|
||
|
||
|
Manajemen
Utang Pemerintah dalam Perspektif Kebijakan Moneter Islam Persoalan utang pemerintah (public
debt), kembali menjadi isu hangat dan mendapat respon yang sangat
besar dari berbagai pihak pada akhir-akhir ini. Laju pertumbuhan utang
pemerintah yang sangat cepat (terutama utang LN) telah menjadi pokok
perdebatan terkait dengan defisit anggaran belanja pemerintah. Tanpa
adanya kebijakan guna mengendalikan defisit anggaran belanja, tampaknya
ada prospek nyata bahwa rasio utang terhadap pendapatan akan terus
bertambah. Banyak orang kemudian menjadi khawatir bahwa defisit anggaran
dan utang pemerintah yang semakin meningkat pada akhirnya akan
menyebabkan timbulnya inflasi ataupun instabilitas keuangan atau memaksa
kenaikan pajak dalam jumlah besar atau bahkan mendesak pengeluaran
investasi pihak swasta (crowding-out). Kekhawatiran ini sebenarnya lebih
dipicu oleh besaran jumlah utang Indonesia yang sudah melampaui batas
aman dilihat dari berbagai indikator beban utang. Menurut data Bank
Indonesia, pada tahun 2001 saja; DSR telah mencapai 39,4 %, sementara
batas amannya cuma 20 %, rasio total utang terhadap ekspor mencapai
194,5 %, sementara batas amannya cuma 130-220 % dan rasio total utang
terhadap PDB mencapai 90,3 %, sementara batas amannya cuma 50-80 %. Di
sisi lain pada tahun 2002 ini, Rp. 136 triliun atau 45 % dari total
pendapatan nasional digunakan untuk membayar utang, dengan rincian Rp.
73 triliun untuk utang luar negeri (bunga dan cicilan pokok) dan Rp. 63
triliun untuk utang dalam negeri (Rp. 59 triliun hanya untuk membayar
bunganya). Biaya dan Resiko Sumber Pembiayaan Pembangunan
Dalam menyelesaikan masalah defisit
anggaran, pemerintah dihadapkan pada
pilihan untuk menutupinya dengan mengandalkan instrumen
pembiayaan dari luar negeri maupun
domestik. Jika kedua pilihan instrumen ini tersedia, maka
hitung-hitungan biaya dan resiko kemudian juga menjadi pertimbangan.
Pilihan ini juga tidaklah berdiri sendiri, karena pemerintah juga
harus mengejar berbagai tujuan-tujuan makroekonomi seperti tingkat suku
bunga dan inflasi yang rendah, nilai tukar yang stabil, cadangan devisa
yang cukup dan pasar modal domestik yang aktif. Karena pengaruh
potensialnya tersebut maka kebutuhan untuk memenuhi pinjaman pemerintah
memiliki efek yang signifikan terhadap perekonomian. Lebih jauh lagi,
instrumen-instrumen pembiayaan sektor publik dan mekanismenya membantu
perkembangan intermediasi pembiayaan dan pada gilirannya mendorong
pertumbuhan yang berkelanjutan. Setiap defisit anggaran publik
pasti memerlukan biaya walau darimanapun sumber (pembiayaan) untuk
menutupi defisit tersebut. Pilihan sumber pembiayaan tersebut haruslah
bertujuan untuk meminimalkan biaya dan resiko bagi seluruh perekonomian.
