Artikel GARDA ERA

Home
Perpustakaan 
Artikel


 




RAPBN 2002 dan Agenda Penghapusan Utang LN
Oleh Davy Hendri

Hari-hari ke depan merupakan masa yang sangat sulit bagi kabinet Gotong Royong di bawah kepemimpinan duet Megawati-Hamzah Haz. RAPBN adalah ujian pertama di lapangan riil perekonomian bagi kepemimpinan duet ini setelah ujian di lapangan politik dalam penyusunan kabinet. Sama halnya dengan susunan kabinet; berbagai pihak seperti masyarakat umum, pengusaha, pemerintah maupun pihak luar negeri (investor dan kreditor); berharap bahwa kepentingan mereka yang beragam dapat terakomodasi di dalamnya.

Secara umum APBN akan memberikan gambaran prestasi makroekonomi pemerintah yang diukur menurut indikator: laju inflasi, laju petumbuhan output dan tingkat pengangguran. Oleh karena itu tugas pokok pemerintah kemudian adalah menyelaraskan atau mengharmoniskan pencapaian target laju inflasi yang rendah, pertumbuhan output yang tinggi dan menurunkan tingkat pengangguran.

Dilema kebijakan
Namun seringkali tujuan-tujuan makroekonomi tersebut tidak dapat dicapai secara bersamaan, terlebih dalam kondisi perekonomian yang tidak stabil belakangan ini. Sebagaimana diketahui, ada permasalahan kritis dalam makroekonomi yang telah tercipta sejak dimulainya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 yang akan menjadi PR (pekerjaan rumah) berat bagi tim ekonomi kabinet sekarang. Realitas saat ini memperlihatkan bahwa setidaknya ada dua tujuan makroekonomi yang saling berbenturan (trade-off).

Di satu sisi terjadi stagnasi (pertumbuhan) perekonomian yang ditunjukkan oleh indikator penurunan tingkat pertumbuhan perekonomian yang parah (bahkan mencapai minus) dan tingkat pengangguran yang luar biasa tinggi (menurut perkiraan kasar beberapa kalangan mencapai 40 juta jiwa). Sementara itu, di sisi lain keadaan tersebut dibayangi oleh defisit yang sangat besar dalam anggaran negara dan tingginya tingkat inflasi (akibat dorongan kenaikan suku bunga).

Hal ini menimbulkan dilema dalam pengambilan kebijakan. Masalah stagnasi pertumbuhan memerlukan kebijakan ekspansi untuk mengatasinya, sehingga akan tercapai peningkatan pendapatan nasional pada level yang diinginkan. Sedangkan defisit anggaran justru mensyaratkan kebijakan kontraksi untuk penghematannya. Kebijakan-kebijakan itulah nantinya yang akan diterjemahkan melalui berbagai instrumen di lapangan perekonomian secara riil. Analisa proses benturan tujuan makroekonomi ini sangat berguna sekali untuk memberikan gambaran dan pemahaman tentang bagaimana terjadinya proses tarik-menarik kepentingan dalam penyusunan APBN itu sendiri.

Keseimbangan internal
Setidaknya sampai saat ini pertanyaan tentang seberapa besarkah sektor pemerintah yang dapat ditolerir, sangat relevan untuk dibicarakan di sini. Sebagaimana diketahui bahwa dalam teori makroekonomi pada perekonomian terbuka, pertumbuhan ekonomi nasional (pendapatan) dari sisi permintaan digerakkan oleh empat pelaku, yaitu pertama, masyarakat dengan permintaan konsumsinya (consumption), kedua, swasta dengan permintaan investasinya (investmen), ketiga, pemerintah dengan permintaan untuk kebutuhan program rutin dan pembangunannya (Government Expenditure) dan keempat, pihak luar negeri (LN) dengan selisih kelebihan permintaannya atas barang dalam negeri (Net Export).

