Artikel GARDA ERA

Home
Perpustakaan 
Artikel


 



‘Ekonomi Puasa’ : Makna Religio-Ekonomi Ramadhan 
Oleh Muhammad Irfan 

Ibadah puasa di bulan Ramadhan, sebagai suatu bentuk ibadah mahdah (khusus), laksana sebutir mutiara. Setiap sisinya memancarkan pendar cahaya (spektrum) berdimensi luas dengan segenap daya pikatnya. Masyarakat tidak lagi hanya mamandang puasa dari sisi teologis dengan kekayaan kandungan nilai-nilai spiritualnya. Ia mencakup pula pandangan tentang makna dan manfaat puasa bagi kesehatan fisik, kesehatan jiwa, pembentukan kesadararan hakikat berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa. Inilah salahsatu kenyataan tentang kemenyeluruhan (komprehensivitas) Islam, watak Islam sebagai agama yang menaungi tiap sisi kehidupan : sistem ekonomi, politik, sosial dan budaya; material sekaligus spiritual; duniawi dan ukhrawi ; individual dan sosial secara bersamaan.

Dalam kerangka itulah penulis mengajukan terminologi ‘ekonomi puasa’ yang mengacu pada upaya menyingkap makna religio-ekonomi puasa selama bulan Ramadhan. Karena terdapat gejala-gejala (fenomena) unik yang hanya terdapat selama pelaksanaan ibadah puasa selama bulan Ramadhan, yang berusaha dilihat dari sisi-pandang ekonomi.

Penggalian nilai-nilai ‘ekonomi puasa’ bulan Ramadhan diharapkan menjadi momentum bagi kebangkitan ekonomi bangsa. Ruh Ramadhan menghembuskan angin segar bagi pembentukan karakter ekonomi bangsa dan membangun moralitas pelaku ekonomi secara individual. Hal ini terasa kian penting karena kerapuhan ekonomi disinyalir kuat bersumber dari kerapuhan moralitas pelakunya. 

Berbelanja Di Jalan Allah

Selama bulan Ramadhan kita dapat mengamati perilaku konsumen dari gejala perubahan pola konsumsi. Perubahan pola konsumsi ini dapat disikapi secara berbeda oleh masing masing individu muslim. Penyikapan muslim terhadap pola konsumsinya ini dapat digolongkan menjadi tiga tingkatan, dengan dampak positif yang semakin besar pada tingkat kedua dan ketiga, yaitu : pertama, ‘perubahan waktu’. Pada tingkatan ini, puasa dijalani sebagai kewajiban ritual, dinikmati nuansa spiritualnya, sedangkan pola konsumsi tidak mengalami perubahan. Pola konsumsi selama Ramadhan dipahami sebatas ‘pergeseran waktu’ makan dan minum. Dalam pandangan ini, perilaku konsumsi diluar bulan Ramadhan dari pagi hingga malam bergeser menjadi antara berbuka dan sahur pada bulan Ramadhan. Sedangkan kualitas, jenis dan jumlah asupannya relatif tetap bahkan meningkat.

Kedua, perubahan perilaku. Puasa semakin bermakna manakala setiap pola konsumsi muslim mampu memenuhi prinsip keseimbangan, halal (sah secara hukum agama) dan thayyib (barang yang baik dan bersih). Termasuk didalamnya usaha-usaha yang halal pula dalam memperoleh pendapatan yang dibelanjakan. Pada tingkatan ini, pola konsumsi dan penggunaan harta tunduk pada kaidah yang digariskan Allah SWT :

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” (QS. Al-Baqarah, 2:169).

Orang-orang yang ketika membelanjakan harta, tidak berebih-lebihan dan tidak menimbulkan keburukan, tetapi (mempertahankan) keseimbangan yang adil diantara sikap-sikap yang (ekstrim) tersebut” (QS. Al-Furqan, 25:67).