Memang tidak ada pendekatan yang optimal utuk semua keadaan, tergantung
kepada ketersediaan sumber pembiayaan, keadaan perekonomian, kerangka
kerja institusi dan tingkat pembangunan pasar modal domestik. Ada tiga hal pokok yang membantu
para pengambil keputusan untuk memilih sumber pembiayaan dari berbagai
alternatif pilihan yang ada : (i) dampak makroekonomi, terutama terhadap
investasi swasta dan neraca belanja luar negeri, (ii) biaya dan tingkat
bunga, nilai kurs dan berbagai resiko, (iii) dampak pinjaman yang
diusulkan terhadap masa depan utang. Alternatif Sumber Pembiayaan Defisit Anggaran
Sementara itu, defisit anggaran
dapat ditutup melalui 3 (tiga) cara; (i) penciptaan uang, (ii) pinjaman
dari sistem perbankan domestik dan sektor swasta dan (iii) utang luar
negeri. Penciptaan Uang
Bisa saja defisit anggaran ditutup
dengan penciptaan uang lansung oleh bank sentral atau lebih umum dengan
jalan peningkatan kredit oleh sistem perbankan. Biaya secara lansung
akan sangat minimal atau malah nol, tetapi resikonya terhadap kondisi
perekonomian makro sangatlah berarti.
Pembiayan defisit anggaran melalui ekspansi kebijakan moneter ini akan
menghasilkan kelebihan permintaan aggregat (excess overal demand)
yang pada gilirannya diterjemahkan ke dalam inflasi atau pada regim
sistim nilai tukar tetap akan menekan neraca pembayaran luar negeri. Meminjam dari Sistem Perbankan Domestik
Meminjam dari sistem perbankan
domestik (tidak termasuk bank sentral) atau sektor swasta relatif
membutuhkan sistem intermediasi finansial yang telah terbangun dengan
baik. Ini akan mengurangi tekanan inflatoir dan resiko krisis utang luar
negeri. Namun, bagaimanapun juga pilihan ini cendrung memiliki dampak
pendesakan (crowding-out effect) terhadap investasi sektor swasta
yang berarti juga memberikan hukuman pada pertumbuhan ekonomi. Sumber
pembiayaan domestik pemerintah ini dapat mengurangi ketersediaan dana
yang dapat dipinjamkan (loanable funds) kepada masyarakat. Pada
negara di mana tingkat bunga relatif fleksibel tekanan menaik terhadap
tingkat bunga memicu penurunan investasi swasta. Jika nilai kurs dan
tingkat bunga berada dalam kontrol pemerintah, pilihan pembiayaan
domestik mempunyai dampak lansung pada pendesakan investasi swasta
dengan jalan mengurangi jumlah kredit yang tersedia untuk sektor swasta. Pinjaman Luar Negeri
Sementara
itu, pinjaman (utang) luar negeri seringkali menarik, karena dampak
desakan terhadap investasi swasta yang lebih kecil dan mengurangi resiko
tekanan inflatoir. Lebih jauh lagi, pilihan terhadap sumber pembiayaan
luar negeri ini dapat mendorong disiplin fiskal dan moneter yang lebih
besar, karena akan menghapuskan setiap dorongan untuk membangkitkan
inflasi yang mungkin dilakukan
pemerintah dalam upayanya mengurangi
beban utang riil. Meskipun
pembiayaan luar negeri pemerintah tidak secara lansung
mempengaruhi tingkat bunga domestik dan persediaan dana yang dapat
dipinjamkan, dia juga dapat mendesak investasi swasta melalui dampaknya
terhadap harga atau kurs nominal (dalam regim kurs bebas). Ketika