Di masa stagnasi, dua pelaku : yaitu masyarakat dan swasta, tidak lagi mempunyai kemampuan yang dapat diharapkan untuk turut menggerakkan perekonomian. Menurunnya daya beli masyarakat dan tingkat tabungan menyebabkan efek multiplier dari pertumbuhan permintaan tidak terjadi, karena bagaimanapun, menurut Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah, tingkat produksi domestik dan neraca pembayaran yang positif dari negara tersebutlah yang menjadi motor penggerak pembangunan, menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan dan menimbulkan permintaan atas faktor produksi lainnya. Oleh karenanya pelaku pemerintah dan masyarakat LN sangat diharapkan untuk mengisi kekosongan peran tadi.

Amatlah logis rasanya ketika pengangguran mencapai jumlah terbesar dalam sejarah perekonomian bangsa, pemerintah lebih meningkatkan pengeluarannya dengan tujuan penciptaan lapangan pekerjaan sebesar-besarnya. Ditambah lagi fakta masalah-masalah sosial yang aktual seperti "luka-luka" akibat ketimpangan dan disintegrasi sosial yang sangat menonjol akhir-akhir ini di tengah-tengah masyarakat. Untuk meredam dan menyembuhkan segala luka tadi tentulah memerlukan transfusi dari donor dalam bentuk supply bantuan dan subsidi (transfer) yang sangat besar kepada masyarakat oleh pemerintah.

Sementara itu, upaya untuk menciptakan neraca pembayaran yang positif (sesuai teori Ibnu Khaldun) melalui surplus perdagangan dengan menggenjot pertumbuhan ekspor dan mengerem laju impor tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dalam struktur perekonomian dunia yang terbuka dan terintegrasi seperti sekarang, determinan-determinan pertumbuhan ekspor bukan hanya ditentukan oleh kebijakan dan besaran perekonomian domestik semata. Banyak determinan-determinan lain yang tidak bisa dikontrol oleh pemerintah suatu negara seperti pendapatan masyarakat LN dan tingkat kurs yang akan membentuk pola hubungan perdagangan dan neraca perdagangannya dengan berbagai negara lain. Oleh karenanya, keseimbangan internal suatu negara sangat dipengaruhi secara dominan oleh keseimbangan eksternal yang tercipta dari pola hubungannya dengan negara-negara sebagai mitra lainnya.

Sebagai contoh, kejadian-kejadian tahun 1970 dan 80-an, terutama kenaikan harga minyak mentah, tingginya suku bunga dan resesi di negara-negara maju serta melemahnya harga komoditi, memberi sumbangan besar pada penciptaan utang negara-negara miskin. Setelah naik 12 % per tahun dari tahun 1970 sampai 80-an, harga komoditi anjlok secara tajam di awal tahun 80-an (IMF, 2000). Selama tahun 1996, hal ini berulang kembali.

Mitra dagang utama negara-negara di Asia Timur yaitu Jepang dan negara-negara Amerika Latin, dilanda resesi. Sementara itu penguatan (apresiasi) nilai mata uang Yen Jepang secara berlebihan (overvalued), juga membuat hancurnya perdagangan komoditi ekpor berbasis barang impor (bahan baku dan antara) yang tinggi dari negara-negara mitra dagang utama Jepang (ADB, 1999). Negara-negara tadi kemudian mengkompensasikan penurunan neraca perdagangannya dengan cara meningkatkan pinjaman luar negeri.

Keseimbangan eksternal
Di sisi lain, pemerintah haruslah menjaga hubungan baik dan memenuhi komitmennya dalam LoI (Letter of Intent) dengan IMF (International Monetary Fund) yang dipercaya mewakili suara dan menjadi acuan (benchmark) para kreditor LN lainnya. Penekanan pada aspek moneter dalam penafsiran masalah keseimbangan eksternal (neraca perdagangan sama dengan nol) yang biasa disebut sebagai pendekatan moneter sudah lama digunakan secara luas oleh IMF dalam analisis dan pola kebijakan ekonominya untuk negara-negara yang mengalami kesulitan neraca pembayaran. Rekomendasi utama sebagai prasyarat yang diminta IMF untuk menjaga kestabilan keseimbangan eskternal mengharuskan pemerintah untuk menjalankan kebijakan kontraksi di bidang moneter.

