Artikel GARDA ERA

Home
Perpustakaan 
Artikel


 



Membudayakan Bank Syari'ah 
Oleh Davy Hendri 

Tampaknya bangsa Indonesia mesti banyak belajar kepada Malaysia bagaimana mengembangkan berbagai lembaga keuangan syari’ah.  Bukan saja hanya karena pengalaman mereka yang lebih panjang--- memang Malaysia sudah memulai operasional bank syari’ah  pertamanya Bank Islam Malaysia Bhd (BIMB) sejak tahun 1983--- tetapi juga karena berbagai prestasi besar yang telah mereka raih.  

Terkait dengan lembaga keuangan bank, menurut Sunarto Joyosumarto, direktur eksekutif The South East Asian Central Bank (SEACEN), pada kurun tahun 1995-1999, pertumbuhan asset bank syari’ah di Malaysia mencapai rata-rata 49 % per tahun. Pada akhir tahun 2000, jumlah cabang yang mempraktekkan prinsip syari’ah mencapai 2.200 kantor cabang. Sementara itu, pangsa pasarnya sudah mencapai 6,9  % dari total pangsa pasar perbankan di Malaysia. Bandingkan dengan prestasi bank syari’ah di Indonesia, yang pangsa pasarnya baru mencapai 0,03 %. 

Dalam hal pertumbuhan lembaga keuangan syari’ah non-bankpun, Malaysia patut diacungi jempol. Dari lantai pasar modal syari’ah (sukok), volume penerbitan obligasi syari’ah hampir mencapai 60 % dari total volume obligasi yang beredar dalam sistem keuangan di Malaysia. Hal ini berarti  berbagai perusahaan di Malaysia lebih meminati obligasi dengan skim syari’ah daripada obligasi dengan sistem bunga. Selain itu, sebuah prestasi lain, total dana dari reksadana (mutual fund) syari’ah yang dikelola nilainya melebihi 50 miliar ringgit Malaysia. Sementara itu di Indonesia nilai total dana kelolaannya baru mencapai beberapa miliar rupiah saja.    

Tulisan ini tidak akan berpanjang lebar tentang cerita berbagai prestasi dan kebanggaan yang telah dicapai oleh kaum muslimin di Malaysia dalam hal ini. Bukan pula bermaksud meremehkan arti perkembangan lembaga keuangan syari’ah di Indonesia. Sama sekali tidak. Namun, ada sebuah iktibar bagi kita yang bisa ditarik dalam upaya mengembangkan perbankan syari’ah Indonesia di masa depan. 

Pilihan Strategi 

Memang benar, dari bunyi judulnya terlihat bahwa tulisan ini bermaksud menguraikan konsep strategi pengembangan bank syari’ah Indonesia di masa depan.  Malah mungkin telah muncul 2 (dua) macam tafsiran di dalam pikiran pembaca terkait dengan strategi yang harus digunakan dalam membudayakan bank syari’ah. Pertama, menjadikan seluruh lapisan masyarakat tersosialisasi dengan konsep perbankan syari’ah sebaik mungkin sehingga kemudian hal itu menjadi sebuah bagian kebutuhan yang tidak terpisahkan dengannya. Dalam tafsiran ini terkandung tujuan agar terbentuk sebuah paradigma berpikir masyarakat mengenai  apa itu bank syari’ah, mengenali A-Z konsep bank syari’ah dan bagaimana perbedaan filosofisnya dengan bank bunga (konvensional). Nantinya diharapkan perubahan paradigma berpikir ini akan mewujud pula pada perubahan pola perekonomian dalam arti khusus perubahan prilaku ekonomi masyarakat secara keseluruhan sejalan dengan tujuan dari konsep perbankan syari’ah itu sendiri. Aktivitas utama dalam menjalankan strategi ini bertumpu pada sosialisasi produk-produk dan jasa  lembaga keuangan baik melalui berbagai informasi, edukasi dan komunikasi (Information, Education and Communication) yang disediakan.

Sementara itu tafsiran kedua berarti, bagaimana dunia perbankan syari’ah berupaya sebaik mungkin mengkampanyekan dan menjual konsep bank syari’ah ke tengah-tengah masyarakat. Mungkin  dengan jalan menyediakan beragam produk-produk dan jasa yang mudah dimengerti dan bisa diterima (acceptable) masyarakat dari berbagai segmen dan strata sosial. Tafsiran kedua ini menuntut kreatifitas dan pemunculan berbagai inovasi-inovasi produk dan jasa melalui  penelitian pasar (market research) yang jeli oleh kalangan  dunia perbankan syari’ah agar produk-produk mereka laris manis di pasaran.