Kewajiban memenuhi prinsip keseimbangan atau moderasi (wasathiyah) sekaligus menunjukkan kecaman ajaran Islam terhadap tindakan pemborosan (israf) dan pembelanjaan yang mubazir (tabzir) dalam hidangan berbuka dan sahur, membeli petasan, menyiapkan parcel mewah untuk pejabat tinggi dan rekanan bisnis, pembelanjaan berlebihan untuk pakaian, makanan dan dekorasi rumah menjelang lebaran, unjuk diri dengan mengkonsumsi barang-barang produksi luar negeri (demonstration effect). Apalagi untuk menyogok (suap atau risywah) dan membeli minuman keras, narkotika dan zat aditif berbahaya lainnya, usaha perzinaan berkedok salon, diskotik dan music room, serta segala bentuk perdagangan pornografi yang telah jelas keharamannya.

Ketiga, perubahan nilai dan paradigma. Selama satu bulan penuh setiap muslim dilatih untuk mentaati rukun-rukun puasa sebagai perwujudan ketundukan kepada aturan-aturan Allah. Setiap muslim, dari terbit fajar hingga tenggelam matahari, harus menahan makan dan minum dari barang-barang diperoleh dan dimilikinya sendiri. ‘Nilai dan paradigma keimanan’ akan mengantarkan kita pada kesadaran terhadap hak kepemilikan manusia atas harta. Hak kepemilikan manusia bersifat terbatas dan bersyarat. Allah SWT adalah pemilik sejati segenap faktor produksi. Dengan kata lain, harta milik manusia merupakan amanat Allah yang diembankan kepada manusia. Sejalan dengan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi (khalifah fil ardh), fungsi perwakilan untuk mengolah dan memakmurkan bumi. Karenanya, kepemilikan manusia atas harta harus tunduk pada persyaratan Allah SWT sebagai pemberi amanah, seperti kewajiban memanfaatkan tanah, mengeluarkan tanggungjawab sosial dari harta, mewariskannya apabila telah wafat.  

Pemberdayaan Kaum Dhuafa

Allah SWT memberikan rangsangan relijius, dorongan spiritual, berupa pahala yang dilipatgandakan pada setiap amal saleh muslim selama bulan Ramadhan. Ramadhan menyediakan lingkungan yang subur bagi tumbuhnya semangat berinfak dan bersedekah di kalangan umat, atas dasar kesukarelaan. Pada bulan Ramadhan terdapat pula ‘kewajiban khusus’ bagi setiap manusia untuk membayarkan zakat fitrah. Serta adanya kewajiban membayar fidyah, memberi makan orang miskin oleh orang yang tidak mampu berpuasa sesuai alasan syariat. Zakat, infak, sedekah, fidyah merupakan bagian dari instrumentasi (peralatan) kebijakan ekonomi.

Bulan Ramadhan memberikan makna bagi pencapaian efektifitas instrumen-instrumen kebijakan ekonomi terutama dalam menyediakan jaring pengaman sosial, memberikan hak dasar setiap orang untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimumnya. Efektifitas kebijakan jaring pengaman sosial perlu memadukan motif-motif agama dengan kebijakan ekonomi negara. Dorongan, dukungan, sosialisasi untuk percepatan penerapan UU Nomor 38 Tahun 1999 perlu segera ditindaklanjuti di berbagai daerah, salahsatunya melalui pembentukan Lembaga Amil (Pengumpul) Zakat yang profesional, mandiri, dan bertanggungjawab, dari tingkat provinsi hingga ke kecamatan-kecamatan, bahkan unit-unit kecil perkantoran dan komplek perumahan. Begitupun kesadaran menyisihkan 2,5 persen penghasilan untuk zakat, yang akan dipotong pula dari total penghasilan kena pajak. Disamping penumbuhan, pembinaan, penguatan lembaga mikroekonomi Baitul Maal wat Tamwil (BMT).

