Artikel GARDA ERA

Home
Perpustakaan 
Artikel


 



Manajemen Utang Pemerintah dalam Perspektif Kebijakan Moneter Islam
Oleh Davy Hendri 

Persoalan utang pemerintah (public debt), kembali menjadi isu hangat dan mendapat respon yang sangat besar dari berbagai pihak pada akhir-akhir ini. Laju pertumbuhan utang pemerintah yang sangat cepat (terutama utang LN) telah menjadi pokok perdebatan terkait dengan defisit anggaran belanja pemerintah. Tanpa adanya kebijakan guna mengendalikan defisit anggaran belanja, tampaknya ada prospek nyata bahwa rasio utang terhadap pendapatan akan terus bertambah. Banyak orang kemudian menjadi khawatir bahwa defisit anggaran dan utang pemerintah yang semakin meningkat pada akhirnya akan menyebabkan timbulnya inflasi ataupun instabilitas keuangan atau memaksa kenaikan pajak dalam jumlah besar atau bahkan mendesak pengeluaran investasi pihak swasta (crowding-out).

Kekhawatiran ini sebenarnya lebih dipicu oleh besaran jumlah utang Indonesia yang sudah melampaui batas aman dilihat dari berbagai indikator beban utang. Menurut data Bank Indonesia, pada tahun 2001 saja; DSR telah mencapai 39,4 %, sementara batas amannya cuma 20 %, rasio total utang terhadap ekspor mencapai 194,5 %, sementara batas amannya cuma 130-220 % dan rasio total utang terhadap PDB mencapai 90,3 %, sementara batas amannya cuma 50-80 %. Di sisi lain pada tahun 2002 ini, Rp. 136 triliun atau 45 % dari total pendapatan nasional digunakan untuk membayar utang, dengan rincian Rp. 73 triliun untuk utang luar negeri (bunga dan cicilan pokok) dan Rp. 63 triliun untuk utang dalam negeri (Rp. 59 triliun hanya untuk membayar bunganya).

Biaya dan Resiko Sumber Pembiayaan Pembangunan

Dalam menyelesaikan masalah defisit anggaran, pemerintah dihadapkan pada  pilihan untuk menutupinya dengan mengandalkan instrumen pembiayaan dari luar negeri  maupun domestik. Jika kedua pilihan instrumen ini tersedia, maka hitung-hitungan biaya dan resiko kemudian juga menjadi pertimbangan.  Pilihan ini juga tidaklah berdiri sendiri, karena pemerintah juga harus mengejar berbagai tujuan-tujuan makroekonomi seperti tingkat suku bunga dan inflasi yang rendah, nilai tukar yang stabil, cadangan devisa yang cukup dan pasar modal domestik yang aktif. Karena pengaruh potensialnya tersebut maka kebutuhan untuk memenuhi pinjaman pemerintah memiliki efek yang signifikan terhadap perekonomian. Lebih jauh lagi, instrumen-instrumen pembiayaan sektor publik dan mekanismenya membantu perkembangan intermediasi pembiayaan dan pada gilirannya mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan.

Setiap defisit anggaran publik pasti memerlukan biaya walau darimanapun sumber (pembiayaan) untuk menutupi defisit tersebut. Pilihan sumber pembiayaan tersebut haruslah bertujuan untuk meminimalkan biaya dan resiko bagi seluruh perekonomian. Memang tidak ada pendekatan yang optimal utuk semua keadaan, tergantung kepada ketersediaan sumber pembiayaan, keadaan perekonomian, kerangka kerja institusi dan tingkat pembangunan pasar modal domestik.

Ada tiga hal pokok yang membantu para pengambil keputusan untuk memilih sumber pembiayaan dari berbagai alternatif pilihan yang ada : (i) dampak makroekonomi, terutama terhadap investasi swasta dan neraca belanja luar negeri, (ii) biaya dan tingkat bunga, nilai kurs dan berbagai resiko, (iii) dampak pinjaman yang diusulkan terhadap masa depan utang.

Alternatif Sumber Pembiayaan Defisit Anggaran

Sementara itu, defisit anggaran dapat ditutup melalui 3 (tiga) cara; (i) penciptaan uang, (ii) pinjaman dari sistem perbankan domestik dan sektor swasta dan (iii) utang luar negeri.

Penciptaan Uang

Bisa saja defisit anggaran ditutup dengan penciptaan uang lansung oleh bank sentral atau lebih umum dengan jalan peningkatan kredit oleh sistem perbankan. Biaya secara lansung akan sangat minimal atau malah nol, tetapi resikonya terhadap kondisi perekonomian makro sangatlah  berarti. Pembiayan defisit anggaran melalui ekspansi kebijakan moneter ini akan menghasilkan kelebihan permintaan aggregat (excess overal demand) yang pada gilirannya diterjemahkan ke dalam inflasi atau pada regim sistim nilai tukar tetap akan menekan neraca pembayaran luar negeri.

