumedang, dan Jatigede. Beureumbeungeut ditangguhkan
karena mendapat penolakan dari para pengusaha perkebunan Ganjartemu,
sebuah perkebunan teh dan sayuran terbesar di perbatasan Garut-Sumedang
hingga tahun 1920-an. Sebab jika Sungai Cimanuk di Beureumbeungeut
dibendung, ribuan hektare tanaman teh dan sayuran yang amat subur
dan produktif akan lenyap terkena genangan. Pembatalan Beureumbeungeut
berarti pembatalan Bakom yang akan menjadi "filter" bagi
pasokan air ke bendungan Beureumbeungeut. Akibat selanjutnya, pemerintah
kolonial terpaksa menangguhkan Jatigede, sebab tanpa Bakom dan Beureumbeungeut,
peran dan fungsi Waduk Jatigede tidak akan optimal, mengingat tak
ada "filter" berupa dua bendungan lebih kecil di sebelah
hulu.
Penduduk pedesaan Sumedang menyebut kegagalan dan penangguhan pembuatan
bendungan Beureumbeungeut dan Bakom, sebagai tacan nincak kana uga
(belum tiba saatnya yang tepat sesuai isyarat ramalan). Berdasarkan
folklore (cerita rakyat) setempat, yang dicatat pada kegiatan pengumpulan
folklore "Tahun Buku Internasional Unesco" 1972, uga mengenai
bendungan di Sungai Cimanuk berbunyi: Beureumbeungeut disieuh-sieuh,
Jatigede diengke-engke, nunggu gugur kana siwur. Artinya, Beureumbeungeut
ditolak mentah-mentah oleh kalangan pengusaha perkebunan yang takut
kehilangan untung, sehingga Jatigede dibiarkan berlama-lama dalam
ketidakpastian, seraya menunggu masuknya air curahan hujan lebat ke
dalam gayung. Yang mengandung arti, bersih dari gejala dan kecenderungan
projek (Jatigede) dari korupsi dan kolusi. Dalam makna lebih luas,
bendungan di Sungai Cimanuk, baik Beureumbeungeut maupun Jatigede
akan terwujud kelak jika semua pihak sudah memiliki kejujuran dan
ketulusan.Revitalisasi sungai Bagaimana pun juga, aroma korupsi (sempat)
merebak di seputar rencana.