defisit anggaran disebabkan karena belanja pemerintah terhadap produk
berbasis domestik, pembiayaan luar negeri membawa dampak apresiasi
terhadap kurs riil efektif (dalam
regim kurs tetap) yang mempunyai dampak pendesakan terhadap produsen
lokal tertentu. Sementara itu, utang LN yang terus
bertumbuh akan memperlemah perekonomian. Pertama, pinjaman LN
sangat rentan terhadap kondisi eksternal. Sebagai contoh,
kejadian-kejadian tahun 1970 dan 80-an, terutama kenaikan harga minyak
mentah, tingginya suku bunga dan resesi di negara-negara maju serta
melemahnya harga komoditi, memberi sumbangan besar pada penciptaan utang
negara-negara miskin. Setelah naik 12 % per tahun dari tahun 1970 sampai
80-an, harga komoditi anjlok secara tajam di awal tahun 80-an (IMF,
2000). Kedua, pinjaman pemerintah untuk membiayai pertumbuhan
defisit anggaran cendrung akan menyebabkan ketidakstabilan tingkat
utang, porsi pembayaran utang yang sangat besar dari total belanja
pemerintah dan kecendrungan penggunaan utang baru untuk menutup
utang-utang lama. Paradigma Baru Pembiayaan
Pembangunan
Untuk
itu, arus pemikiran yang muncul dari berbagai kalangan sampai pada
kesimpulan bahwa laju pertumbuhan utang LN baru harus dihentikan mulai
saat ini. Paparan di atas
cukup memberikan bukti bahwa alternatif sumber pembiayaan pembangunan
yang tergolong aman dan murah bagi Indonesia dalam kondisi sekarang
adalah pinjaman kepada sistem keuangan domestik dengan dua prasyarat
utama (sufficient condition), bahwa (i) mekanisme penciptaan
utang pemerintah tersebut tidak akan menyebabkan matinya (crowding-out
effect) kesempatan berkembang bagi sektor swasta dan (ii) biaya yang
timbul dari penggunaan modal (biaya bunga) tadi tidak terlalu membebani
anggaran pemerintah. Sementara itu satu faktor pendukung
(necessary condition) yang diperlukan adalah sistem
intermediasi finansial yang terbangun dengan baik. Secara
konkrit, sebenarnya pemerintah dapat meminjam kepada sistem perbankan
ataupun sektor swasta domestik dengan pemenuhan kedua prasyarat di atas.
Skema pembiayaan alternatif sesuai dengan prasayarat tersebut dapat
dilakukan dengan mengadopsi jenis dan mekanisme pembiayaan yang
diterapkan pada institusi perbankan syari’ah domestik. Dari paparan di
atas, ada satu kesimpulan logis
yang dapat ditarik, bahwa dengan sistem bagi hasil institusi keuangan
syari’ah yang sama sekali terbebas dari bunga, berarti biaya modal
(pembiayaan) sama sekali tidak ada dan penerapan konsep equity dan share
financing secara efisien, yang berarti akan mengintegrasikan antara
tingkat tabungan (dominan dari demand dan saving deposits
dan terbatas dari investment deposit) dengan investasi, sehingga
diharapkan dapat memicu pertumbuhan investasi sektor swasta, maka
skema pembiayaan ini akan menjadi sangat menguntungkan, karena
anti-inflasi dan lebih stabil. Dalam hal
ini, institusi perbankan syari’ah yang terbangun dengan baik juga
dapat memainkan fungsinya sebagai lembaga intermediasi antara masyarakat
dengan pemerintah melalui konsep jual beli seperti salam, istisna’,
leasing dan konsep kerjasama seperti mudharabah dan musyarakah.