Sementara itu di sisi lain, pilihan keputusan ini juga mendorong instabilisasi keseimbangan internal domestik (output berada pada tingkat penggunaan tenaga kerja penuh). Selain dengan upaya kontraksi moneter melalui instrumen TMP (Tight Money Policy) atau kebijakan uang super ketat, pada ujungnya siklus ini juga harus didukung oleh upaya pengetatan fiskal untuk menurunkan defisit anggaran. Rekomendasi ini ditempuh untuk menghindarkan dan meringankan beban pemerintah agar tidak semakin jauh terperosok pada perangkap utang luar negeri (debt trap) yang semakin parah. Karena walau bagaimanapun, sebagai ukuran keberhasilan program asistensinya, IMF sangat berkepentingan agar semua kewajiban utang LN Indonesia dapat dibayarkan kembali tepat pada waktunya. Untuk itu, sebagai sebuah institusi bisnis yang sangat besar di bidang keuangan, kredibilitasnya di mata dunia Internasional menjadi taruhan.

Sebagai konsekuensinya masalah-masalah ini berdampak pada dua hal penting. Pertama, pemotongan berbagai belanja pemerintah (baik rutin maupun pembangunan) dan transfer kepada masyarakat. Hal ini telah dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan pencabutan berbagai subsidi komoditi yang populer di masyarakat seperti pupuk dan BBM (Bahan Bakar Minyak) dan juga menaikkan TDL (Tarif Dasar Listrik). Kedua, upaya super keras untuk menciptakan surplus anggaran. Upaya ke arah ini juga sedang ditempuh oleh pemerintah dengan jalan perluasan pengumpulan pajak, penjualan aset-aset BPPN dan privatisasi BUMN.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mungkin peningkatan pendapatan domestik dapat dicapai pada saat yang bersamaan dengan kenaikan inflasi (suku bunga). Secara sederhana nampaknya jawaban dari pertanyaan itu adalah dengan menggunakan bauran (mix policy) kebijakan fiskal yang ekspansif untuk meningkatkan permintaan agregat ke arah penggunaan tenaga kerja penuh (full-employment) dan kebijakan moneter yang kontraktif untuk mengurangi jumlah uang primer yanmg beredar di tengah masyarakat. Namun pada akhirnya muara analisis dari kedua solusi ini tetap satu saja yaitu tumpukan utang (terutama utang LN) yang semakin membesar dari waktu ke waktu (Dornbusch, 1994).

Laju pertumbuhan utang pemerintah yang sangat cepat ini (terutama utang LN) telah menjadi pokok perdebatan mengenai anggaran belanja pemerintah. Tanpa adanya langkah kebijakan guna mengendalikan defisit anggaran belanja tersebut, tampaknya ada prospek nyata bahwa rasio utang tersebut terhadap pendapatan akan terus bertambah. Karenanya, banyak orang khawatir bahwa defisit anggaran dan utang pemerintah yang semakin meningkat pada akhirnya akan menyebabkan timbulnya inflasi ataupun instabilitas keuangan atau memaksa kenaikan pajak dalam jumlah besar atau bahkan mendesak pengeluaran investasi oleh pihak swasta (crowding-out).

Sementara itu, jika pengetatan kebijakan fiskal tetap dibiarkan demi alasan menghemat anggaran negara, berarti pilihannya satu-satunya sebagai sumber pertumbuhan, jatuh pada berkah ekspor sebagai jalan untuk mengisi kembali kas negara secepatnya. Inipun sebuah pilihan kebijakan yang belum tentu akan berjalan dalam waktu singkat untuk saat ini. Karena walaubagaimanapun penguatan kurs (apresiasi nilai rupiah) seiring meredanya konflik politik akan berdampak negatif dan cukup signifikan untuk sementara waktu ini bagi laju pertumbuhan ekspor.

