|
||
|
||
|
Harmonisasi
Industri Keuangan Syari'ah Pendahuluan Pertumbuhan industri keuangan syari’ah di Indonesia dewasa ini sangat menggembirakan. Industri keuangan syari’ah sedang giat-giatnya melakukan ekspansi baik secara kuantitas maupun kualitas yang dalam hal ini menyangkut berbagai aspek mekanisme dan juga kelembagaannya. Dari sisi kuantitas, fakta menunjukkan bahwa telah terjadi pertambahan jumlah institusi yang sangat signifikan pada setiap sektor dalam sistim keuangan syari’ah tersebut. Umpamanya pertambahan jumlah lembaga perbankan, asuransi, reksadana dan lainnya, baik karena kehadiran pemain baru ataupun dari semakin eksisnya para pemain lama. Berita teranyar adalah niatan industri pembiayaan (multi finance) untuk turut pula menerapkan pola syari’ah dalam praktek usahanya (InfoBank, April 2004). Jadi dari sisi kualitas, boleh dikatakan bahwa prasyarat dari bangun sebuah industri keuangan syari’ah yang merupakan urat nadi sistem ekonomi secara keseluruhan pada saat sekarang sudah semakin terlengkapi. Pelajaran
Berharga dari Krisis Namun terkait dengan hal yang disebutkan di atas, kita tentu tidak menginginkan pengalaman pahit industri keuangan konvensional terulang pula pada industri keuangan syari’ah. Apa yang terjadi ketika itu ?. Sejarah memaparkan bahwa badai yang menerpa industri perbankan nasional, selain memporak-porandakan bangun industri perbankan itu sendiri, secara lansung maupun tidak turut pula menulari industri-industri asuransi, pasar modal dan lain sebagainya di sektor keuangan. Sehingga efek domino (contagion effect) ini kemudian ditengarai oleh para pengamat sebagai akibat terlalu dominannya penguasaan dunia perbankan dalam industri keuangan nasional, yang memang telah berlansung sejak dari jaman Paket Oktober (Pakto) 1988 bahkan sampai pasca krisis sekarang. Berdasarkan
data Biro Riset InfoBank (birI), berdasarkan besaran asset total per
Desember 2002, perbankan menguasasi
90,46 % pangsa pasar keuangan nasional dengan asset total Rp
1.098,79 triliun. Posisi berikutnya secara berurut ditempati industri
asuransi dengan pangsa pasar 3,38 % (Rp 41,00 triliun), dana pensiun
3,01 % (Rp 36,51 triliun), pembiayaan 2,31 % (Rp 28,11 triliun) dan
pegadaian 0,20 % (Rp 2,43 triliun).
Apa kaitan realitas ini bagi industri keuangan syari’ah ?. Jelas sekali bahwa walaupun mempunyai perbedaan filosofis, namun dalam tataran praktis secara umum, industri keuangan syari’ah merupakan foto copy dari industri keuangan konvensional. Konsekuensinya, selain kesamaan dari sisi mekanisme dan transmisi kebijakan, tentu dalam hal ini termasuk juga dominasi perbankan syari’ah terhadap industri keuangan syari’ah secara keseluruhan. Pasca Fatwa MUI Bagi industri keuangan syari’ah, hal ini semakin menemukan momentumnya pasca fatwa MUI tentang haramnya bunga bank dan industri keuangan konvensional sejenis lainnya. Kalangan perbankan syari’ah mengakui bahwa walaupun tidak sangat menentukan namun fatwa itu turut berkontribusi pada fakta kelebihan dana pihak ketiga (overliquidity) beberapa bank syari’ah. Selain meningkatnya dana pihak ketiga dalam neraca perbankan syari’ah yang pada awal tahun 2004 saja diperkirakan dana yang berpindah sudah melebihi Rp 1 triliun tiap bulannya (Warta Bisnis, Edisi 24/II/Maret 2004), indikator lain dari peningkatan likuiditas ini juga terbaca pada semakin besarnya dana menganggur yang terparkir di BI dalam bentuk Sertifikat Wadiah BI (SBWI). Bila di analisis lebih jauh, hal ini jelas menjadi pisau bermata dua bagi perbankan syari’ah. Di satu sisi kenaikan jumlah dana pihak ketiga menunjukkan pergeseran banking mind masyarakat sesuai dengan target-target yang telah dipatok. Pada gilirannya hal ini memang memberikan janji kenaikan tingkat pertumbuhan perbankan syari’ah, baik secara kuantitas maupun kualitas. Oleh karenanya sebagai kompensasi, perbankan syari’ah harus bisa memenuhi gain expectation para nasabah rasional baru yang tidak sedikit jumlahnya. Namun di sisi lain, jika kapasitas perbankan syari’ah dari berbagai segi tidak bisa ditingkatkan seiring peningkatan jumlah dana pihak ketiga tadi, dalam artian terjadi overlikuiditas yang berkepanjangan karena keterbatasan saluran (intermediary channel) untuk mengalirkan idle money tersebut maka hal ini akan menjadi awal dari titik balik perkembangannya. Selanjutnya sebagaimana paparan di atas, bisa jadi tragedi industri keuangan konvensional akan terulang di sini. Prasayarat