Pada dasarnya kedua strategi ini saling melengkapi (completed) satu sama lain. Harus ada pemikiran bagaimana mempertemukan bank syari’ah sebagai produsen (supplier) dengan masyarakat muslim Indonesia sebagai calon konsumen (potential demand)  produk-produk perbankan syari’ah ini. Galibnya, potential demand produk apapun di pasar hanya akan berubah menjadi efective demand, bila mereka mempunyai informasi dan pengetahuan yang benar tentang suatu produk, selain didukung oleh adanya daya beli tentunya. Bisa disimpulkan, di sini perubahan paradigma berpikir masyarakatlah yang menjadi objek dari proses tersebut. Paradigma berpikir mereka direkayasa (diup-grade) sedemikian rupa sehingga diharapkan kemudian hal itu akan berimbas positif pada prilaku ekonominya.

Namun jangan lupa, upaya-upaya mendidik pasar melalui rekayasa paradigma berpikir konsumen itu tentu tidak secara otomatis akan menjamin perubahan perilaku ekonomi yang telah eksis di masyarakat dengan berbagai model aplikasinya. Inovasi dalam managemen pemasaran,  pemunculan produk dan pelayanan khusus seringkali pula harus dilakukan produsen dan tidak seidkitnya kisahnya yang malah berhasil mendekati calon konsumen. Satu contoh konkrit,  pemberlakuan harga khusus (price differentiated) suatu  produk untuk kelompok konsumen tertentu akan mendongkrak penjualan dan memaksimalkan keuntungan pada akhirnya. Pendekatan yang kita sebut sajalah sebagai strategi rekayasa managemen produk dan jasa yang disesuaikan dengan potensi calon konsumen ini, dengan catatan tentu saja harus sejalan dengan teori dan konsep dasar ekonomi, ternyata merupakan sebuah determinan penting dalam penjualan. Tentu saja, dalam hal ini managemen produk dan jasa perbankan syari’ahlah yang menjadi objek dari sebuah proses.

Pendekatan Kultural

Di sinilah pentingnya keberhasilan pengalaman panjang Malaysia yang menggabungkan kedua strategi ini dalam mengembangkan lembaga keuangan syari’ahnya, perlu kita pelajari.  Sebuah kenyataan empirik di Malaysia menceritakan bahwa reksadana syari’ah ternyata berkembang pesat melalui pendekatan kultural. Para pengelola reksadana syari’ah di sana berhasil mengumpulkan dana kelolaan dari para ibu-ibu dengan memanfaatkan kegiatan arisan yang masih eksis dan terpelihara di daerah pedesaan. Apa benang merahnya ?. Ternyata Malaysia berhasil membuktikan bahwa sebuah produk lembaga keuangan modern bisa dijual kepada masyarakat yang katakanlah awam dengan melakukan sedikit perekayasaan pada managemen pemasaran produk dan jasanya.

Banyak lagi hasil penelitian yang telah membuktikan keberhasilan strategi rekayasa managemen produk dan jasa ini secara valid. Kita sebut  saja pengalaman Bangladesh dengan Grameen Bank. Bisa dikatakan bahwa kesuksesan luar biasa yang berawal dari sebuah eksperimen Prof. Mahmud Yunus ini, mengantarkan Grameen Bank menjadi bank terbesar di Bangladesh. Hal ini disebabkan oleh warna khas dari managemen bank tersebut yang keluar dari pakem (mainstream) konsep managemen perbankan secara konvensional. Masyarakat Bangladesh menyebut bank ini sebagai banknya orang miskin. Memang banknya orang miskin, namun kapasitas dan jumlah asset yang dikelola bank ini malah lebih besar daripada yang dimiliki oleh bank manapun di Bangladesh.  Bagaimana penjelasan teknis tentang hal ini yang membuat anda penasaran, dengan mohon maaf tidak bisa saya jelaskan di sini. 

Nah, bila kita mengobservasi secara teliti, berbagai upaya yang dilakukan dalam mengembangkan perbankan syari’ah di Indonesia selama ini lebih didominasi oleh strategi yang pertama, yaitu rekayasa paradigma berpikir konsumen. Strategi textbook dan konvensional ini tidak menaruh perhatian sedikitpun pada tradisi konsep dan pola aplikasi perekonomian, khususnya lembaga keuangan yang sudah eksis di masyarakat. Hal ini bisa menjadi sebuah strategi yang kontra produktif.