Meminjam dari Sistem Perbankan Domestik

Meminjam dari sistem perbankan domestik (tidak termasuk bank sentral) atau sektor swasta relatif membutuhkan sistem intermediasi finansial yang telah terbangun dengan baik. Ini akan mengurangi tekanan inflatoir dan resiko krisis utang luar negeri. Namun, bagaimanapun juga pilihan ini cendrung memiliki dampak pendesakan (crowding-out effect) terhadap investasi sektor swasta yang berarti juga memberikan hukuman pada pertumbuhan ekonomi.

Sumber pembiayaan domestik pemerintah ini dapat mengurangi ketersediaan dana yang dapat dipinjamkan (loanable funds) kepada masyarakat. Pada negara di mana tingkat bunga relatif fleksibel tekanan menaik terhadap tingkat bunga memicu penurunan investasi swasta. Jika nilai kurs dan tingkat bunga berada dalam kontrol pemerintah, pilihan pembiayaan domestik mempunyai dampak lansung pada pendesakan investasi swasta dengan jalan mengurangi jumlah kredit yang tersedia untuk sektor swasta.

Pinjaman Luar Negeri

Sementara itu, pinjaman (utang) luar negeri seringkali menarik, karena dampak desakan terhadap investasi swasta yang lebih kecil dan mengurangi resiko tekanan inflatoir. Lebih jauh lagi, pilihan terhadap sumber pembiayaan luar negeri ini dapat mendorong disiplin fiskal dan moneter yang lebih besar, karena akan menghapuskan setiap dorongan untuk membangkitkan inflasi yang mungkin  dilakukan pemerintah dalam upayanya  mengurangi beban utang riil.

Meskipun  pembiayaan luar negeri pemerintah tidak secara lansung mempengaruhi tingkat bunga domestik dan persediaan dana yang dapat dipinjamkan, dia juga dapat mendesak investasi swasta melalui dampaknya terhadap harga atau kurs nominal (dalam regim kurs bebas). Ketika defisit anggaran disebabkan karena belanja pemerintah terhadap produk berbasis domestik, pembiayaan luar negeri membawa dampak apresiasi terhadap kurs riil efektif  (dalam regim kurs tetap) yang mempunyai dampak pendesakan terhadap produsen lokal tertentu.

Sementara itu, utang LN yang terus bertumbuh akan memperlemah perekonomian. Pertama, pinjaman LN sangat rentan terhadap kondisi eksternal. Sebagai contoh, kejadian-kejadian tahun 1970 dan 80-an, terutama kenaikan harga minyak mentah, tingginya suku bunga dan resesi di negara-negara maju serta melemahnya harga komoditi, memberi sumbangan besar pada penciptaan utang negara-negara miskin. Setelah naik 12 % per tahun dari tahun 1970 sampai 80-an, harga komoditi anjlok secara tajam di awal tahun 80-an (IMF, 2000). Kedua, pinjaman pemerintah untuk membiayai pertumbuhan defisit anggaran cendrung akan menyebabkan ketidakstabilan tingkat utang, porsi pembayaran utang yang sangat besar dari total belanja pemerintah dan kecendrungan penggunaan utang baru untuk menutup utang-utang lama.

Paradigma Baru Pembiayaan Pembangunan

Untuk itu, arus pemikiran yang muncul dari berbagai kalangan sampai pada kesimpulan bahwa laju pertumbuhan utang LN baru harus dihentikan mulai saat ini.  Paparan di atas cukup memberikan bukti bahwa alternatif sumber pembiayaan pembangunan yang tergolong aman dan murah bagi Indonesia dalam kondisi sekarang adalah pinjaman kepada sistem keuangan domestik dengan dua prasyarat utama (sufficient condition), bahwa (i) mekanisme penciptaan utang pemerintah tersebut tidak akan menyebabkan matinya (crowding-out effect) kesempatan berkembang bagi sektor swasta dan (ii) biaya yang timbul dari penggunaan modal (biaya bunga) tadi tidak terlalu membebani anggaran pemerintah. Sementara itu satu faktor pendukung  (necessary condition) yang diperlukan adalah sistem intermediasi finansial yang terbangun dengan baik.

Secara konkrit, sebenarnya pemerintah dapat meminjam kepada sistem perbankan ataupun sektor swasta domestik dengan pemenuhan kedua prasyarat di atas. Skema pembiayaan alternatif sesuai dengan prasayarat tersebut dapat dilakukan dengan mengadopsi jenis dan mekanisme pembiayaan yang diterapkan pada institusi perbankan syari’ah domestik. Dari paparan di atas, ada satu kesimpulan  logis yang dapat ditarik, bahwa dengan sistem bagi hasil institusi keuangan syari’ah yang sama sekali terbebas dari bunga, berarti biaya modal (pembiayaan) sama sekali tidak ada dan penerapan konsep equity dan share financing secara efisien, yang berarti akan mengintegrasikan antara tingkat tabungan (dominan dari demand dan saving deposits dan terbatas dari investment deposit) dengan investasi, sehingga  diharapkan dapat memicu pertumbuhan investasi sektor swasta, maka skema pembiayaan ini akan menjadi sangat menguntungkan, karena anti-inflasi dan lebih stabil.