Oleh karenanya hal penting yang harus dipahami adalah agar RAPBN 2002 mampu memberikan optimisme nyata kepada masyarakat. Ia haruslah memuat tujuan-tujuan pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan, berupa perluasan kesempatan kerja dan pengembangan sektor riil yang berorientasi ekspor. Hanya melalui jalan inilah, lain tidak, sedikit demi sedikit wajah muram perekonomian dapat digeser.

Alasan logis penghapusan hutang
Oleh karenanya, perlu kita pahami lagi, bahwa defisit neraca berjalan tidak akan dapat dibiayai lewat utang luar negeri tanpa menimbulkan persoalan tentang bagaimana utang tersebut akan dilunasi. Jika imbangan dari defisit itu adalah investasi domestik yang produktif, maka masalah pelunasan utamg tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Investasi tersebut akan memberikan hasil berupa kenaikan output, yang sebagiannya dieskpor ataupun digunakan sebagai substitusi impor. Jadi investasi yang produktif akan menghasilkan devisa guna melunasi utang. Dalam hal ini masalah pelunasan utang LN baru akan muncul apabila pinjaman tersebut digunakan untuk membelanjai pengeluaran konsumsi.

Pembiayaan defisit lewat utang, bermula dari kondisi anggaran belanja berimbang dan apabila tidak dikompensasi dengan kenaikan pajak ataupun penurunan pembayaran tunjangan lainnya, akan menyebabkan terjadinya defisit anggaran yang bersifat permanen karena adanya beban bunga yang harus dibayarkan atas utang itu. Maka, setiap usaha untuk menjalankan defisit primer (pokok utang) permanen yang dibiayai lewat utang pasti akan gagal. Sebab, bila utang itu berakumulasi dari waktu ke waktu, pembayaran bunga atas utang itu akan terus naik. Dengan demikian usaha untuk membiayai defisit primer tertentu yang dilakukan semata-mata melalui utang, tidak akan dapat berjalan dalam jangka panjang di dalam perekonomian yang tidak mengalami pertumbuhan dan malah akan memicu ketidakstabilan makroekonomi yang potensial (Dornbusch, 1994).

Terkait dengan hal ini, usulan untuk melakukan negoisiasi penundaan pembayaran utang (penjadwalan utang) melalui beberapa negara kreditor LN yang tergabung di dalam Paris Club, kemudian muncul sebagai sebuah solusi yang nampaknya cukup melegakan dan masuk akal. Namun, satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa yang pasti utang yang ditunda pembayarannya itu akan tetap berbunga dan suatu waktu nanti jadwal jatuh temponya tetap akan datang. Tentu saja persiapan ke arah ini sangat bergantung kepada pertumbuhan perekonomian nasional, regional dan global. Dalam konteks ini pertanyaan yang timbul adalah sebegitu yakinkah pihak pemerintah bahwa pertumbuhan ekonomi akan berjalan mulus secara permanen sesuai skenario optimistik untuk waktu yang cukup lama sesuai dengan eforia positif dari pasar yang saat ini terjadi ?.

Bahkan lembaga keuangan internasional sebesar IMF pun tidak berdaya dalam mengatasi hal ini. Berbagai rekomendasi yang telah mereka usulkan sejak kedatangannya ke sini 3 tahun yang lalu sampai sekarang belum menunjukkan perbaikan yang nyata pada struktur perekonomian. Kita juga bisa melihat bahwa penguatan rupiah dalam beberapa pekan belakangan nyata-nyata dipengaruhi secara dominan oleh eforia positif para pelaku pasar menyusul meredanya gejolak politik di dalam negeri semata.