Dalam papernya “How Does Culture Matter ?” , Maret 2002, Amartya Sen, menguraikan bahwa faktor-faktor kultural sangat mempengaruhi perilaku ekonomi masyarakat. Menurut beliau, pengaruh budaya dapat membuat perbedaan yang besar dalam etika kerja, aturan pertanggungjawaban, dorongan motivasi, managemen yang dinamis, inisiatif kewirausahaan, keinginan mengambil resiko dan sejumlah besar variasi dari aspek perilaku yang sangat mempengaruhi kesuksesan ekonomi.

Rekayasa Managemen Produk Bank Syari’ah

Baiklah, mari kita buat uraian ini menjadi lebih sederhana. Mungkinkah lembaga keuangan syari’ah di Indonesia, khususnya bank, mengadopsi pola dan konsep ekonomi yang telah eksis di tengah-tengah kemajemukan masyarakat Indonesia ini dengan  konsekuensi adanya rekayasa managemen produk dan jasa ?. Tentu saja dengan catatan selama rekayasa ini tidak merugikan dunia perbankan syari’ah itu sendiri. Mungkin saja contoh rekayasa di atas agak ekstrim. 

Namun satu hal yang pasti, bahwa daripada dunia perbankan syari’ah harus mengalokasikan sumber daya (resources), baik uang, waktu dan tenaga dalam menyosialisasikan A-Z Perbankan Syari’ah serta menjelaskan terminologi rumit tentang apa itu mudlarabah, bagi hasil dan lain sebagainya, mengapa kemudian kita tidak mengalokasikan resources itu pada upaya penguatan konsep dan pola ekonomi tradisional masyarakat yang telah bercorak islami dengan sentuhan managemen perbankan modern ?.

Sebenarnya  kalau kita mau menginventarisir kita akan menemukan fakta bahwa cukup banyak konsep dan pola ekonomi tradisional masyarakat yang harus diintrodusir oleh bank syari’ah sebagai lahan-lahan potensial pengembangan perbankan syari’ah. Sehingga kalau bisa diumpamakan kita bisa mencuri start, kenapa pula harus start dari awal ?.

Kita harus melihat bahwa dalam sejarahnyapun ternyata konsep pembiayaan mudlarabah dalam perdagangan, muzara’ah dalam pertanian, tabarru’ dalam asuransi merupakan warisan dari kebudayaan Arab jahiliyah sebelum kerasulan Nabi Muhammad S.A.W.  yang kemudian diintrodusir oleh Rasul sebagai prinsip muamalah iqtishadi dalam Islam. Lebih jauh mungkin,  ternyata prinsip bagi hasil sebenarnya sangat mudah dikenalkan, sebab masyarakat Indonesia memang sudah akrab dengan pola bagi hasil. Masyarakat Aceh misalnya, dalam mengelola sawah sudah lama menggunakan sistem mawah, bagi hasil antara pemilik sawah dengan  petani pengelola. Hal ini juga dikenal oleh petani Sumatera Barat sebagai konsep mampaduoi.  Nah, mana yang lebih menguntungkan dari 2 (dua) hal berikut ; mendidik masyarakat tani Sumatera Barat untuk mengerti konsep dan terminologi mudlarabahkah atau meminjam konsep dan istilah tradisional mampaduoi ini sebagai sebuah jenis tabungan dan pembiayaan khusus untuk sektor pertanian di Sumatera Barat ?.

Penutup

Oleh karena itu beberapa contoh pengalaman keberhasilan gemilang penggunaan strategi pendekatan kultural dalam pengembangan suatu produk lembaga keuangan seharusnya memberikan inspirasi baru bagi praktisi dunia perbankan syari’ah di Indonesia. Memang, semua uraian di atas baru sebatas wacana yang tentu memerlukan pembuktian empiris di lapangan secara teliti dan mendalam.

Jadi menurut pemikiran sederhana saya, yang harus dilakukan sekarang oleh dunia perbankan syari’ah di Indonesia mulai saat ini adalah menginventarisir semua pola ekonomi masyarakat yang hidup di tengah-tengah masyarakat dan kemudian memilahnya dengan menggunakan standar syari’ah. Jika saja dengan strategi tersebut kita harapkan dunia lembaga keuangan syari’ah Indonesia bisa melaju pesat seperti pengalaman yang membanggakan dari Malaysia, mengapa tidak?.  Wallahu’alam..

Penulis, Direktur Yayasan GARDA ERA dan Dosen pada Akademi Ekonomi Syari'ah Adzkia Padang

Link
IMZ

Tazkia Institute

Domper Dhuafa

Muamalat Institute

Bank Syariah
Mandiri

Baitul Maal

BMT Link

Islamic Finance

Asuransi Takaful

OKI

Majalah Modal
Bank Muamalat