Zakat, infak dan sedekah mengandung makna pemberdayaan. Lembaga Amil Zakat dituntut kemampuannya mengangkat harkat ekonomi masyarakat dengan melakukan pembinaan mental untuk membentuk etos kerja muslim dan pembinaan manajemen usaha agar mustahiq sesegera mungkin berubah menjadi muzakki.

Dalam Islam, Allah SWT telah menegaskan bahwa zakat bukanlah suatu bentuk belas kasihan. Zakat memiliki perbedaan penekanan moralitas dibanding jaminan sosial (charity) di negara-negara penganut ekonomi kesejahteraan (welfare economy), seperti tunjangan penganggur, tunjangan kesehatan, tunjangan keluarga dan sebagainya di negara-negara maju. Allah SWT menegaskan zakat, yang bermakna pensucian, merupakan saluran (mekanisme) yang disediakan Islam untuk menyucikan harta yang dimiliki oleh orang-orang yang dimampukan secara material oleh Allah SWT, sehingga mereka menjadi muzakki (orang yang disucikan hartanya). Pembayaran zakat merupakan pengakuan muzakki terhadap hak orang-orang yang berhak (mustahiq zakat) atas sebagian harta yang dimlikinya.

Pembayar zakat bukanlah bentuk kedermawanan individual muslim sehingga muzakki merasa dirinya lebih tinggi dan mulia karena kekayaannya. Pada keadaan lain, mustahiq zakat tidaklah patut merasa rendah diri karena menilai zakat sebagai ungkapan rasa iba orang berpunya terhadap nasibnya. Zakat menjadi sarana yang disediakan Islam sebagai cerminan kemauannya untuk memupus individualisme dan egoisme atas kekayaan dan kemewahan. Zakat sekaligus menjadi bagian dari semesta instrumen kebijakan bagi pencapaian tatanan sosial yang didasarkan pada prinsip persamaan, tolong-menolong, dan persaudaraan. Inilah bentuk kongkrit yang layak-terap (impplementatif) yang ditawarkan Islam untuk mewujudkan orde sosial yang tertib dan aman karena matinya kecemburuan sosial, pudurnya angkara kebencian dan pupusnya rasa dendam.  

Keseimbangan Makroekonomi

Bulan Ramadhan selalu ditandai dengan kegairahan sektor perdagangan barang dan jasa. Disamping menjamurnya sektor ekonomi informal yang dilakoni rakyat kecil, terbentuknya ‘pusat belanja dan jajanan musiman’ menjadi pemandangan khas yang hanya ditemui bulan Ramadhan.

Secara hipotesis saya dapat menyatakan bahwa sketsa keseimbangan ekonomi Indonesia tergambar selama bulan Ramadhan. Selama bulan ini, kecenderungan inflasioner (kenaikan harga-harga) dinilai sebagai kewajaran. Angka inflasi tak akan mencemaskan perekonomian apabila meningkatnya sektor moneter (peredaran uang) merupakan konsekuensi yang menggerakkan sektor riil (perdagangan barang dan jasa). Dengan kata lain, antara sektor riil dan sektor moneter tumbuh secara beriringan.

Karena itu, Bulan Ramadhan memiliki makna religio-ekonomis bagi pencapaian keseimbangan makroekonomi. Keseimbangan makroekonomi yang tercapai melalui pemenuhan berbagai unsur meliputi : pertama, pembangunan sektor moneter diarahkan pada penyediaan iklim investasi yang menggiatkan pembangunan sektor riil. Dengan itu dapat dicapai keseimbangan ekonomi yang berkembang-berkelanjutan secara nyata (sustainable economy), bukannya pembangunan semu, melambung tingginya gelembung sektor moneter (bubble economy) secara sendirian tanpa sektor riil, yang ditinggalkan jauh dibawah. Keadaan seperti itulah yang menjadi sumber utama krisis ekonomi sebagaimana pelajaran yang disampaikan oleh resesi ekonomi Indonesia.