Kesimpulan sementara yang kemudian bisa kita ambil adalah bahkan teori dan praktek makroekonomipun tidak sanggup memberikan berbagai alternatif solusi yang "lebih manusiawi" kepada pemerintah untuk dijadikan sebagai sebuah pegangan dalam merumuskan kebijakan. Untuk itu kita tidak perlu malu mengakui bahwa rasanya target-target makroekonomi seberat itu akan sangat sulit dicapai oleh kabinet sekarang selama warisan masalah makroekonomi berbagai rejim terdahulu masih mendominasi wajah perekonomian bangsa ke depan (RAPBN 2002). Dalam pidato kenegaraannya pada tanggal 16 Agusutus 2001 yang baru lalu, presiden Megawati sendiri sudah mengakui beratnya beban perekonomian bangsa yang harus dipikul. Pidato itu, secara eksplisit memberikan sinyal kepada tim ekonominya untuk mengkaji ulang kembali berbagai perjanjian dan kesepakatan yang dirasakan sangat memberatkan bangsa yang telah dibuat oleh rejim-rejim terdahulu.

Lagi pula, mis-managemen utang LN selama ini, secara jujur haruskah diakui bukan semata karena kesalahan perencanaan yang telah dibuat, namun juga diperbesar oleh kesalahan aplikasi oleh sebagian kecil pihak elite dalam hal pengelolaan dan pemanfaatannya. Oleh karenanya, sangatlah tidak adil rasanya jika sebagian besar lagi masyarakat kecil kemudian harus menjadi penanggung beban utang tersebut.

Kita bisa membayangkan, jika seluruh sumber daya pada APBN 2002 ini; bukan setengahnya saja, sementara setengahnya lagi dialokasikan untuk pembayaran utang dan bunganya; digunakan semata hanya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mereduksi masalah-masalah sosial akibat krisis, terutama menurunkan jumlah orang yang miskin secara absolut yang telah mencapai 50 % dari jumlah penduduk, maka diharapkan pada gilirannya nanti masa perbaikan (recovery) perekonomian bangsa ini akan berjalan dengan lebih cepat, lebih dinamis dan penuh optimisme. Sehingga pada akhirnya diharapkan bayang-bayang kejatuhan sebagai negara miskin yang terperangkap hutang (Heavily Indebted Poor Country) akan segera pupus.

Jadi lengkaplah sudah argumen-argumen dari sisi ekonomi dan kemanusiaan untuk menyatakan bahwa penghapusan (sebagian) hutang Indonesia merupakan sebuah bentuk pemenuhan rasa keadilan dan penghargaan terhadap hak-hak kemanusiaan untuk hidup lebih baik sesuai dengan Piagam PBB (Universal Declaration of Human Rights) bagi generasi bangsa Indonesia sekarang dan masa datang.

Berkaca pada semua kondisi riil di atas dan memanfaatkan momentum yang tercipta, sekaranglah rasanya saat yang paling tepat untuk membuka kembali wacana penghapusan (sebagian) utang LN yang sebenarnya sudah muncul sekian lama. Namun harus disadari juga bahwa sentimen positif pasar dalam negeri saja belumlah cukup. Pemerintah harus berusaha duduk semeja untuk memberi pemahaman yang jujur dan tepat akan kondisi bangsa saat ini kepada para kreditor LN.

Pemerintah harus mampu meyakinkan berbagai pihak tadi dan berjanji (kepada Tuhan, masyarakat dan pihak kreditor LN) bahwa uang yang akan dialihkan sebagai hasil pemotongan utang tadi akan digunakan untuk melaksanakan pembangunan secara berkelanjutan. Pada akhirnya diharapkan negara tidak akan lagi terus dibebani oleh masalah warisan utang yang tidak dimanage dengan baik dan banyak jiwa terselamatkan dari jeratan kemiskinan. 

Link
IMZ

Tazkia Institute

Domper Dhuafa

Muamalat Institute

Bank Syariah
Mandiri

Baitul Maal

BMT Link

Islamic Finance

Asuransi Takaful

OKI

Majalah Modal
Bank Muamalat