Pendukung Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut maka beberapa prasyarat pendukung supaya perkembangan salah satu sektor industri keuangan syari’ah turut pula memberi dampak positif bagi perkembangan sektor lainnya, yang dalam hal ini kita sebut saja sebagai harmonisasi, harus segera dirancang sedari kini. Beberapa prasyarat itu antara lain, adanya sinergi antar aktor dalam industri keuangan syari’ah. Sejak krisis memang terjadi evolusi dalam industi keuangan Indonesia. Antara sektor yang satu dengan yang lain mengalami pergeseran ke arah yang makin dekat. Jika dahulu, perbankan, asuransi, multifinance, dana pensiun dan sekuritas jalan sendiri, kini mereka saling besinergi. Pertumbuhan perbankan sebagai tulang punggung (back bone) industri keuangan kemudian secara logis menarik gerbong-gerbong lainnya seperti asuransi, pasar modal dan sektor-sektor lainnya. Kondisi ini terjadi karena dorongan beberapa hal. Pertama, faktor prilaku. Secara internal, terjadi pengembangan bisnis, produk dan tuntutan customer yang menginginkan adanya produk dan jasa yang sophisticated. Dua, faktor eksternal. Adanya globalisasi yang mendorong masuknya pelaku-pelaku baru, baik secara direct maupun aliansi telah membuat perubahan yang signifikan di industri keuangan (Elvyn G. Masassya, dalam InfoBank, No. 292, Agustus 2003) Dalam
tataran praktis, hal ini bisa dilihat dari bermunculannya produk, sistem
dan kelembagaan baru dalam industri keuangan. Sebagai contoh, Bancassurance
dan unit linked merupakan sebuah
produk baru dalam industri asuransi yang dilahirkan melalui kerjasamanya
dengan industri perbankan dan pasar modal. Sementara itu, sektor lain,
perusahaan pembiayaan (multifinance), bisa menggunakan kredit bank
sebagai modal kerja untuk disalurkan menjadi consumer loan dan
sebagainya. Sedangkan
asuransi dapat diajak untuk memproteksi debitor-debitor
multifinance. Kalau dijalankan dalam bentuk sebuah link
maka semua pelaku akan mendapatkan keuntungan. Multifinance tidak dapat
lagi memberikan kredit sembarangan
karena debitornya akan diseleksi oleh pihak asuransi: layak atau
tidak layakkah mendapat kan proteksi ?. Multifinance juga tidak dapat
memberikan kredit sembarangan karena sumber dananya dari bank.
Akan ada check and balance di antara para pelaku. Kalau kondisi
ini terjadi, kualitas perbankan, asuransi dan multifinance akan semakin
bagus sehingga daya dorong untuk industri keuangan juga menjadi semakin
kuat. Selain itu, dukungan (political will) dari pihak regulator juga akan sangat berkontribusi dalam hal ini. Secara konkrit, isu utama dukungan pada saat ini mencakup berbagai aturan yang kondusif dalam berbagai lini yang pada intinya dimaksudkan untuk memberikan hak dan peluang bagi industri keuangan syari’ah untuk berkembang, yang minimal sama (equality treatmen) dengan industri keuangan konvensional. Sebagai sebuah contoh kecil, jika BI bisa memberikan return suku bunga sebesar 7 % untuk dana-dana yang diparkir oleh bank konvensional (SBI) maka tentu tingkat return yang sama diharapkan pula berlaku untuk bank syari’ah. Jadi, tidak hanya 3,5 % setara bunga seperti yang berlaku pada saat ini. Kesimpulan Singkat kata, selain prasyarat dari sisi internal, dalam bentuk sinergi yang solid antar aktor industri keuangan syari’ah, dari sisi eksternal, pada akhirnya diharapkan BI sebagai regulator industri perbankan, Departemen Keuangan di bidang asuransi dan BAPEPAM di bidang pasar modal bisa menyediakan regulasi bersama yang akan mempermudah dan memperkuat kesolidan industri keuangan syari’ah tadi. Baik itu mencakup hal-hal seperti payung kelembagaan maupun aspek legal yang memberikan suasana kondusif bagi upaya-upaya menuju harmonisasi dunia keuangan syari’ah di tanah air untuk saat ini dan masa yang akan datang. Wallahu ‘alam bi Shawab. Penulis, Direktur Yayasan GARDA ERA dan Dosen pada Akademi Ekonomi Syari'ah Adzkia Padang
|
Link
|