Kedua, memprioritaskan pengembangan sektor riil yang memproduksi goods (barang-barang) yang good (baik) yang dibutuhkan sebagian besar rakyat. Good goods (barang-barang yang baik) sesuai dengan konsepsi Islam memaknai ar-rizq (rezeki). Dalam terjemahan Al-Quran Yusuf Ali, dinyatakan bahwa ar-rizq bermakna : “makanan dari Tuhan”, “Pemberian Tuhan”, “Bekal dari Tuhan”, dan “anugerah-anugerah dari langit”. Sebagai konsekuensinya, urai Monzer Khaf (1995), barang-barang konsumsen dalam konsepsi Islam adalah bahan-bahan konsumsi yang berguna dan baik manfaatnya, yang menimbulkan perbaikan secara material, moral maupun spiritual bagi konsumennya.

Ketiga, pertumbuhan sektor moneter dan riil harus diperankan oleh sebagian besar rakyat yang digerakkan oleh semangat wirausaha yang tinggi dan daya terobos investasi yang memiliki kebaruan jenis barang dagangan dan jasa. 

Integritas Individual

Pelaksanaan kewajiban ibadah puasa merupakan ‘rahasia antara manusia dengan yang Maha Mengetahui’. Puasa di bulan Ramadhan merupakan ajang cobaan dan latihan bagi pembentukan integritas individual. Orang yang berpuasa menunjukkan sifat amanah (bertangungjawab) terhadap berbagai ketentuan dan peraturan yang ditetapkan. Ia tidak berusaha melanggar syariatnya walaupun dengan cara rahasia.

Puasa dapat bermakna pada pembentukan integritas individual, kepribadian muslim yang memiliki kejujuran dan tanggungjawab. Orang yang berpuasa tidak saja menunjukkan pengakuannya atas kontrol sosial dari lingkungannya, segan dan malu dengan anak istri, teman sejawat, tetangga dan masyarakat, yang dapat saja dikelabui dan ditipunya. Lebih dari itu, keutamaan orang yang berpuasa terletak pada pengakuannya terhadap pengawasan Allah Yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui.

Puasa menunjukkan latihan bagi pelaku ekonomi untuk mentaati berbagai peraturan dan memenuhi berbagai kewajiban dengan segenap kesadaran. Ia dapat saja menerjang rambu-rambu moral, melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) namun ia tidak dapat menghindar dari pengawasan Allah SWT.

Puasa mengkondisikan pelaku ekonomi bekerja secara profesional, baik sebagai konsumen, produsen dan distributor, penyelenggara pemerintahan, aparat bea cukai dan sebagainya. Makna profesionalisme diungkapkan dalam terminologi Islam sebagai ‘ihsan’ . Rasullullah mendefinisikannya :

“…Ihsan ialah kamu beribadah kepada Allah SWT seperti kamu melihat-Nya, jika kamu tidak melihat-Nya, maka Ia tetap melihatmu….” (H.R. Muslim, Tirmidzi, dan Nasai)

Rasulullah mengungkapkan pula :

Sesungguhnya Allah menyukai salah seorang diantara kamu yang bekerja secara ihsan (profesional)”.

Muslim yang profesional (muhsinin) memenuhi seruan Allah SWT dalam Surat At-Taubah ayat 105 yang menyatakan :

Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaanmu itu dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.

Sejarah kehidupan kenabian menunjukkan tingginya tingkat produktivitas kebaikan yang dilakukan selama Ramadhan. Penaklukkan Kota Makkah (fathu Makkah) terjadi pada tanggal 10 Ramadhan. Perang Badar berlangsung pada 17 Ramadhan. Muadz bin Jabal diutus berdakwah ke Yaman juga pada bulan Ramadhan.