Diharapkan instrumen pembiayaan ini mampu membantu pemerintah dalam
memenuhi kebutuhan pembiayaan pembangunan. Secara
garis besar instrumen sumber pembiayaan pembangunan sekaligus instrumen
kebijakan moneter menurut Islam yang
dikenal sampai hari ini di dunia islam terbagi kepada dua kelompok,
yaitu (i) instrumen pembiayaan khusus dan (ii) instrumen pembiayaan
umum. Untuk proyek spesifik (khusus) yang mempunyai hasil yang dapat
diprediksikan, pemerintah dapat menerbitkan sertifikat mudharabah kepada
pihak investor dan saat
pengembalian hasil pihak investor dapat meminta bagian tertentu dari
hasil bersih. Sementara
itu untuk jenis proyek yang hasilnya belum dapat diprediksikan maka
dapat digunakan instrumen leasing (ijara). Beberapa
negara telah membangun instrumen spesifik proyek untuk pembiayaan
anggaran, dengan mempraktekkan prinsip Mudharabah dan Ijarah. Namun,
instrumen ini mempunyai keterbatasan penggunaan untuk dipraktekkan pada
manajemen moneter yang fleksibel dan manajemen utang domestik yang
efisien. Di Republik Islam Iran, surat berharga National
Participation Paper (NPP) untuk mendanai pembangunan publik, yang
mengaitkan tingkat pengembalian untuk para investor (rate of investor
return) dengan tingkat bunga pasar (private rates of return) dan indeks
pasar saham, sedang dipertimbangkan penggunaannya oleh
Bank Sentral Iran. Di Sudan, Bank of Sudan, telah sukses meluncurkan sertifikat Central
Bank Musharaka Certificate (CMC), yang dikeluarkan untuk
menyeimbangkan saham pemerintah di bank-bank konvensional. Selain itu,
Sudan juga sedang menyiapkan surat hutang pemerintah dengan prinsip
mudharabah sebagai instrumen untuk mendapatkan dana guna membiayai
proyek pembangunan milik pemerintah, dengan nama Government
Mudharabah Certificate (GMC). Di Pakistan, institusi perbankan dan
keuangan telah menerbitkan sebuah surat berharga dengan berbasis
mudharabah untuk menggantikan surat hutang yang berbasis bunga, dengan
nama Participation Term Certificates (PTC). Sementara
itu, instrumen untuk tujuan pembiayaan pembangunan secara umum, baru
diterapkan di Malaysia. Instrumen
ini menggunakan prinsip pinjaman kebajikan semata (Qard Hasan) dari
masyarakat kepada pemerintah di bawah skema Government Investmen
Issues (GII). Dalam hal ini masyarakat tidak mengharapkan keuntungan
apapun dari pinjaman mereka selain dari jumlah pokok yang harus
dikembalikan pemerintah setelah masa jatuh tempo. Data
komparasi dari kelompok negara-negara yang telah menerapkan prinsip
perbankan Islam secara holistik dalam sistem perekonomiannya (Iran,
Pakistan dan Sudan) dengan kelompok
beberapa negara terpilih yang menerapkan prinsip perbankan
konvensional (Bangladesh, Mesir dan Yordania), menunjukkan bahwa
likuiditas sistem perbankan nasional mereka amat jauh berbeda. Pada
tahun 1997, persentase
demand deposit, yang terdiri dari investmen account berbasis kontrak
mudharabah terhadap total deposit sistem perbankan nasional, pada
negara-negara kelompok pertama di atas berturut-turut; 40 %, 34 % dan 87
%. Persentase ini sangat jauh melampaui persentase demand deposit pada
kelompok negara lainnya dengan sistem perbankan konvensional yang
berturut-turut cuma 16 %, 10 % dan 17 % (IMF, 1998). Setidaknya data tersebut memperlihatkan betapa likuid dan sehatnya sistem perbankan dengan penerapan prinsip syari’ah dan dikelola dengan managemen profesional. Kemudian hal yang selanjutnya harus diperhatikan adalah bagaimana menciptakan sistem intermediasi finansial yang kokoh seperti pasar antar bank dan fasilitas pinjaman bank sentral sehingga kelebihan atau kekurangan likuiditas yang dialami tidak menjadi sumber masalah baru bagi sistem perbankan itu sendiri. Karena walau bagaimanapun, dominasi demand dan saving deposit (berbasis wadi’ah) dari total deposit sistem perbankan syari’ah yang jangka waktu jatuh temponya pendek (short-term maturity), dalam arti kata bank memegang aset yang sangat likuid, akan menyebabkan cadangan wajib bank pada bank sentral sangat besar. Sementara itu, cadangan yang tanpa imbalan (tidak diberi bagi hasil oleh bank sentral) ini tentu akan menyebabkan tingkat keuntungan perbankan syari’ah menjadi berkurang.
|
Link
|