Dalam hal ini, institusi perbankan syari’ah yang terbangun dengan baik juga dapat memainkan fungsinya sebagai lembaga intermediasi antara masyarakat dengan pemerintah melalui konsep jual beli seperti salam, istisna’, leasing dan konsep kerjasama seperti mudharabah dan musyarakah. Diharapkan instrumen pembiayaan ini mampu membantu pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan pembangunan.

Secara garis besar instrumen sumber pembiayaan pembangunan sekaligus instrumen kebijakan moneter menurut Islam  yang dikenal sampai hari ini di dunia islam terbagi kepada dua kelompok, yaitu (i) instrumen pembiayaan khusus dan (ii) instrumen pembiayaan umum. Untuk proyek spesifik (khusus) yang mempunyai hasil yang dapat diprediksikan, pemerintah dapat menerbitkan sertifikat mudharabah kepada pihak investor  dan saat pengembalian hasil pihak investor dapat meminta bagian tertentu dari hasil bersih.

Sementara itu untuk jenis proyek yang hasilnya belum dapat diprediksikan maka dapat digunakan instrumen leasing (ijara).

Beberapa negara telah membangun instrumen spesifik proyek untuk pembiayaan anggaran, dengan mempraktekkan prinsip Mudharabah dan Ijarah. Namun, instrumen ini mempunyai keterbatasan penggunaan untuk dipraktekkan pada manajemen moneter yang fleksibel dan manajemen utang domestik yang efisien. Di Republik Islam Iran, surat berharga National Participation Paper (NPP) untuk mendanai pembangunan publik, yang mengaitkan tingkat pengembalian untuk para investor (rate of investor return) dengan tingkat bunga pasar (private rates of return) dan indeks pasar saham, sedang dipertimbangkan penggunaannya oleh  Bank Sentral Iran.  Di Sudan, Bank of Sudan, telah sukses meluncurkan sertifikat Central Bank Musharaka Certificate (CMC), yang dikeluarkan untuk menyeimbangkan saham pemerintah di bank-bank konvensional. Selain itu, Sudan juga sedang menyiapkan surat hutang pemerintah dengan prinsip mudharabah sebagai instrumen untuk mendapatkan dana guna membiayai proyek pembangunan milik pemerintah, dengan nama Government Mudharabah Certificate (GMC). Di Pakistan, institusi perbankan dan keuangan telah menerbitkan sebuah surat berharga dengan berbasis mudharabah untuk menggantikan surat hutang yang berbasis bunga, dengan nama Participation Term Certificates (PTC).

Sementara itu, instrumen untuk tujuan pembiayaan pembangunan secara umum, baru diterapkan di Malaysia.  Instrumen ini menggunakan prinsip pinjaman kebajikan semata (Qard Hasan) dari masyarakat kepada pemerintah di bawah skema Government Investmen Issues (GII). Dalam hal ini masyarakat tidak mengharapkan keuntungan apapun dari pinjaman mereka selain dari jumlah pokok yang harus dikembalikan pemerintah setelah masa jatuh tempo.

Data komparasi dari kelompok negara-negara yang telah menerapkan prinsip perbankan Islam secara holistik dalam sistem perekonomiannya (Iran, Pakistan dan Sudan) dengan kelompok  beberapa negara terpilih yang menerapkan prinsip perbankan konvensional (Bangladesh, Mesir dan Yordania), menunjukkan bahwa likuiditas sistem perbankan nasional mereka amat jauh berbeda. Pada tahun 1997,  persentase demand deposit, yang terdiri dari investmen account berbasis kontrak mudharabah terhadap total deposit sistem perbankan nasional, pada negara-negara kelompok pertama di atas berturut-turut; 40 %, 34 % dan 87 %. Persentase ini sangat jauh melampaui persentase demand deposit pada kelompok negara lainnya dengan sistem perbankan konvensional yang  berturut-turut  cuma 16 %, 10 % dan 17 % (IMF, 1998).

Setidaknya data tersebut memperlihatkan betapa likuid dan sehatnya sistem perbankan dengan penerapan prinsip syari’ah dan dikelola dengan managemen profesional. Kemudian hal yang selanjutnya harus diperhatikan adalah bagaimana menciptakan sistem intermediasi finansial yang kokoh seperti pasar antar bank dan fasilitas pinjaman bank sentral sehingga kelebihan atau kekurangan likuiditas yang dialami tidak menjadi sumber masalah baru bagi sistem perbankan itu sendiri.  Karena walau bagaimanapun, dominasi demand dan saving deposit (berbasis wadi’ah) dari total deposit sistem perbankan syari’ah yang jangka waktu jatuh temponya pendek (short-term maturity), dalam arti kata bank memegang aset yang sangat likuid, akan menyebabkan cadangan wajib bank pada bank sentral sangat besar. Sementara itu, cadangan yang tanpa imbalan (tidak diberi bagi hasil oleh bank sentral) ini tentu akan menyebabkan tingkat keuntungan perbankan syari’ah menjadi berkurang.

Link
IMZ

Tazkia Institute

Domper Dhuafa

Muamalat Institute

Bank Syariah
Mandiri

Baitul Maal

BMT Link

Islamic Finance

Asuransi Takaful

OKI

Majalah Modal
Bank Muamalat