Ramadhan dapat dimaknai pula sebagai ajang penempaan kecerdasan ruhaniah, penajaman kecerdasan spiritual, dan peningkatan kepekaan emosional muslim. Unsur berharga yang semakin diakui dalam psikologi dan manajemen sumberdaya manusia, melebihi apa yang dikenal sebelumnya dengan (hanya mementingkan) kecerdasan intelektual.

Modal Sosial

Perintah berpuasa selama bulan Ramadhan dilakukan secara serentak oleh muslim di seluruh belahan dunia, telah mengubah watak puasa menjadi ibadah kolektif (bersama). Ibadah puasa menumbuhkan semangat kebersamaan bagi keluarga saat sahur dan berbuka atau kebersamaan dengan masyarakat dan kaum dhuafa. Kebersamaan yang hendak ditumbuhkan Ramadhan tergambar pula dari berbagai ibadah shalat tarawih dan tadarus qur’an. Mesjid lebih semarak karena digunakan untuk pengajian dan pesanteren kilat. Masjid pun disesaki masyarakat yang ingin shalat berjamaah lima waktu. Puasa mengandung makna kebersamaan untuk turut merasakan derita kelaparan dan hidup berkekurangan dalam jiwa setiap muslim, sehingga mendorong tumbuhnya sikap sepenanggungan, berempati, merasakan kesusahan. Semua itu memungkinkan terjadinya pola interaksi yang acap dan sehat antar-masyarakat yang tinggal di suatu lingkungan, yang seringkali sulit bertemu-muka, berbincang, apalagi berdikusi pada bulan lainnya.

Mudik ataupun pulang basamo untuk berkumpul bersama keluarga merayakan Lebaran ataupun ‘pulang kampung’ untuk menikmati Ramadhan pertama bagi pelajar dan sebagian masyarakat merupakan gejala unik lainnya di bulan Ramadhan. Ini menunjukkan masih kuatnya ikatan kekeluargaan dan dihormatinya lembaga keluarga. Sedangkan pada saat bersamaan di beberapa belahan dunia, lembaga keluarga sudah makin ditinggalkan. Di Amerika, misalnya, dua dari tiga perkawinan berakhir dengan perceraian dan sepertiga dari total kelahiranterjadi di luar pernikahan.

Puasa Ramadhan mengingatkan kembali tentang pentingnya memperhatikan modal sosial (social capital) sebagai sumberdaya terpenting dalam menciptakan stabilitas ekonomi dan politik. Bangsa kita memiliki cadangan modal sosial yang cukup bagi pembangunan. Pencapaian keeratan (kohesivitas) dan solidaritas sosial merupakan pendidikan terpenting yang diberikan puasa Ramadhan bagi pembentukan modal sosial.  

Kata Akhir

Bulan Ramadhan dinyatakan pula sebagai bulan pembinaan (syahrut tarbiyah), masa menempa diri untuk melakukan berbagai perbaikan, masa evaluasi atas berbagai tindakan, masa mengkoreksi dan mengganti segenap kesalahan dengan kebaikan, masa merencakanan ancang-anacang amal masa depan, masa peneguhan komitmen terhadap kerja kebaikan. Singkatnya, masa melakukan perubahan diri untuk mencapai kejayaan. Keberkahan Ramadhan akan kita rasakan apabila kita mampu menjadikannya momentum bagi perubahan perilaku ekonomi individual dan kebijakan perekonomian nasional ke arah perbaikan, menuju cita-citanya yang berkeadaban : masyarakat yang adil dan makmur. Negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Wallahu a’lam bisshawab.  

Dimuat harian umum Mimbar Minang secara berseri pada Senin dan Selasa (26-27 Nop 2001).

Link
IMZ

Tazkia Institute

Domper Dhuafa

Muamalat Institute

Bank Syariah
Mandiri

Baitul Maal

BMT Link

Islamic Finance

Asuransi Takaful

OKI

Majalah Modal
Bank Muamalat